HUBUNGAN ANTARA

KECER­DASAN EMOSIONAL,

KESE­DIAAN DIRI BERUBAH

DAN DETERMINASI DIRI MAHASISWA

Sumardjono Padmomartono

Herry Sanoto

FKIP – Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRAK

Penelitian ini bermaksud mengenal pasti signifikansi hubung­an antara ke­cerdasan emosional dan kesediaan diri berubah serta antara ke­cerdasan emosional dan determi­nasi diri mahasiswa S1-PGSD-FKIP-UKSW. Pene­litian menun­juk­kan: 1) Ada hubung­an yang positif dan sangat signifikan antara kecer­dasan emosional dan kesedia­an diri berubah mahasiswa de­ngan koefi­sien kore­lasi 0,440** pada p = 0,000 < 0,01. 2) Ada hubung­an yang positif dan sangat signifikan antara kecerdasan emosional dan deter­mi­nasi diri maha­siswa dengan koefisien kore­lasi rxy= 0,592** pada p = 0,000 < 0,01.

Kata Kunci: Kecerdasan Emosi, Kesediaan Diri Berubah, Deter­minasi Diri, Kompetensi Kepribadian Guru

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pasal 32 UU No. 14 Th. 2005 tentang guru me­nya­ta­kan pembi­naan dan pe­ngem­bangan profesi guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profe­sional sehingga LPTK perlu menyi­apkan lulusannya agar memiliki keempat kompetensi tersebut. Kompetensi diartikan sebagai kebulatan pengeta­huan, keteram­pilan dan sikap yang ditam­pilkan guru melalui berperilaku cerdas dan tanggungjawab dalam profesinya.

UU Sisdiknas (2006) menyebutkan kompetensi kepribadian guru meliputi ciri kepri­badian yang 1) Mantap dan stabil, ber­tindak sesuai norma hukum dan sosial, bangga sebagai pendidik, konsisten bertindak sesuai dengan norma. 2) Dewasa, tampil mandiri dalam ber­tindak sebagai pen­didik yang beretos kerja. 3) Arif, tin­dakannya ber­man­faat bagi peserta didik, sekolah, masya­rakat dan terbuka dalam berpikir dan bertindak. 4) Berwibawa, perilakunya disegani dan ber­pe­nga­ruh positif pada peserta didik. 5) Akhlak mulia dan men­jadi teladan, tindakannya sesuai dengan norma religius (iman tak­wa, jujur, ikhlas, suka menolong) serta berperilaku patut diteladani. Berarti kompe­tensi kepribadian yang perlu diupayakan LPTK agar dimiliki lulusan­nya adalah ciri pribadi guru yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan serta berakhlak mulia yang terung­kap melalui kesatuan pikir, rasa, ucapan dan tindakan guru.

Siswanto (2007) menyatakan mahasiswa perlu memiliki kecerdasan emosi­onal sebagai modal menyikapi global­isasi dan persaingan serta dinamika sosial yang berkem­bang. Kecerdasan emosional membantu mahasiswa membina relasi sosial di lingkungan keluarga, universitas dan sosial-masyarakat. Bagi guru, kecer­dasan emosional merupakan syarat mutlak dan strategis guna menumbuhkan iklim dialogis, demokratis dan partisi­pa­tif karena dituntut kedewasaan emosional dalam memahami dan menerima per­bedaan. Plural­itas etnis, agama, dan budaya dapat menjadi sumber konflik laten jika tidak disertai budaya dialogis dan sikap empati.

