Nilai-Nilai Budaya Pada Tradisi Brokohan Sapi
NILAI-NILAI BUDAYA PADA TRADISI BROKOHAN SAPI
DI DESA MANGGIHAN KECAMATAN GETASAN
KABUPATEN SEMARANG
Dinda Putri Amelia
Sunardi
Emy Wuryani
Pendidikan Sejarah, FKIP-UKSW Salatiga
ABSTRAK
Tradisi merupakan wujud dari sebuah kebudayaan, tradisi tersebut diturunkan kepada generasi ke generasi dengan cara ditiru. Kebudayaan perlu dilestarikan agar tidak punah dimakan waktu. Perkembangan jaman saat ini manusia sudah mulai melupakan adat istiadat dan tradisi mereka, akan tetapi di Jawa Tengah terdapat satu desa yang masih menjalankan adat istiadat dan tradisi yang diturunkan para leluhur mereka yaitu Desa Manggihan, tradisi yang masih dilakukan di desa tersebut salah satunya adalah Tradisi Brokohan Sapi. Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk menjawab permasalahan mengenai “Bagaimana nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Tradisi Brokohan Sapi dapat menjadi pedoman kehidupan bagi masyarakat Desa Manggihan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang?†Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi secara langsung, dan dokumentasi, jenis penelitiannya deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan emik. Dalam Tradisi Brokohan Sapi terkandung nilai-nilai budaya yang sampai saat ini masih menjadi pedoman masyarakat Desa Manggihan. Nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari uba rampe dalam Tradisi Brokohan Sapi.
Kata Kunci: Kebudayaan, Tradisi, Nilai Budaya, Brokohan Sapi
PENDAHULUAN
Tidak sedikit orang mulai lupa akan akar budaya yang diwariskan oleh para leluhur mereka, masyarakat sudah mulai lupa akan adat istiadat, tradisi ataupun upacara-upacara adat yang sudah menjadi budaya. Walaupun demikian masih ada satu desa yang terdapat di Kabupaten Semarang yang masih mempertahankan warisan budaya nenek moyang mereka, desa tersebut adalah Desa Manggihan.
Di Desa Manggihan masih terdapat banyak tradisi yang dilakukan, namun yang paling unik adalah Tradisi Brokohan Sapi. Bagi masyarakat Jawa Tradisi Brokohan biasanya hanya dilakukan bagi penyambutan bayi yang lahir, sedangkan di Desa Manggihan Brokohan juga dilakukan bagi sapi, hal ini terkait dengan sapi yang sudah dianggap sebagai barang aji atau barang berharga. Oleh masyarakat Desa Manggihan, sapi sangat diperhatikan kesehatannya karena nilai jual yang tinggi inilah yang menyebabkan sapi sangat diperhatikan. Sehingga para pemilik sapi selalu melaksanakan Tradisi Brokohan setiap ada sapi yang melahirkan.
Harapan dari tradisi ini, sapi-sapi yang dilahirkan dapat tumbuh dengan baik dan mendapatkan kesehatan yang baik pula. Sapi-sapi dapat berkembangbiak dan menghasilkan anak-anak sapi yang menguntungkan bagi pemilik sapi.
Tradisi brokohan sapi ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran dan refleksi bagi masyarakat melalui nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Nilai-nilai tersebut merupakan hal yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi dan perwujudan proses pendidikan yang diwariskan. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hal tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Tradisi Brokohan Sapi dapat menjadi pedoman kehidupan bagi masyarakat Desa Manggihan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang�
KAJIAN PUSTAKA
Kebudayaan
Kebudayaan adalah keseluruhan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2015: 144). Kebudayaan merupakan seluruh gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia berada diluar kemampuan manusia yang didalamnya terdapat kepercayaan, nilai-nilai, dan cara berlaku yang diturunkan dari generasi ke generasi dengan cara mempelajari kebudayaan itu sendiri. Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan merupakan wujud kebudayaan yang paling abstrak, karena nilai-nilai tersebut tidak memiliki wujud nyata.
