KARAKTER KEPEMIMPINAN BALITUNG: REFLEKSI TERHADAP KEBIJAKAN-KEBIJAKAN BALITUNG DALAM PRASASTI

 

Listyanto Aji Nugroho

Emy Wuryani

Sunardi

Program Studi Sejarah FKIP Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

 

ABSTRAK

Balitung, sang penguasa Mataram Kuno, kerajaan yang cukup kuat di era Jawa Kuno. Berkuasa selama kurang lebih 12 tahun dengan masa pemerintahan yang relatif stabil. Karakter kepemimpinannya dirasa cukup baik untuk dijadikan sebagai role model kepemimpinan di masa kini. Untuk dapat menjabarkan mengenai bagaimana karakter kepemimpinan Balitung, dilaksanakan sebuah penelitian sejarah yang menggunakan pendekatan epigrafi struktural dengan menggunakan lima prasasti sebagai bahan kajian: Prasasti Ayam Teas, Prasasti Luitan, Prasasti Kubu-kubu, Prasasti Wanua Tengah, Prasasti Guntur. Penelitian ini terdiri atas empat tahapan, yaitu: heuristik, kritik sumber, interpretasi, historiografi. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa karakter kepemimpinan yang dimiliki oleh Raja Balitung adalah: berani, kuat, cerdas, bijaksana, visioner, peduli kepada rakyat, mau belajar dari pendahulu.

Kata Kunci: Balitung, Kepemimpinan, Mataram Kuno.

 

PENDAHULUAN

Krisis kepemimpinan menjadi suatu permasalahan yang cukup mendera bangsa Indonesia. Kurangnya sumber daya manusia yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat menjadi faktor utama dari krisis kepemimpinan tersebut. Menilik pada kisah-kisah para raja dari zaman sejarah, para raja tersebut dianggap memiliki berbagai karakter dan kualitas kepemimpinan yang kuat. Raja-raja di Jawa Kuno dirasa dapat dijadikan sebagai role model bagi penguasa di masa kini dalam kaitan karakter kepemimpinan. Salah satunya adalah Raja Balitung.

Raja Balitung merupakan raja Mataram kuno, Naik takhta pada 898 M dengan seorang Mahamantri yang bernama Rakryan I Hino Cri Daksottama (Pradana, 2015: 8). Sejauh ini, belum ada data yang dapat menjelaskan asal usul Raja Balitung secara mendalam. Data yang ada hanya menjelaskan bahwa Raja Balitung awalnya adalah seorang rakai (penguasa daerah) di wilayah Watukura dan bukan merupakan seorang putra mahkota. Raja Balitung naik takhta menggantikan Raja Watu Humalang setelah menikahi putri mahkota dari sang Watu Humalang (Darmosoetopo, 2003: 40). Raja balitung mendapatkan gelar Abhiseka (gelar penobatan raja): Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Dharmodaya Mahasambhu.

Pada masa pemerintahannya, Raja Balitung banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan seperti: penetapan Sima (wilayah bebas pajak), penghapusan pajak, penyelesaian sengketa pajak, ketetapan hukum, hukuman, dan penganugerahan. Hingga saat ini, ditemukan lima puluh (50) prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Balitung. Tiga puluh tiga (33) prasasti memiliki angka tahun, dan 17 prasasti tidak memiliki angka tahun (Purnamasari, 2012: 62-63). Banyaknya kebijakan yang dikeluarkan mengindikasikan bahwa pemerintahan Raja Balitung cukup stabil dan kuat. karena dari sekian banyak kebijakan yang dikeluarkan, kebijakan tersebut tidak mengalami penolakan dari rakyatnya (Pradana, 2015: 4).

Karena masa pemerintahannya yang cukup stabil inilah maka Raja Balitung sangat cocok untuk dijadikan role model penguasa yang memiliki karakter kepemimpinan yang baik. Untuk mengetahui bagaimana karakter kepemimpinan Raja Balitung, disusunlah sebuah penelitian berjudul “KARAKTER KEPEMIMPINAN BALITUNG: REFLEKSI TERHADAP KEBIJAKAN-KEBIJAKAN BALITUNG DALAM PRASASTI”. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah “bagaimanakah karakter kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Balitung dalam memimpin kerajaan Mataram Kuno?”. Diharap hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai model karakter kepemimpinan bagi pemimpin di masa kini.