WYen (2003) menunjukkan ada hubung­an yang positif dan sangat signi­fikan antara kecerdasan emosional dan kepuasan hidup cerminan deter­minasi diri. Sedang­kan Suyanti (2002) me­nun­­jukkan tidak ada hubungan yang signi­fikan antara kecerdasan emosional dan deter­minasi diri. Wanberg & Bannas (2000) menemukan daya lenting/recili­ency psiko­logik yang men­ca­­kup harga diri, optimisme dan kecakapan menge­lola diri sebagai per­amal kese­diaan menerima pe­r­ubahan. Deci & Ryan (1985) mengeks­plo­rasi deter­minasi diri melalui iklim kerja antar pribadi yang diciptakan dosen dengan lebih memfo­kuskan relasi antar pribadi yang cenderung mendu­kung determinasi diri mahasiswa dalam menentukan pilihan berprakarsa. Fungsi dosen adalah mengembangkan harga diri dan percaya diri melalui mem­beri dukungan mahasiswa. Chirkov et al (2003) menunjuk­kan orang tua dan dosen yang menetap­kan pilihan bagi mahasiswa Asia dan Amerika Serikat menye­bab­kan mele­mah­nya moti­vasi intrin­sik. Di pihak lain, meng­adopsi pilihan yang ditetap­kan oleh orang-orang penting mengembang­kan motivasi intrinsik maha­siswa Asia. Individu yang mandiri tidak lebih baha­gia hidup­nya dibandingkan de­ngan yang kurang mandiri. Pan­dangan berten­tangan mengenai otonomi yang me­lin­tas-batas lingkup budaya menarik untuk dikaji.

Assor et al (2005) menunjukkan determinasi diri yang diartikan sebagai keman­dirian siswa menghendaki agar guru didukung untuk mengkinerjakan kemandiri­an bekerja, sehingga dalam pembelajaran di LPTK perlu dite­kankan pengembangan kepribadian guru yang memandirikan siswa. Berarti kepala sekolah perlu bertindak selaras dengan upaya yang mendukung determinasi diri guru, artinya guru perlu leluasa mengem­bang­kan deter­mi­nasi diri melalui program intervensi yang mem­per­la­kukan guru seba­gai pribadi mandiri, bukan menjadikan guru robot, membantu guru memahami tujuan dan motif hidupnya melalui studi mandiri (self study).

Muncul pertanyaan apakah kecer­dasan emosional mempu­nyai hubungan yang signifikan dengan kesediaan diri berubah serta di pihak lain, apakah kecer­dasan emosional berhubungan yang signifikan pula dengan determi­nasi diri? Karenanya penulis hendak mengeksplorasi hubungan kecer­dasan emosional, kese­diaan diri berubah dan determinasi diri maha­siswa di Program Studi S-1 PGSD-FKIP-UKSW.

Rumusan Masalah

Masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Adakah hubungan yang signi­fikan antara kecerdasan emosional dan kesediaan diri berubah serta antara kecerdasan emosional dan determi­nasi diri mahasiswa PGSD-FKIP-UKSW?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengenal pasti signifikansi hubungan antara kecer­dasan emosional dan kesediaan diri berubah serta antara kecerdasan emosional dan deter­minasi diri maha­siswa PGSD-FKIP-UKSW.

Manfaat Penelitian

Secara teoretik penelitian ini memberi sumbangan pada konseptualisasi kaitan hubungan di antara kecer­dasan emosional, kesediaan diri berubah serta determinasi diri dalam dimensi orientasi budaya individualisme dan kolektivisme secara horisontal maupun vertikal pada mahasiswa. Secara praktik hasil penelitian ini berguna bagi upaya untuk mengem­bangkan kepribadian mahasiswa agar lebih selaras dengan tuntutan profesi guru.

KAJIAN PUSTAKA

Teori Determinasi Diri

Teori Determinasi Diri Deci & Ryan (1985) adalah teori motivasi kompre­hensif yang mencakup adanya tiga kebutuhan psi­ko­logik asli yaitu kebutuhan otonomik/autono­my, bersekutu/relatedness dan berkom­petensi/compe­tence. Konteks sosial keluarga, kam­pus dan profesi memu­dahkan terpe­nu­hinya kebu­tuhan itu melalui menye­diakan tan­tangan optimal, infor­masi se­ba­­gai loloh-balik dan keterlibatan antar pribadi. Du­kungan sosial terdekat berotonomi berperan mengembangkan motivasi intrin­sik; motivasi ekstrin­sik yang menjadi ketetapan diri/self deter­mina­tion. Moti­vasi intrinsik dan ekstrinsik yang menjadi ketetapan diri ini berhu­bungan positif dengan kinerja berkualitas tinggi dan penye­suaian diri.