Tradisi
Adat adalah kebiasaan masyarakat yang lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat (Hadikusuma, 2003: 1). Tradisi adalah pesan yang tidak tertulis; pemeliharaan pesan ini merupakan tugas dari generasi ke generasi secara beriringan (Purwanto, 2014: xiv). Tradisi yang juga dapat diistilahkan sebagai adat merupakan pesan yang tidak tertulis yang didalamnya berisikan kebisaan masyarakat tentang penyelenggaraan hidup bersama. Banyak tradisi yang dipelajari dari generasi ke generasi dengan cara ditiru.
Brokohan/Slametan
Slametan merupakan upacara keagamaan (Geertz, 1981: 13). Slametan juga merupakan laku budaya Jawa (Mandali, 2010: 44). Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan brokohan/slametan merupakan upacara keagamaan masyarakat Jawa yang biasanya dilaksanakan pada malam hari setelah matahari terbenam dimana brokohan/slametan ini merupakan wujud ucapan syukur kepada sang pencipta dengan cara dan metode budaya Jawa. Brokohan/slametan biasanya dilakukan oleh para kaum pria yang diundang oleh pemilik rumah untuk datang mendoakan keinginan dari sang pemilik rumah, sedangkan kaum wanita yang biasanya masih ada ikatan persaudaraan dengan pemilik rumah membantu di dapur untuk menyiapkan makanan yang dibutuhkan dalam brokohan/slametan.
Nilai Budaya
Nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, berfungsi sebagai suatu pedoman (Koentjaraningrat, 2015: 153). Nilai budaya berkonsep abstrak karena nilai budaya berada dalam pikiran manusia dan sulit untuk diungkapkan secara rasional. Selain itu nilai budaya tidak mudah tergantikan, hal ini disebabkan oleh proses dari nilai budaya itu sendiri yang sudah mendarah daging dan diturunkan dari generasi ke generasi.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada para pemilik sapi yang bunting (hamil) di Desa Manggihan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif. Pendekatan penelitian adalah pendekatan emik. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, studi pustaka, dan studi dokumentasi. Sumber data diperoleh dari hasil wawancara penulis dengan Kepala Desa Manggihan, Kepala Dusun Pendem, Moden Dusun Pendem, dan beberapa pemilik sapi bunting Dusun Pendem yang dilakukan pada 29 Juni 2018 untuk mendapatkan informasi dan gambaran mengenai Tradisi Brokohan Sapi.
PEMBAHASAN
Keadaan Geografis Desa Manggihan
Desa Manggihan terletak di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Luas wilayah Desa Manggihan. Desa Manggihan memiliki 6 (enam) dusun, terdiri dari Dusun Manggihan, Pendem, Seturun, Gowongan, Sengon, dan Manggiharjo yang terdiri dari lahan pertanian. Jenis tanah di Desa Manggihan ini adalah Andosol coklat tua, tanah jenis ini sangat cocok untuk ditanami tanaman padi, pinus, bunga, teh, sayur-mayur, dan buah. Namun kebanyakan dari masyarakat Desa Manggihan ini tidak memanfaatkan jenis tanah Andosol coklat tua ini untuk menanam jenis tanaman tersebut, masyarakat desa kebanyakan memanfaatkan tanah yang mereka punya untuk menanam rumput yang digunakan untuk pakan sapi.
Sejarah Singkat Tradisi Brokohan Sapi
Sampai saat ini belum diketahui sejak tahun berapakah tradisi brokohan sapi dilakukan di Desa Manggihan. Hal ini disebabkan karena tidak ada bukti ataupun catatan mengenai kapan tradisi brokohan sapi dilakukan oleh nenek moyang mereka. Masyarakat Desa Manggihan hanya memiliki kepercayaan bahwa pada zaman dahulu kala nenek moyang mereka melakukan tradisi tersebut karena jika ada sapi-sapi yang dibrokohi/diselamati, sapi-sapi tersebut akan mendapatkan berkah dari yang Maha Kuasa, terutama berkah dari Kanjeng Nabi Sulaiman sebagai penguasa semua hewan-hewan di muka bumi ini. Berkah yang akan didapatkan oleh sapi-sapi tersebut berupa berkah keselamatan, kelancaran air susu dari induk sapi, bagi anak sapi akan tumbuh dengan baik dan tidak mengalami kecacatan. Masyarakat Desa Manggihan mempercayai bahwa berkah dari tradisi brokohan sapi ini tidak hanya bagi sapi-sapi saja namun juga ada berkah bagi pemilik sapi. Berkah tersebut berupa kesehatan dan kekuatan bagi pemilik sapi agar dapat terus mencari rumput bagi sapi-sapi mereka.