KAJIAN PUSTAKA

Epigrafi

Epigrafi merupakan salah satu cabang ilmu arkeologi yang berusaha meneliti tentang benda-benda tertulis yang berasal dari masa lampau (Pradana, 2015: 1). Epigrafi adalah salah satu kajian tentang prasasti yang secara khusus mengurai kata dan menginterpretasi isi prasasti tersebut. Dalam epigrafi, sebuah prasasti secara khusus akan dikaji melalui gaya penulisan dan bahasa yang digunakan untuk mengungkap apa saja yang menjadi inti dan latar belakang dari penulisan prasasti tersebut (Soejono, 2001: 6). Prasasti berasal dari kata pracasti yang berarti pengumuman pemerintah, surat keputusan, atau piagam (Zoetmulder, 2011: 850).

Kajian epigrafi di Indonesia dipelopori oleh Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Inggris di Indonesia pada Abad ke-19. Kemudian landasan mengenai penelitian epigrafi Indonesia disusun oleh Friederich, yang kemudian diikuti oleh para peneliti barat seperti Hendrich Kern, J.L.A Brandes, N.J. Krom, Bosch, serta peneliti pribumi Poerbatjaraka. Kajian epigrafi yang mulai meluas dan mendalam mengenai berbagai aspek kesejarahan, baik aspek religi, sosial, ekonomi, hukum, dan tokoh membuat kajian ini menjadi suatu kajian yang sangat kuat untuk mengungkap sejarah kuno Bangsa Indonesia (Soejono, 2001: 6).

Terdapat tiga macam model penelitian epigrafi, yaitu: (1) penelitian analitis; (2) penelitian sintesis dengan pendekatan fungsi-fungsi kebudayaan; (3) penelitian gabungan analitis dan sintesis secara struktural (Dwiyanto, 1993: 7). Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan model struktural gabungan analitis dan sintesi

Penelitian epigrafi dengan pendekatan struktural merupakan pendekatan epigrafi yang menyertakan tahap pra analitis dengan menggunakan kritik ekstern dan intern (Dwiyanto, 1993: 7). Pada model ini, ada beberapa tahap yang harus dilewati, yaitu: (1) tahap pengumpulan data; (2) tahap pra analitis/ kritik sumber; (3) tahap analisis data; (4) sintesis.

Karena penulis menggunakan metode penelitian sejarah dengan penggunaan kajian epigrafi struktural, maka tahapan dalam metode sejarah digabungkan menjadi: heuristik (pengumpulan data), kritik sumber (pra analitik), interpretasi (analisis dan sintesis), penulisan.

 

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan peneneliti dalam penulisan ini adalah metode historiografi. Metode ini terdiri dari empat tahapan: heuristik, kritik sumber, interpretasi, penulisan (Kuntowijoyo, 1995: 91). Yang menjadi sumber sejarah utama dalam penulisan ini adalah prasasti, sebab sebuah prasasti merupakan sumber sejarah tertulis dengan tingkat autentisitas tertinggi. Tingkat kebenaran dari isi sebuah prasasti sebagai data tekstual sangat tinggi dan informasi yang tertulis dapat dipercayai kebenarannya, karena sebuah prasasti dibuat bersamaan waktunya dengan saat kejadian tersebut terjadi (Pradana, 2015: 1). Dalam prasasti tersirat berbagai kebijakan pemerintah, pengumuman, dan peristiwa yang terjadi pada masa lalu.

Dalam penulisan historiografi dengan pendekatan epigrafi ini, dilakukan empat tahapan. Pertama adalah tahap heuristik atau pelacakan sumber, berupa prasasti dan sumber-sumber pustaka yang relevan dengan pokok bahasan (Tanudirjo, 1989: 38). Prasasti yang digunakan sebagai sumber dalam penelitian ini adalah: Prasasti Ayam Teas, Prasasti Luitan, Prasasti Kubu-kubu, Prasasti Wanua Tengah, dan Prasasti Guntur. Kedua adalah tahap kritik sumber yang terdiri dari dua macam, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern adalah mengenai otentisitas dan keaslian sumber, dalam hal ini mengenai keaslian prasasti dilihat dari keaslian batu dan otentisitas huruf. Kritik interen adalah mengenai kredibilitas isi sumber dalam hal ini adalah substansi terjemahan prasasti (Kuntowijoyo, 1995: 101). Ketiga, interpretasi dengan menggunakan kajian epigrafi struktural, yaitu gabungan antara analisis dan sistesis untuk mendapatkan kesimpulan (Dwiyanto, 1993: 7). Selanjutnya setelah semua tahapan dilalui, dilakukan tahap keempat yakni penulisan sejarah dalam bentuk artikel dengan cara penulisan sesuai kaidah-kaidah ilmiah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prasasti Ayam Teas