Teori determinasi diri membuat perbedaan antara motivasi ekstrinsik yang ditetap­kan pribadi/self determined atau otonomik dengan motivasi eks­trinsik yang terkendali/controlled beserta dampaknya yang berbeda pada kualitas pengalaman bel­ajar. Motivasi ekstrinsik yang terkendali bergantung pada ganjaran/sanksi serta pada pandangan pribadi tentang apa yang diharapkan dari diri sendiri yang meng­ha­silkan perilaku sebagai respon terhadap tekanan karena perilaku itu dikenda­likan dari luar individu. Selanjutnya, motivasi ekstrinsik yang otono­mik berubah menjadi motivasi in­trin­sik yang dideterminasikan diri, yang dise­tujui diri sendiri, mereflek­sikan diri hingga menye­nangkan dan penting bagi diri sendiri serta memunculkan perilaku suka­rela berkarya.

Chirkov, Ryan & Willness (2005) menemukan praktik budaya dan frek­wensi pene­rap­an tata nilai yang berorientasi individualisme ~ kolektivisme dan horizontal ~ vertikal pada maha­siswa Brazil dan Canada. Dite­mukan rasa otonomik yang lebih tinggi beserta ke­bu­tuhan mendapat dukungan orang tua dan dosen berko­re­lasi dengan kesehatan jiwa dan identitas budaya yang lebih tinggi serta orientasi budaya vertikal kurang diinter­nalisasikan pada kedua kelompok mahasiswa itu.

Kecer­dasan Emosional

Kecerdasan emosional (Salovey et al, 1995 dalam Uno, 2006) adalah ku­ali­tas emo­si untuk meraih sukses, yaitu: 1) empati, 2) meng­ung­kap­­kan dan memahami pera­saan, 3) me­ngenda­li­kan amarah, 4) keman­dirian, 5) me­nye­suai­kan diri, 6) ber­dis­­kusi, 7) meme­cahkan masalah antar pribadi, 8) te­kun, 9) se­tia-kawan, 10) sikap hormat. Ke­cer­dasan emosi­onal menuntun individu belajar meng­­hargai ra­sa diri dan orang lain, mem­beri tang­gapan yang tepat, mene­rapkan efektif informasi dan energi dalam hidup sehari-hari. Bar-On (Stein & Book, 2002) merangkum kecerdasan emosional ke lima ranah, yaitu: 1) Intrapribadi, me­nge­­­nal dan mengen­dalikan diri; sa­dar­ diri, bersikap asertif, mandiri, menghargai diri dan aktu­alisasi diri. 2) Antarpribadi yaitu “keterampilan ber­gaul,” berinteraksi baik dengan orang lain melalui berempati, ber­tanggung jawab sosial dan memelihara relasi. 3) Penye­suai­an diri yang lentur, realistik dan berdaya guna dalam memecahkan masalah; melihat sesu­atu sesuai kenyataan, flek­si­bel dan mam­pu men­de­fi­ni­si­kan ma­salah, bertindak mene­rap­kan pe­me­­cahan jitu dan tepat serta uji reali­tas. 4) Pengen­da­lian stres, mampu meng­ha­dapi stres dan mengen­da­li­kan do­rongan naf­su serta me­nunda keingin­an bertin­dak dengan pertimbangan yang sek­sama; tahan me­nanggung stres dan pengen­dalian nafsu. 5) Suasana hati umum, yaitu pandangan in­di­­­vidu tentang kehi­dupan, bergembira dalam bersendiri dan ber­sama orang lain; sikap positif yang realistik di masa sulit (optimis­tik) dan men­syu­­kuri hi­dup, menyu­kai diri sendiri dan orang lain, serta ber­gairah mela­ku­kan kegiatan/bahagia.