Sebenarnya tradisi brokohan sapi tidak wajib dilakukan oleh masyarakat Desa Manggihan, namun semua warga desa yang memiliki sapi tetap melakukan tradisi ini karena terkadang ada sapi yang tiba-tiba saja mati tanpa sakit terlebih dahulu. Oleh sebab itu para pemilik sapi ini tetap melakukan tradisi tersebut karena didalam tradisi brokohan sapi ini, pemilik sapi dapat memanjatkan doa agar sapi-sapi yang mereka pelihara dapat tumbuh dengan baik dan tidak ada bahaya dari luar yang menyerang sapi-sapi mereka.
Di Desa Manggihan terdapat banyak hewan selain sapi yang dipelihara oleh warga desa, contohnya ayam, bebek, burung, kambing dll. Namun brokohan/selamatan ini hanya dilakukan pada sapi saja. Hal ini terkait dengan sapi sebagai barang aji, maksudnya adalah sejak jaman nenek moyang sapi sudah menjadi barang berharga dan memiliki nilai jual yang tinggi. Maka dari itu sejak jaman dahulu, nenek moyang sudah memiliki kepercayaan dan naluri untuk melakukan brokohan atau selamatan, yang pada akhirnya oleh masyarakat Desa Manggihan sampai saat ini masih dilakukan.
Prosesi dan Pelaksanaan
Tahap Persiapan
Tradisi brokohan sapi dilaksanakan di rumah pemilik sapi, biasanya tradisi ini dilakukan sekitar tiga hari setelah sapi melahirkan. Untuk persiapannya pemilik sapi membuat uba rampe yang dibutuhkan pada saat tradisi. Uba rampe tersebut terdiri dari tumpeng, sayur mayur, lauk pauk, dawet santan, bubur atau jenang abang puteh, dan ingkung atau ayam utuh yang direbus. Pembuatan dari uba rampe ini tidak membutuhkan waktu yang lama, biasanya setengah hari saja uba rampe sudah jadi. Waktu pelaksanaan tradisi brokohan sapi biasanya pada pukul 18:30 WIB, setelah sholat maghrip. Sehari sebelum pelaksanaan tradisi brokohan sapi, pemilik sapi mengundang secara lisan Moden untuk memimpin jalannya tradisi dan mengundang beberapa tetangga untuk hadir dalam tradisi brokohan sapi.
Tahap Pelaksanaan
Pertama, moden dan warga yang sudah diundang berkumpul di rumah pemilik sapi. Setelah semuanya berkumpul uba rampe yang telah dibuat dikeluarkan. Kedua, uba rampe diwujudkan oleh moden. Jadi setiap bagian dari uba rampe akan dimaknakan oleh moden selaku pembawa jalannya acara. Contohnya arti dari adanya tumpeng, ingkung, dawet santan, sayur-mayur, dan lauk-pauknya dan maknanya dalam kehidupan sehari-hari yang dalam dijadikan pedoman bermasyarakat warga Desa Manggihan. Ketiga, doa yang tujuannya yaitu meminta berkah kepada Kanjeng Nabi Sulaiman yang dipimpin oleh moden. Namun sebelum doa moden akan memberikan pengantar doa. Arti dari pengantar doa adalah moden sedang meminta berkah dari Kitab Alquran, berkah dari Allah, para Nabi dan Wali, serta berkah dari Kanjeng Nabi Sulaiman yang memiliki semua jenis hewan di muka bumi, pada hari dan pasaran Jawa, dalam hajatan (nama pemilik) sapi yang sedang melaksanakan brokohan sapi.
Setelah pengantar doa selesai, moden akan memimpin para warga yang datang untuk doa Sulaiman dan doa Selamat. Doa-doa yang dibawakan pada saat tradisi brokohan sapi semuanya berasal dari Kitab Alquran, dan yang terakhir akan ditutup doa oleh moden. Pada saat doa-doa dipanjatkan, warga hadir dalam tradisi brokohan sapi akan mengamini setiap doa yang diucapkan.