1.     Selamat! Tahun Saka yang telah berlalu 822 tahun bulan Posya tanggal 8 paro terang (pada) hari Haryang (Paringkelan)

2.     Kaliwuan (pasaran) dan hari Kamis menurut perhitungan 7 hari. Ketika perintah Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Dharmodaya Mahasambhu

3.     turun kepada Rakryan Mahapatih I Hino (bernama) Pu Bahubajra Pratipaksaksaya, Rake Halu (bernama) Pu

4.     Sanggramadurandhara, Rake Sirikan bernama Pu Samarawikranta, Rake Wka (bernama) Pu Bhaswara, Rake Pagerwsi bernama

5.     Pu Wirawikrama, Rake Bawang bernama Pu Manglawan, Samgat Tiruan bernama Pu Siwastra, Manghuri bernama Pu Cakra.

6.     Wadihati bernama Pu Dapit, Makudur bernama Pu Samwrda memerintahkan seluruh desa sima di (wilayah) Ayam

7.     Teas agar diberi batas-batas semua orang yang berdagang di sana yang tidak dimasuki oleh segala macam manilala drawya

8.     Haji (jumlahnya dibatasi) tiga tuhaan (untuk setiap) usaha dagangnya dalam satu sima (Boechari, 1986: 137).

Prasasti Luitan

1.     Selamat! Telah lewat tahun saka 823 tahun, bulan Caitra tanggal 10 paro terang, pada hari Was (paringkelan), kaliwuan (pasaran), dan Hari Kamis, bintang: Sathabisa, yoga: indra. Pada waktu itu penduduk Desa Luitan yang termasuk wilayah Kapung

2.     Berdatangan sembah kepada Rakryan Mahapatih I Hino, mengadukan bahwa sawah yang dikerjakan tidak sanggup memenuhi bagian, karena sempitnya yang dianggap satu tampah. (Maka) diperintahkan supaya diukur kembali oleh Rakryan Maha

3.     patih i Hino dan Rakryan I Pagarwsi. Yang diberi tugas mengukur (kembali) adalah sang wahuta hyang kudur dan pembantu dari Rakryan Pagarwsi. Sesungguhnyalah bahwa sempit tampahnya tidak dapat memenuhi satu setengah

4.     setiap satu tampahnya, dan tidak sanggup mempunyai enam budak. Maka dikabulkan permohonan dari kepala desa itu untuk mengerjakan sawah 1 lamwit 7 tampah, dan dapat mempunyai empat budak. Karena memang demikianlah perkiraannya setelah diukur kembali (Nastiti, 1982: 29).

Prasasti Kubu-kubu

I.a

1.     Selamat tahun saka yang telah berlalu 827 tahun, hari kamis kliwon paringkelan Mawulu, Wuku Wariga tanggal satu paro gelap bulan Karttika, ketika Dapunta manjala dan sang Mangha

2.     mbin Sang Diha, Sang Dhipa dan Dapu Hyang Rupin membatasi tegalan yang ada di kubukubu sebagai sima bagi Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matu

3.     ha Rakai Majawutan . .

IV.a

4.     … senanglah hati Rakryan Hujung dan Rakai Maja

5.     wuntin melihat penyerangan ke Bantan oleh Sang Mahapatih. Kalahlah daerah Bantan olehnya. Itulah sebabnya kemudian diturunkannya

IV.b

1.     anugrah oleh Sri Maharaja . . . (Boechari, 1986: 156)

Prasasti Wanua Tengah

8.     …. Pada tahun saka 830 bulan asuji, Padmanabha de

9.     wata, tanggal 10 paro terang, hari Kamis Pahing Tunglai, Karmmesa dewa. Walawa Karana, Uttarapada naksatra. Wiswadewa sukla yoga, Karmuka lagna, Yama desa, adalah saat sawah sima di Pikatan diberikan kepada sang hyang wihara di Pikatan. Adapun yang diperintah oleh Sri maharaja dan Rkryan Mahamantri memberikan

10.  sawah tersebut kepada bihara di Pikatan adalah Rakryan Limwayan Dyah Guna dan Dang Acaryya di Tuk bernama Dhaneswara dengan mengusahakan batu batasnya (Boechari, 2012: 485).