Teori Perubahan/Change Theory

Hoyle (Law & Glover, 2000) menyebut per­ubahan adalah ge­rak­an yang tidak didahului dengan tujuan tertentu serta terjadi secara kebetulan/accidental. Inovasi adalah proses yang di­se­ngaja dan bertujuan. Publik memandang perubahan berarti “ber­manfaat bagi semua”, karena perubahan itu baik dan bermakna kema­juan. Perubahan ber­arti pula mem­buat individu frus­trasi, bingung, kadang berdaya merusak seka­ligus tantangan yang men­sti­mulasi individu dan organisasi. Perubahan disi­kapi ko­mitmen berjang­ka pan­jang agar berhasil. Rossman et al. (Law & Glover, 2000) mengidentifikasi tiga proses per­ubahan budaya: 1) Perubahan evolusioner, berlangsung da­lam periode waktu tertentu, impli­sit, tidak teren­ca­na, diwarnai pudarnya norma, tata nilai dan wawasan. 2) Perubahan tambahan, berlangsung eksplisit atau implisit, disadari atau tidak disadari, wawasan dan tata nilai diubah secara mendadak melalui memberlakukan prakarsa baru. 3) Perubahan transfor­ma­sional, sengaja mem­­perha­tikan norma, tata nilai dan wawasan yang berubah.

Fullan (Law & Glover, 2000) mengemukakan tiga tahapan peng­ajuan perubahan organisasi: 1) Memprakarsai perubahan karena peduli kebu­tuhan yang belum terpenuhi dan menyelaraskan diri dengan kemajuan IPTEK. 2) Mengimplementa-sikan perubahan yang bertema misalnya mem­­ba­ngun visi peda­gogik dan perenca­naan evolusi­oner meng­e­nal­kan mana­gemen kualitas. 3) Melembagakan perubahan misal­nya menyebar-luaskan praktik terpuji dan men­dam­pingi guru yang perlu perubahan dengan dukungan fasilitator setempat.

Hipotesis

Hipotesis dirumuskan sebagai berikut: “Ada hubungan yang signifikan antara kecer­dasan emosional dan kese­diaan diri berubah serta antara kecerdasan emosional dan deter­minasi diri mahasiswa PGSD-FKIP-UKSW.”

METODE PENELITIAN

Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah mahasiswa dari dua kelas matakuliah Psiko­logi Kepriba­dian Program Studi S-1 PGSD – UKSW yang berjumlah 78 mahasiswa yang hadir dalam kuliah dan mengisi instru­men penelitian dengan benar. Keseluruhan 78 mahasiswa itu diperlakukan sebagai sampel dalam penelitian ini.

Teknik Pengumpulan Data

Instrumen penelitian yang digunakan diadaptasi dari:

1) Skala Kecer­dasan Emosi­onal WLEIS/Wong and Law Emotional Intelligence Scale (Law, Wong & Song, 2004), mengukur dimensi berikut: 1) SEA (Self Emo­tional Appraisal), cakap memahami rasa diri terdalam dan meng­eks­presikan rasa dengan wajar; individu yang berskor tinggi pada dimensi ini menya­dari, me­ngakui dan mene­rima perasaannya lebih baik dari orang lain. 2) OEA (Others-Emotional Appraisal), cakap meng­amati dan mema­hami pera­saan orang lain; individu berskor tinggi da­lam dimensi ini peka dengan pera­saan orang lain dan cakap mempre­diksi respon perasaan orang lain. 3) UOE (Use of Emotion), ca­kap meng­arah­kan ra­sa ke kegiatan kons­truktif dan produktif untuk men­du­kung kinerja pribadi; individu yang berskor tinggi pada dimen­si ini cakap menye­mangati diri untuk ber­buat makin baik secara berkesinam­bung. 4) ROE (Regulation of Emotion), cakap mengatur pera­saan, individu yang berskor tinggi dalam dimensi ini cepat pulih ke kondisi psikologik normal setelah bergembira-ria, jengkel, cakap me­ngen­dalikan emosi dan sulit le­pas kendali rasa atau tidak suka mengumbar amarah.