Kemudian setelah semua rangkaian acara pada tradisi selasai, uba rampe yang sudah didoakan akan dibagi-bagikan kepada warga yang datang dan semua yang hadir akan makan bersama pada saat itu juga. Seandainya uba rampe tersisa, maka akan dibagi-bagikan kepada warga yang datang untuk dibawa pulang.
Uba Rampe dan Nilai-nilai Budaya yang Terkandung didalamnya
Tumpeng dan sayur serta lauknya
Syarat khusus dalam uba rampe adalah tumpeng yang didalamnya berisikan sayur yang direbus yaitu kol, kacang, bayam, wortel, dan kecambah, serta terdapat lauk-pauk seperti tempe, tahu, telur, dan gereh atau ikan asin. Sebenarnya yang paling utama dalam hidangan tumpeng ini adalah cambah dan gereh. Keberadaan tumpeng dalam tradisi brokohan sapi amatlah penting, pasalnya tumpeng inilah yang menjadi perantara antara permohonan pemilik sapi dengan Kanjeng Nabi Sulaiman. Tumpeng diartikan sebagai wujud permohonan atau harapan kepada Sang pemilik semua hewan dimuka bumi, agar mendapatkan keselamatan dari tumbuh dan berkembangnya anak sapi, sehingga mampu memberi penghidupan yang lebih layak lagi. Makna tumpeng yang berbentuk kerucut melambangkan hubungan dan posisi kita dengan Tuhan Sang Pencipta. Artinya kita makhluk ciptaan Tuhan wajib menghormati dan selalu memandang Tuhan bahwa kita tidak sebanding dengan Tuhan Sang Pencipta. Oleh karena itu kita sebagai makhluk ciptaannya wajib menyembah Tuhan dan selalu mentaati apa yang telah diajarkannya.
Makna cambah dan gereh yang wajib dalam tumpeng ini adalah dalam bahasa Jawa terdapat kerata basa yaitu singkatan dari satu kalimat ke dalam satu kata tertentu, sehingga satu kata tersebut dapat menyiratkan makna kalimatnya. Kerata basa dari cambah adalah ngecam ben okeh artinya adalah berharap menjadi banyak, sendangkan untuk gereh yaitu seger lan gureh, artinya adalah segar, sehat.
Jadi makna dari adanya tumpeng, cambah, dan gereh dalam tradisi brokohan sapi adalah supaya pemilik sapi selalu ingat akan Tuhan Sang Pencipta karena atas berkat rahmatnya sapi-sapi mereka boleh berkembangbiak dengan baik, selain itu dalam tradisi ini terpanjatkan doa agar sapi-sapi mereka boleh beranak-pinak dan dapat bertumbuh dengan sehat tanpa ada kecacatan sedikitpun.
Nilai budaya yang dapat diambil dari adanya tumpeng, cambah, dan gereh dalam tradisi brokohan sapi adalah nilai religiusitas, hal ini dibuktikan dengan adanya penggunaan doa-doa yang dipimpin oleh moden. Selain itu pembiasaan doa dalam tradisi brokohan sapi ini membuktikan adanya peranan dalam penanaman nilai-nilai agama pada generasi muda. Pasalnya dalam tradisi brokohan sapi ini tidak hanya dihadiri oleh orang-orang tua saja, namun juga dihadiri oleh beberapa orang muda yang biasanya menggantikan ayah mereka yang berhalangan hadir. Dari pembiasaan doa inilah generasi muda diajarkan bahwa menghormati Tuhan dapat dilakukan dengan cara berdoa. Nilai religiusitas lainnya adalah mengajarkan generasi muda untuk bersyukur atas berkah yang sudah mereka terima, hal ini dibuktikan dari tradisi brokohan sapi yang dilakukan oleh pemilik sapi sebagai wujud ucapan syukur atas kelancaran sapi mereka yang melahirkan.
Bentuk tumpeng kerucut juga membawa nilai budaya Ketuhanan pasalnya dengan bentuk tumpeng yang kerucut inilah melambangkan posisi manusia berada di bawah dan posisi atas yang ditempati oleh Tuhan. Dalam hal ini manusia yang tidak ada tandingannya dengan kuasa Tuhan, memusatkan dirinya ke atas menuju pengharapan kepada Tuhan.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa nilai budaya yang terkandung dalam uba rampe tumpeng, cambah, dan gereh adalah nilai religiusitas dan nilai budaya Ketuhanan. Kedua nilai ini sama-sama berhubungan dan berkaitan erat, pasalnya kedua nilai budaya ini sama-sama berfokus pada posisi Tuhan yang harus dihormati dan berada diatas segala-galanya.