Prasasti Guntur

1.     Selamat tahun saka yang telah berlalu 829 tahun, pada hari Rabu Pon, paringkelan Mawulu, tanggal 12 paroterang bulan Srawanga ketika Pu Tabwel

2.     penduduk desa Guntur milik bangunan suci di Garung diperkarakan oleh Samgat Pinapan yang bernama

3.     Pu Gawul dan istrinya bernama Pu Gallan dari Desa Puluwatu, sebabnya ia diperkarakan, karena Sang Dharma namanya

4.     bapak dari Manghapig dari Desa Wurakung yaitu menagih kepada Pu Tabwel hutangnya sebesar 1 suwarna uang emas.

5.     Pu Tabwel tidak mempunyai hutang, hutang itu hutang istrinya yang bernama Si Campa, kepada saudaranya Sang Dharmma. Si Campa kemudian meninggal

6.     ditagihlah Pu Tabwel oleh Sang Dharma, apalagi Pu Tabwel tidak mempunyai anak dengan Si Campa, lebih-lebih ia tidak mengetahui mengenai hutang istrinya,

7.     itulah sebabnya datang tuntutan dari Samgat Pinapan. Dalam persidangan Sang Dharma tidak hadir, itulah sebabnya ia

8.     dikalahkan oleh Samgat Pinapan (Purnamasari, 2012: 42)

Kebijakan Stabilisasi Ekonomi

Dalam Prasasti Ayam Teas, Raja Balitung memberikan titah kepada Rakryan Mahamantri I Hino supaya mengumumkan kebijakannya kepada para pedagang di Ayam Teas. Kebijakan tersebut ialah agar para pedagang dengan jumlah dagangan dibawah standart yang ditentukan kerajaan (misalnya jumlah dagangan berupa ayam kurang dari satu kandang, jumlah dagangan kain kurang dari satu pikulan) dibebaskan dari pajak (Boechari, 2012: 291). Kebijakan ini dipandang sebagai upaya untuk melindungi pedagang kecil dan menggerakkan roda perekonomian kerajaan. Dengan pembebasan pajak ini diharapkan pedagang-pedagang kecil dapat meningkat kesejahteraannya dan arus perdagangan di kerajaan menjadi lebih besar. Hal ini dilakukan sebagai upaya stabilisasi perekonomian, mengingat kerajaan baru saja pulih dari kekacauan pasca kekosongan kekuasaan setelah Rakai Gurunwangi mengasingkan diri dari kerajaan.

Kebijakan Pembenahan Pajak

Dalam Prasasti Luitan terjadi peristiwa pengukuran ulang luas sawah milik warga. Sawah tersebut diukur ulang atas permohonan dari pemilik sawah karena merasa keberatan dengan pajak yang harus dibayarnya. Setelah diukur ternyata luas sawah tersebut lebih kecil daripada luas sawah yang dilaporkan oleh petugas. Sawah milik warga tersebut akhirnya dibebaskan dari pajak oleh Raja Balitung karena ukurannya lebih kecil daripada standar yang ditentukan oleh kerajaan. Kembali lagi dalam prasasti tersebut Raja Balitung mengeluarkan kebijakan yang melindungi rakyat kecil dari pajak yang disebutkan begitu besar. Terlihat bahwa Raja Balitung memang sangat mempedulikan kondisi rakyat kecil yang kesulitan membayar pajak karena penghasilannya dari bertani yang cukup sedikit (Boechari, 2012: 291).

Memang pada masa itu Kerajaan mendapatkan pemasukan yang sangat besar dari pajak. Kerajaan memang memerlukan pemasukan besar untuk membantu jalannya pemerintahan. Pajak tersebut dikenakan kepada rakyat yang di rasa mampu untuk membayarnya, namun untuk rakyat kecil yang kurang mampu tetap mendapat keringanan dengan dibebaskan dari pajak.