2) Skala Kesediaan Diri Berubah (Oreg, 2003) berisikan empat faktor, yaitu: 1) Dimensi Keperilakuan, individu sangat cenderung mengadopsi budaya rutinitas. 2) Dimensi Afektif, berisi kompon­en reaksi emosi yang mencer­min­kan muatan stres dan ketidak-nya­manan sebagai akibat dihadapkan pada perubahan. 3) Dimensi Waktu, individu me-men­ting­kan ke­nya­manan dan kebutuhan masa kini saja; ia dikacaukan oleh ketidak-nya­man­an dari perubahan sehingga menghindar tidak memilih manfaat rasional jangka panjang perubahan itu. 4) Dimensi Kogntif, frekwensi dan mudah-sulitnya individu mengubah alam pikirannya.

3) Skala Determinasi Diri (Chirkov et al, 2003), berdimensi horisontal ~ ver­tikal praktik dan norma pendukung kesetaraan warga se budaya serta dimensi indi­vi­dualisme ~ ko­lek­tivisme tujuan individu dalam mengutamakan kebutuhan, norma dan tujuan ma­sya­rakat sehingga didapat empat orientasi budaya, yaitu: 1) Kolektivisme horisontal, indi­vidu menyikapi diri sama de­ngan orang lain dalam mencapai tujuan, saling-bergantung dan sosiabilitas. 2) Individualisme horisontal, individu menjadikan diri unik dan menyikapi tiap orang punya martabat, harga diri dan hak setara. 3) Ko­lek­tivisme vertikal, individu setia pada ma­syarakat budaya­ dan berdedikasi pada relasi pergaulan hirarkis di masyarakat. 4) Individualisme vertikal, individu ber­kom­­petisi lang­­sung dengan orang lain dan meyakinkan diri meraih tujuan pribadi.

Teknik Analisis Data

Skala Kecer­dasan Emosi­onal memiliki validitas antara 0,3462 ~ 0,6290 pada relia­bi­litas Alpha Cronbach 0,8557. Skala Kesediaan Diri Berubah pada rentang validi­tas 0,3311 ~ 0,5554 dengan reliabilitas Alpha Cronbach 0,8316, sedangkan Skala Determinasi Diri pada rentang validitas 0,3316 ~ 0,6029 dan reliabilitas Alpha Cronbach 0,8653. Selan­jutnya data dianalisis dengan korelasi Spearman’s rho.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Analisis Deskriptif

Pada Mean kecer­dasan emosional = 86,41, SD = 11,075; skor minimum 63 dan skor maksimum 105, didapat 41 mahasiswa (52,6%) yang berka­te­gori kecer­dasan emosi­onal lemah sampai dengan sedang. Selebihnya, 37 maha­siswa (47,4%) berada pada kate­gori agak kuat dan kuat kecerdasan emosionalnya. Di lain pihak, pada Mean Kesediaan Diri Berubah = 68,62; SD = 10,588; skor minimum 48 dan skor maksimum 95, diperoleh 34 mahasiswa (43,6%) yang kesediaan diri berubah ber­kategori lemah sampai dengan agak lemah, selebihnya ada 44 mahasiswa (56,4%) berkategori sedang sampai dengan kuat kesediaan dirinya berubah. Akhirnya, pada Mean Determinasi Diri = 83,54; SD = 12,302; skor minimum 47 dan skor maksimum 101, ditemukan 23 mahasiswa (29,5%) berkategori lemah sampai dengan sedang determinasi dirinya. Selebihnya ada 55 mahasiswa (70,5%) yang ter­go­long agak kuat sampai dengan kuat determinasi dirinya.

Analisis Korelasional

Berikut adalah rangkuman koefisien korelasi Spearman’s rho antara kecer­dasan emosi­onal dan kesediaan diri berubah serta antara kecer­dasan emosi­onal dan determinasi diri mahasiswa PGSD-FKIP-UKSW yang diana­lisis melalui SPSS for Windows Version 10.