Dawet santan
Satu hal yang membedakan antara tradisi brokohan sapi dengan tradisi brokohan bayi yang ada di Desa Manggihan ialah adanya penggunaan dawet santan. Dalam tradisi brokohan sapi, dawet santan adalah suatu hal yang wajib, sedangkan dalam tradisi brokohan bayi tidak menggunakan dawet santan. Hal ini disebabkan karena dawet santan adalah simbol kelancaran air susu dari induk sapi. Sebenarnya yang menjadi simbol dari kelancaran air susu induk sapi adalah santan, karena menurut masyarakat Desa Manggihan pada zaman dahulu nenek moyang mereka melambangkan putihnya air santan sebagai putihnya air susu.
Dalam tradisi brokohan sapi ini, dawet harus dipasangkan dengan santan, tidak dapat dawet itu berdiri sendiri dan santan itu berdiri sendiri. Artinya dawet santan ini dua hal yang saling melekat dan saling melengkapi. Dalam hal ini dapat diambil nilai budaya berupa nilai sosial dibuktikan dari dawet santan yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Dari sinilah masyarakat Desa Manggihan mengajarkan kepada anak cucu mereka tentang keharmonisan hidup bersama, artinya bahwa hidup akan menjadi lebih bahagia apabila tidak ada percekcokan dan terjalin secara harmonis. Keharmonisan dapat dirasakan apabila warga saling melengkapi, saling membantu dan mau hidup rukun.
Nilai sosial selain keharmonisan hidup bersama adalah budaya saling memberi atau berbagi. Hal ini dibuktikan pada saat pelaksanaan tradisi brokohan sapi, dawet santan yang disiapkan oleh pemilik sapi akan dibagikan kepada tamu-tamu yang diundang. Generasi muda yang mengikuti pelaksanaan tradisi ini dapat belajar tentang sikap saling berbagi antar warga, mereka dapat mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari pada saat sedang bergaul dengan teman sebaya mereka.
Jadi dalam uba rampe dawet santan, terkandung nilai sosial berupa keharmonisan hidup bersama dan sikap saling berbagi. Masyarakat Desa Manggihan mengajarkan kepada anak cucu mereka untuk berbuat baik seperti berbagi, hidup rukun, saling membantu, dan saling melengkapi demi tercapainya sebuah keharmonisan hidup.
Bubur atau Jenang Merah Putih
Dalam tradisi brokohan ini pemilik sapi diwajibkan untuk membuat bubur atau jenang merah putih. Sesuai dengan namanya, bubur merah putih adalah perpaduan dari bubur beras berwarna merah dan putih, namun yang dimaksud bukanlah merah terang melainkan lebih kecoklatan. Hal ini disebabkan perwarnaan bubur merah dibuat dengan gula merah. Sedangkan bubur putih hanya berupa beras yang dimasak bersama dengan santan dan daun pandan. Bubur atau jenang merah putih ini memiliki makna tersendiri. Makna tersebut dibagi menjadi dua yaitu makna bubur atau jenang merah dan bubur atau jenang putih.
Secara rinci makna dari bubur atau jenang merah melambangkan darah dan benih dalam cecair merah yang dikeluarkan oleh induk sapi. Sedangkan makna dari bubur atau jenang putih merupakan simbol dari sperma dalam cairan putih yang dikeluarkan oleh sapi jantan. Adanya perpaduan dari benih dan sperma inilah yang akhirnya melahirkan benih anak sapi yang kemudian dilahirkan oleh induk sapi. Sebenarnya keberadaan dari bubur merah putih ini adalah sikap dari masyarakat Desa Manggihan untuk kembali kepada Tuhan Sang Pencipta. Artinya bahwa sapi-sapi yang dilahirkan tersebut merupakan pemberian dari Tuhan lewat merahnya darah induk sapi dan putihnya sperma yang dihasilkan oleh sapi jantan. Selain itu bagi masyarakat Desa Manggihan makna dari bubur merah adalah jasmani, sedangkan makna dari bubur putih adalah rohani. Dengan adanya bubur merah putih dalam tradisi brokohan sapi ini, pemilik sapi juga memanjatkan doa kepada Tuhan agar selama merawat sapi-sapinya pemilik sapi beroleh keselamatan dan kesejahteraan secara jasmani, rohani, dunia dan akhirat. Dalam hal ini nilai budaya yang terkandung adalah nilai pendidikan. Karena dalam uba rampe bubur merah putih ini sebenarnya tersirat makna tentang pelambangan dari kedua orang tua yaitu putihnya sperma ayah dan merahnya darah ibu. Mereka mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk bersikap baik kepada orang tua, menghormati, menghargai, dan tidak berkata kasar.