Sebagai bentuk perlindungan terhadap rakyat dan pedagang kecil, Raja Balitung mengeluarkan kebijakan ambang batas jumlah dagangan tidak kena pajak. Pedagang dengan jumlah dagangan dibawah ambang batas tidak dikenai pajak. Selain terhadap pedagang, warga desa dengan sawah berukuran tertentu juga tidak dikenai pajak. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa untuk pajak-pajak lain juga ditetapkan ambang batas tidak kena pajak.

Kebijakan Ekspansi Wilayah

Dalam Prasasti Kubu-Kubu, terdapat dua orang tokoh yaitu Rakryan Hujung dan Rakai Maja. Kedua tokoh tersebut mendapatkan anugerah dari Raja karena berhasil memimpin pasukan yang melakukan penaklukan di daerah Bantan. Dari prasasti tersebut dapat diketahui bahwa Kerajaan Mataram Kuno melakukan ekspansi atau perluasan wilayah ke luar wilayah kerajaan. Hal ini terlihat sebagai upaya untuk menunjukkan kedaulatan dan kekuatan Kerajaan Mataram kuno dibawah pemerintahan Raja Balitung.

Kebijakan Pemberian Anugerah Bagi Tempat Peribadatan

Langkah yang dilakukan Raja Balitung dengan memberikan anugerah berupa pemberian sima (memberikan status bebas pajak pada suatu wilayah) bagi bangunan peribadatan yang berada di wilayah Wanua Tengah bisa jadi merupakan suatu upaya untuk mendapatkan legitimasi dari rakyatnya. Hal itu dilakukan karena Raja Balitung meyakini bahwa siapapun Raja yang memberikan anugerah kepada bangunan peribadatan di Wanua Tengah niscaya akan kedudukannya teguh di singgasana Mataram Kuno. Hal ini terungkap dalam prasasti Wanua Tengah, kurang lebih seperti inilah yang tertulis (Boechari, 2012: 484-491):

Kumonnakan ikanang sawah sima sang hyang bihara I pikatan uwahanna. Yathanyan mapagaha palungguh sri maharaja ing kadatwan.

Terjemahan bebas:

Kemudian di tanah tersebut sima dari bihara (tempat ibadah) di Pikatan perbaikilah. Supaya teguhlah tahta sri maharaja di kedaton

Secara eksplisit memang Raja Balitung menyatakan bahwa tujuannya merehabilitasi sima di Wanua Tengah sebagai upaya agar teguh kedudukannya di singgasana. Di dalam prasasti Wanua Tengah Raja Balitung juga menyebut satu persatu nama Raja Pendahulunya dan apa yang mereka lakukan terhadap bangunan peribadatan di Wanua Tengah mulai dari Panangkaran hingga Watuhumalang. Raja-raja yang memberikan anugerah terhadap bangunan peribadatan di Wanua Tengah diceritakan mendapatkan nasib baik dan memerintah cukup lama, sedangkan raja yang mencabut status sima di Wanua Tengah diceritakan mengalami nasib yang kurang baik. Raja-raja yang mendapatkan nasib buruk karena mencabut status sima di Wanua Tengah yakni: Rakai Kayuwangi, Dyah Tagwas, Rakai Panumwangan, dan Rakai Gurunwangi. Seperti pada pembahasan sebelumnya pada pemerintahan raja-raja tersebut, setelah sepeninggalan Rakai Kayuwangi terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan Mataram Kuno yang mengakibatkan gejolak di Kerajaan (Boechari, 2012: 484-491).

Kebijakan Pengangkatan Mahamantri

Perlu diketahui bahwa Raja Watu Humalang sebenarnya telah memiliki seorang putra mahkota yang bernama Daksa (dilihat dari gelarnya “I hino Sri Daksottama”, “Rakryan I Hino Daksottama”, “Rakai Hino Sri Daksottama”), namun ternyata sang raja lebih memilih Raja Balitung sebagai suksesornya yang sebelumnya adalah seorang rakai (penguasa wilayah) di Watukura. Alih-alih tahta jatuh ke putra mahkota tahta malah jatuh ke tangan seorang penguasa wilayah, tentunya hal ini akan menimbulkan pergolakan dan pemberontakan jika tidak tepat penanganannya. Penanganan yang dilakukan oleh Raja Balitung adalah dengan memberikan jabatan dan kekuasan yang tinggi kepada Daksa, sekaligus tetap menjadikan Daksa sebagai calon penerusnya.