Hubungan antara Kecerdasan Emosional dan Kesediaan Diri Berubah serta antara Kecerdasan Emosional dan Determinasi Diri Mahasiswa PGSD-FKIP-UKSW (N = 78)

Spearman’s rho

Kecerdasan Emosional

(Sig.2-tailed)

Keputusan

Kesediaan Diri Berubah (Sig.2-tailed)

0,440**

(0,000)

Hubungan positif sangat signifikan

Determinasi Diri

(Sig.2-tailed)

0,592**

(0,000)

Hubungan positif sangat signifikan

** Korelasi positif signifikan pada taraf 0,01 (uji 2-ekor).

Analisis statistik menunjukkan antara kecerdasan emosional dan kesediaan diri ber­ubah mahasiswa menghasilkan koefisien korelasi sebe­sar rxy = 0,440** pada p= 0,000 < 0,01 serta antara kecerdasan emosional dan determinasi diri mahasiswa mengha­silkan pula koefisien korelasi sebe­sar rxy = 0,592** pada p= 0,000 < 0,01. Disimpul­kan ada hubungan po­si­tif sangat signifikan antara kecer­dasan emosional mahasiswa dan kesediaan diri ber­ubah serta antara kecer­dasan emosional dan deter­minasi diri maha­siswa. Dengan kata lain dapat dikatakan makin kuat kecerdasan emosional, maka makin kuat pula kesediaan diri berubah dan determinasi diri mahasiswa.

Uji Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Ada hubungan yang signi­fikan antara kecerdasan emosional dan kese­diaan diri ber­ubah serta antara kecerdasan emo­sional dan deter­minasi diri mahasiswa PGSD-FKIP-UKSW.” Hasil analisis data me­nun­jukkan ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara kecerdasan emo­si­onal dan kese­diaan diri berubah serta antara kecerdasan emo­si­onal dan deter­minasi diri maha­siswa PGSD-FKIP-UKSW, sehingga hipotesis yang telah dirumuskan diterima.

Pembahasan Hasil Penelitian

Hasil analisis menyatakan ada hubungan positif dan sangat signi­fikan an­tara kecer­dasan emosional dan kesediaan diri berubah serta an­tara kecerdasan emosional dan deter­minasi diri mahasiswa. Artinya makin kuat kecer­dasan emosional, makin kuat pula kese­diaan diri berubah dan deter­minasi diri mahasiswa, yang ter­ungkap dari pene­litian ini ada 37 mahasiswa (47,4%) pada ka­te­gori agak kuat dan kuat kecerdasan emo­sio­nalnya. Seba­gian terbesar mahasiswa (44 orang/56,4%) sedang sam­pai dengan kuat kesediaan diri ber­ubah, yang searah dengan tan­tangan sebagai guru dalam era global yang dipastikan perubahan akan ber­langsung terus di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Pene­litian ini menunjukkan ada 55 orang (70,5%) mahasiswa agak kuat sampai dengan kuat determinasi dirinya. Deter­minasi diri yang kuat akan men­do­rong mahasiswa calon guru men­ciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk meman­dirikan siswa. Tugas utama guru mempengaruhi siswa untuk mencapai prestasi belajar terba­ik, karenanya guru perlu mengembangkan kecerdasan emosional serta determinasi diri siswa.

Dapatan penelitian ini berman­faat bagi Lembaga Penja­minan Mutu Pen­di­dikan/LPMP untuk meningkatkan dan me­ngem­bangkan kom­pe­tensi kepribadian guru terutama dalam mengembangkan segi-segi kepri­ba­­dian guru yang dipan­dang perlu untuk menang­gapi secara positif pemba­haruan di bi­dang pendidikan, ter­utama di hadapan MBS, KTSP, Teknologi Informasi dan Komunikasi/TIK dalam Pembelajaran serta sertifikasi guru.

LPTK perlu melakukan Achievement Motivation Training/AMT yang mengacu pada teori deter­minasi diri bagi guru. Depar­temen Pendi­dikan Nasional da­lam mensosi­ali­sasi­kan inovasi pendi­dikan agar lebih persu­asif. Jika ada nada penolakan guru atas per­ubahan/resistance to change terhadap pembaha­ruan hendak­nya ditangani efektif melalui mempertim­bangkan segi afektif/pribadi guru guna mening­kat­kan res­pons sikap guru yang favourable karena guru itu unsur utama pelak­sana pembaharuan pendidikan di sekolah.

PENUTUP

Kesimpulan

1. Ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara kecerdasan emosional dan kese­diaan diri berubah mahasiswa PGSD-FKIP-UKSW dengan koefisien korelasi sebe­sar rxy = 0,440** pada p= 0,000 < 0,01.

2. Ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara kecerdasan emosional dan deter­mi­nasi diri mahasiswa PGSD-FKIP-UKSW dengan koefisien korelasi sebe­sar rxy = 0,592** pada p= 0,000 < 0,01.

Saran

FKIP sebagai LPTK perlu me­ngem­bangkan stra­tegi pembel­ajaran yang meningkat­kan taraf kecer­dasan emosional, kesediaan diri berubah serta determinasi diri maha­sis­wa sebagai bekal pengu­asaan kompe­tensi kepribadian guru guna menghadapi tantangan global dalam Ilmu Pengetahuan, Tekno­logi dan Seni. Peneli­tian berikutnya agar mengkorelasikan kompe­tensi kepri­ba­dian maha­siswa dengan variabel selain kecerdasan emosi, kesediaan diri ber­ubah dan determinasi diri pada populasi mahasiswa LPTK yang lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA

Assor, A., Roth, G., Maymon, Y.K. & Kaplan, H. 2005. Perceived Autonomy in Teaching: How Self-Determination in Teachers May Lead to Self Determi­na­tion in Students. Tel Aviv: Ben-Gurion University. Assor_Teachers_Auto­nom_AERA_05. Diunduh 15 Juli 2011.

Chirkov, V., Ryan, R.M., Kim, Y. & Kaplan, U. 2003. Different­iat­ing autonomy from individualism and independence: a self-determination theory perspective on internalization of cultural orient­ations and well-being. Journal of Personality and Social Psycho­logy, 2003, 84 (1).

Chirkov, V., Ryan. R.M. & Willness, C. 2005. Cultural context and psychological needs in Canada and Brazil, testing a self-determination approach to the inter­nalization of cul­tural practices, iden­tity, and well-being. Journal of Cross-Cultural Psychology, 36 (4).

Deci, E.L. & Ryan, R.M. 1985. Intrinsic motivation and self-determination in human behavior., dalam Deci, E.L., Connell, J.E. & Ryan, R.M. Self-determination in a work organization. Journal of Applied Psychology, 1989, 74 (4).

DepDikNas R.I. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 ten­tang Sistem Pendi­dik­an Nasional. Jakarta: DepDikNas.

Harrison, G. 2005. Improving your Leadership Communication and Motiva­ti­onal Skills with Emotional Intelligence. Retford, Notting­hamshire: Montagu House. Http://www.leadershipbehavior.com. Diunduh 15 Juli 2011.

Law, K.S., Wong, C.S. & Song, L. J. 2004. The Construct and Criterion Validity of Emotional Intelligence and Its Potential Utility for Mana­ge­ment Studies. Journal of Applied Psychology, Vol. 89, No. 3.. E-mail: [email protected]. Diunduh 15 Juli 2011.

Law, S. & Glover, D. 2000. Educational Leadership and Learning, Practice, Policy and Research. Buckingham: Open University Press.

Oreg, S. 2003. Resistance to change: developing an individual differences measure. Journal of Applied Psychology, 88.

Siswanto. 2007. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional yang Otentik terha­dap Kepuasan Kerja dan Kecerdasan Emosional Guru dan Karyawan Madrasah Aliyah di Jombang. Http://www.adlin.lib.unair. Diunduh 15 Juli 2011.

Stein, S.J. & Book, H.E. 2002. The EQ Edge: Emotional Intell­i­gence and Your Success, Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecer­dasan Emosional Meraih Sukses, terjemahan Trinanda Rainy Januar­sari dan Yudhi Murtanto. Bandung: Kaifa.

Suyanti, V.S.M. 2002. Pengaruh pelatihan emotional li­te­racy terhadap kecerdasan emosional remaja. Anima, Vol. 3.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Uno, H.B. 2006. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Wanberg, C.R. & Bannas, J.T. 2000. Predictors and outcomes of openness to changes in a reorganizing workplace. Journal of Applied Psychology, 85.

Yen, T.A. 2003. Hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi kerja distributor Multi Level Marketing/MLM. Anima, Vol.2.