Pewarnaan dari bubur atau jenang merah putih ini juga tersirat nilai budaya berupa nilai sosial, pasalnya perwarnaan yang berbeda ini melambangkan perbedaan karakter dalam diri manusia dimana setiap manusia memiliki sisi baik dan sisi buruk yang melekat dalam hati. Sama seperti masyarakat Desa Manggihan setiap warga pasti memiliki karakter yang berbeda-beda, namun dari perbedaan karakter ini masyarakat desa mengajarkan kepada anak cucu mereka untuk hidup saling toleransi menerima perbedaan-perbedaan.
Dalam uba rampe bubur atau jenang merah putih ini mengajarkan kepada masyarakat Desa Manggihan mengenai penerapan nilai pendidikan dan nilai sosial. Generasi muda di Desa Manggihan ini diajarkan tentang bagaimana menghormati orangtua dan cara bersikap menerima setiap perbedaan karakter dalam diri setiap warga desa. Tidak hanya itu generasi muda di desa ini juga diajarkan tentang toleransi umat beragama karena Desa Manggihan ini tidak hanya terdapat warga yang beragama Islam saja namun juga ada beberapa warga yang menganut agama Kristen. Oleh karena itu para orang tua di Desa Manggihan ini selalu mengajarkan kepada anak cucu mereka bahwa siapapun yang mengalami kesulitan baik warga Islam maupun Kristen tetap harus dibantu, mereka mengajarkan kepada anak cucu mereka bahwa perbedaan karakter dan perbedaan agama bukanlah halangan untuk membantu sesama warga.
Ingkung atau ayam yang direbus utuh
Dalam bahasa Jawa ingkung memiliki makna Ingsun tansah manekung yang artinya Aku selalu menyembah dan memohon kepada Tuhan yang Maha Esa. Sama halnya dengan tumpeng, gereh, dan cambah, ingkung mengandung nilai religiusitas yaitu memberikan pembelajaran kepada generasi muda untuk selalu menghormati dan menyembah Tuhan sebagai wujud ucapan syukur atas berkah yang sudah diterima.
Keberadaan ingkung dalam tradisi ini sebenarnya tidak bersifat wajib. Terkadang ada tradisi brokohan yang memakai ingkung, namun ada juga yang tidak. Menurut hasil observasi dan wawancara penulis dengan moden pada 3 Juli 2018, hal ini disebabkan oleh keadaan dari pemilik sapi itu sendiri. Dapat dikatakan jika pemilik sapi berada dikategori ekonomi menengah ke atas pasti akan menyediakan ingkung dalam uba rampe tradisi brokohan sapi, sedangkan jika pemilik sapi dikategorikan pada posisi ekonomi menengah ke bawah biasanya tidak menyediakan ingkung dalam tradisi tersebut.
Keberadaan ingkung juga pengaruh dari pengucapan pemiliki sapi, misalnya sebelum sapi itu hamil terkadang ada beberapa pemilik sapi yang mengucap kepada sapi-sapinya jika suatu saat sapinya hamil dan melahirkan pada saat brokahan akan dipotongkan ayam. Seandainya sapi-sapi tersebut benar-benar hamil dan melahirkan, maka pemilik sapi harus menepati janji tersebut. Contoh hal seperti ini biasanya terjadi pada pemilik sapi yang ekonominya rendah maupun tinggi, bagi pemilik sapi yang ekonominya rendahpun janji tersebut tetap harus dilaksanakan karena menurut masyarakat Desa Manggihan itu dapat didikatakan sama seperti nazar yang sudah mejadi kewajiban dan harus ditepati. Jadi dapat dikatakan bahwa ingkung hanyalah pelengkap dalam tradisi brokohan sapi.