Prasasti tertua yang dikeluarkan oleh Raja Balitung yang ditemukan saat ini adalah Prasasti Ayam Teas yang berangka tahun 822 Saka, kurang lebih dua tahun setelah naik tahta atau sekitar 900 masehi (Boechari, 1986: 137). Dalam prasasti tersebut tertulis:

“tatkala ajna sri maharaja rake watukura dyah dharmodaya mahasambhu tumurun i rakryannmahapatih i hino pu bahubajra pratipaksaksaya”

Terjemahan bebas:

“ketika perintah Sri Maharaja turun kepada sang Rakryan Mahapatih i Hino pu bahubajra prattipaksaksaya”.

Dua tahun setelah naik tahta, raja telah memilih seorang mahamantri sekaligus seorang i Hino (putra mahkota) yaitu pu bahubajra. Dari fakta tersebut dapat sedikit memunculkan asumsi bahwa pada awal pemerintahannya, Sang Raja Balitung langsung memberikan jabatan tinggi di kerajaan kepada Sang Daksa supaya tidak terjadi pergolakan dan pemberontakan yang diakibatkan oleh ketidakpuasan Daksa.

Pemberian jabatan mahamantri ini sendiri juga diasumsikan oleh penulis sebagai bagian dari “penyiapan” Daksa sebagai calon penerus Raja balitung. Dalam posisi mahamantri ini Daksa dibiasakan untuk mengatur jalannya pemerintahan kerajaan mataram Kuno dan mendekatkan diri kepada rakyatnya sehingga kelak saat sudah berkuasa akan dapat memimpin dengan baik.

Kebijakan Penataan Peradilan

Bahasan mengenai peradilan di masa Balitung tercantum dalam Prasasti Guntur. Melalui Prasasti tersebut dapat dirumuskan mengenai mekanisme pengadilan di masa Balitung seperti berikut ini. peradilan diawali dengan proses pendaftaran perkara, dalam hal ini pihak penggugat melaporkan pihak yang tergugat kepada pejabat setempat atau si penguasa tertinggi di wilayah dia berada. Peradilan di Jawa Kuno memiliki tingkatan-tingkatan. Untuk perkara utang piutang, persidangan dilakukan oleh penguasa wilayah setingkat watak dan perkara yang lebih penting seperti perkara sengketa tanah, persidangan dilakukan oleh sang raja penguasa kerajaan. Terlihat bahwa tingkatan perkara juga menentukan apakah persidangan perlu digelar di tingkat watak atau tingkat kerajaan, makin berat perkara yang dipertentangkan maka memerlukan tingkatan pengadilan yang lebih tinggi (Boechari, 2012: 248). Kemudian, strata sosial orang yang berperkara juga menentukan tingkatan pengadilan. Penggugat dan tergugat yang merupakan rakyat biasa ditangani oleh pejabat watak. Sedangkan jika tergugat dan penggugat adalah pejabat, baik itu pejabat watak maupun pejabat kerajaan maka pengadilan ditangani oleh raja. Kembali terlihat bahwa strata sosial menentukan tingkatan pengadilan mana yang mengurusi perkara tersebut, semakin tinggi strata sosial orang yang berperkara maka semakin tinggi pula tingkatan pengadilan yang mengurusi.

Putusan dari pengadilan ini adalah bersifat mutlak, namun masih ada kemungkinan untuk ditinjau ulang selama penggugat memiliki alasan dan bukti yang kuat untuk meminta peninjauan ulang. Kemudian mengenai mekanisme pengungkapan kebenaran, terlihat bahwa dalam persidangan ini setiap pihak baik pihak yang menggugat maupun tergugat haruslah melakukan pembuktian terlebih dahulu. Menurut Boechari (2012: 192), terdapat tiga macam pembuktian yang disebut dengan triprangama yang terdiri dari sakshi, likhita, dan bhukti. Sakshi merupakan orang-orang yang dapat menceritakan/menyaksikan mengenai kebenaran dari salah satu pihak, dapat sebagai saksi yang melihat langsung kebenarannya juga dapat sebagai saksi ahli yang benar-benar faham akan hal yang diperkarakan, sakshi memiliki kekuatan hukum terlemah, sedangkan likhita adalah surat-surat tertulis yang menguatkan pernyataan salah satu pihak, dan bhukti adalah bukti de facto yang memiliki kekuatan hukum tertinggi. Setiap orang yang dinilai memiliki nilai pembuktian terkuat maka akan dinyatakan sebagai pemenang perkara, tidak peduli apapun jabatannya.

Relevansinya dengan masa kini adalah bahwa sistem pembuktian masih dipakai hingga saat ini. Seorang hakim tidak bisa serta merta memutuskan vonis pengadilan tanpa melihat bagaimana proses pembuktian terjadi. Pada masa lalu, seorang raja pun bersikap adil dalam menentukan putusan pengadilan sesuai dengan pembuktian yang dilakukan. Sudah seharusnya para pengadil padai masa kini tetap memegang teguh prinsip peradilan seperti pada masa Jawa Kuno bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah tanpa melihat apa jabatan dan strata sosialnya.

Karakter Kepemimpinan Balitung

Ditinjau dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Balitung, dapat diidentifikasi bagaimana karakter kepemimpinannya selama berkuasa. Berikut ini adalah karakter-karakter balitung yang tercermin dari kebijakannya dalam prasasti:

Berani

Keberanian Balitung ditunjukkan oleh keberaniannya menghentikan perang saudara yang terjadi antara Rakai Gurunwangi dan Dyah Limus. Saat kerajaan dalam kondisi darurat dan terbengkalai, Balitung menunjukkan keberaniannya dengan memadamkan perang saudara tersebut. Dari keberaniannya, Balitung mendapatkan anugerah luar biasa dari Raja Watuhumalang untuk menjadi Raja berikutnya yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno.

Kuat            

Karakter Balitung dapat dipandang sebagai seorang Raja yang sangat kuat. Selain mampu memadamkan perang saudara yang telah berlarut-larut, Balitung juga mampu menaklukkan wilayah lain dan memperlebar kekuasaan kerajaan. Sebagai seorang pemimpin yang mampu menunjukkan kekuatan, tentu akan disegani dan dihormati baik oleh rakyatnya maupun juga oleh kerajaan-kerajaan lain.

Cerdas

Kecerdasan Balitung terlihat dari kemampuannya untuk melihat persoalan-persoalan yang terjadi di kerajaan dan memberikan solusi yang relative tepat. Contoh persoalan yang ditemukan oleh Balitung adalah permasalahan ekonomi dan pajak. Kemudian dengan kecerdasannya Balitung merumuskan kebijakan stabilisasi ekonomi dan peringanan pajak bagi yang kurang mampu.

Bijaksana

Selain cerdas, Balitung juga bisa dibilang adalah seorang raja yang Bijaksana. Kebijaksanaannya terlihat dalam pengangkatan Daksa sebagai Mahamantri dan penerusnya. Alih-alih menyingkirkan Daksa (pewaris tahta sah sebelumnya), Balitung lebih memilih untuk menjadikan daksa sebagai orang nomor dua di Kerajaan. Dengan ini, Balitung dapat lebih mendekatkan diri dan mempersiapkan Daksa untuk menjadi penerusnya sekaligus menghilangkan potensi ancaman dari Daksa yang mungkin saja akan menggulingkannya suatu saat.

Visioner

Sekali lagi sebagai seorang raja yang cerdas dan bijaksana, Balitung menunjukkan kualitasnya sebagai seorang raja yang Visioner. Balitung sekali lagi menciptakan fondasi Kerajaan Mataram Kuno yang lebih kuat kedepannya, mulai dari kebijakan pajaknya; pemindahan pusat kerajaan dari mamrati ke kedu; penataan birokrasi; dan kebijakannya terhadap tempat ibadah.

Tegas

Ketegasan Balitung terlihat dalam Prasasti Rumwiga ketika ada seorang pejabat kerajaan yang berlaku curang dalam penarikan pajak. Balitung dengan tegas memberikan hukuman yang sangat berat kepada petugas pajak yang berasal dari golongan bangsawan tersebut.