Nilai budaya yang dapat diambil dari tradisi brokohan sapi ini adalah nilai sosial. Pasalnya nilai sosial ini dapat dibuktikan dengan posisi duduk dari warga, dimana warga yang menghadiri tradisi tersebut berasal dari status sosial yang berbeda-beda. Walaupun terdapat status sosial yang berdeda, warga tetap menjalin kebersamaan dengan baik dan tidak membeda-bedakan posisi duduk dari warga yang datang. Artinya semua warga yang hadir berada di satu posisi duduk yang sama. Masyarakat Desa Manggihan mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk menghargai perbedaan dan menjaga kebersamaan.
Selain itu nilai budaya yang terkandung dalam ingkung adalah tentang keutuhan, kebulatan, dan totalitas. Hal ini terbukti dari ayam yang direbus utuh, mengajarkan kepada masyarakan Desa Manggihan untuk totalitas dalam mengerjakan suatu hal. Mereka juga diajarkan bahwa kebulatan dan keutuhan tekat sangan diperlukan pada saat mengerjakan suatu hal karena dengan kebulatan dan keutuhan tekat ini segala sesuatu yang dikerjakan akan memberikan hasil yang baik. Jadi dalam uba rampe, ingkung mengandung nilai religiusitas dan nilai sosial tentang tidak adanya perbedaan status sosial dan pengajaran tentang hidup bertotalitas serta pengajaran tentang keutuhan tekat dalam merngerjakan segala sesuatu yang diajarkan kepada generasi muda di Desa Manggihan.
KESIMPULAN
Sesuai dari rumusan masalah yang telah ditentukan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai budaya yang terdapat dalam tradisi brokohan sapi dapat dilihat melalui uba rampe yang terdapat dalam tradisi tersebut, yaitu:
1. Nilai Religiusitas yang dibuktikan dengan adanya doa-doa pada saat pelaksanaan tradisi brokohan sapi.
2. Nilai Pendidikan yang dibuktikan dengan pengajaran tentang menghormati orang tua yang disimbolkan dari bubur atau jenang merah putih.
3. Nilai sosial berupa keharmonisan hidup bersama yang disimbolkan dari kesatuan antara dawet dengan santan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
4. Nilai sosial berupa toleransi tentang penerimaan perbedaan karakter dan perbedaan agama yang disimbolkan dari perwarnaan yang berbeda dari bubur atau jenang merah putih.
5. Nilai sosial tentang persamaan status kedudukan antar warga yang disimbolkan dari posisi duduk antar warga yang tidak dibeda-bedakan.
6. Nilai sosial berupa totalitas hidup, keutuhan, dan kebulatan tekat yang disimbolkan dari bentuk ingkung atau ayam yang disajikan utuh.
Penelitian ini masih bersifat penelitian awal sehingga masih dapat diteliti secara lebih mendalam, selain itu harapan penulis bagi Desa Manggihan akan lebih baik jika tradisi brokohan sapi ini didokumentasikan secara tertulis baik dalam bentuk buku maupun tulisan yang diunggah dalam internet sehingga dapat diakses secara online oleh banyak orang yang ingin mengetahui tentang Desa Manggihan dan orang-orang yang ingin mengetahui tentang potensi kebudayaan maupun potensi alam yang dimiliki oleh Desa Manggihan. Bagi masyarakat Desa Manggihan, tradisi ini harus terus dilakukan dan dilestarikan agar tidak terlupakan oleh kemajuan jaman, serta nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tradisi brokohan sapi dapat terus dilakukan dan diajarkan kepada anak cucu mereka agar nilai budaya it uterus mendarah daging dalam kehidupan Desa Manggihan.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Sleman: Pustaka Widyatama.
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hadikusuma, Haliman. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Ihromi. 2013. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Puataka Obor Indonesia.
Khuntjara, Esther. 2006. Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan, Mentalitasdan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 2015. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Mandali, Ki Sodong. 2010. Ngelmu Urip. Semarang: Yayasan Sekar Jagad.
Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Purwanto, Bambang. 2014. Tradisi Lisan Sebagai Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.