Peduli kepada rakyatnya

Sekali lagi jika direnungkan kembali mengenai penataan pajak yang dilakukan oleh Balitung, terlihat betapa Balitung sangat peduli pada rakyatnya yang mengalami kesulitan. Pasca kekacauan besar di kerajaan saat terjadi perang saudara tentunya keadaan ekonomi belumlah stabil. Dalam kondisi ini, Balitung melakukan pembebasan pajak pada rakyatnya yang kurang mampu.

Mau belajar dari para pendahulunya

Dalam prasasti Wanua Tengah, Balitung secara terang-terangan mengakui bahwa melakukan hal yang telah dilakukan oleh pendahulunya agar pemerintahannya berjalan dengan baik. Ini menunjukkan bahwa Balitung mau menengok ke belakang dan melihat bagaimana pendahulunya berkuasa. Balitung mau melakukan evaluasi terhadap pemerintahan di masa lalu sebagai acuan untuk menjalankan pemerintahannya di masa mendatang.

SIMPULAN

Berdasarkan dari hasil penelitian ini, ditarik sebuah simpulan untuk menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya mengenai “bagaimanakah karakter kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Balitung dalam memimpin kerajaan Mataram Kuno?”. Dalam penelitian ini teridentifikasi karakter-karakter kepemimpinan dari Balitung, yaitu: berani, kuat, cerdas, bijaksana, visioner, tegas, peduli kepada rakyatnya, dan mau belajar dari para pendahulunya. Karakter-karakter tersebut tercermin dari berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Balitung yang tertuang dalam prasasti-prasastinya. Hendaknya karakter-karakter kepemimpinan tersebut dapat dijadikan contoh bagi para pemimpin di masa kini.

Kerajaan Mataram Kuno yang dipimpin oleh Balitung “Sang Penguasa” yang memiliki karakter kepemimpinan sedemikian rupa menjadi sebuah kerajaan yang lebih kuat. Pada 12 tahun masa pemerintahan Balitung, sejauh ini belum pernah tercatat terjadinya pemberontakan yang membahayakan cukup kedhaton seperti pada masa pemerintahan raja-raja sebelumnya. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Balitung diterima dengan baik oleh rakyatnya walaupun bukan merupakan i hino atau putra mahkota dari Watuhumalang. Wilayah kerajaan Mataram kuno juga mengalami perluasan, seperti tercatat dalam Prasasti Kubu-kubu mengenai ekspansi wilayah ke daerah Bantan yang diduga berada di Jawa Timur.

DAFTAR PUSTAKA

Boechari. 1986. Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid 1. Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional

———–. 2012. Melacak Sejarah Indonesia Kuno Lewat Prasasti: Kumpulan Tulisan Boechari. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Darmosoetopo, Riboet. 2003. “Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU”. Disertasi. Yogyakarta: Prana Pena.

Dwiyanto, Djoko. 1993. “Metode Penelitian Epigrafi dalam Epigrafi” dalam Artefak No 13. Agustus 1993: 7-9.

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Nastiti, Titi Surti. 1982. Tiga Prasasti Dari Masa Balitung. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

———————. 1995. “Metodologi Riset: Bidang Epigrafi dan Sejarah Kuna” dalam Seminar Nasional Metodologi Riset Arkeologi Depok, 23-24 Januari 1995. Jurusan Arkeologi. Fakultas Sastra. Depok: Universitas Indonesia

Pradana, Yogi. 2015. “Kebijakan Penguasa Dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan Pada Masa Raja Balitung (820-832 C): Kajian Atas Prasasti-Prasastinya”. Skripsi Universitas Gadjah Mada. Tidak Diterbitkan.

Punamasari, Dewi. 2012. “Sambandha Pada Prasasti-Prasasti Masa Balitung (820-832 C)”. Skripsi Universitas Indonesia. Tidak diterbitkan.

Susanti, Ninie. 1986. “Mekanisme Birokrasi di Jaman Raja Balitung (898-910 M)”. Makalah dalam PIA IV 1986: 305 – 311. Jakarta: Puslitarkenas.

Tanudirjo, Daud Aris. 1989. “Ragam Metoda Penelitian dalam Skripsi Karya Mahasiswa Arkeologi UGM”. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.