Kesesuaian Pembelajaran IPS Dengan Konsep Kooperatif
KESESUAIAN PEMBELAJARAN IPS DENGAN KONSEP KOOPERATIF
Stefen Deni Besare
Program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Halmahera
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji proses pembelajaran IPS menurut konsep kooperatif dan scafolding di kelas 8 Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Halmahera Utara. Metode penelitian ini adalah deskriptif yaitu berupaya memahami makna dibalik proses pembelajaran dengan menggunakan teknik analisis data menelaah, menyajikan data, dan menarik simpulan. Hasil penelitian menunjukan 48,61% pembelajaran IPS kurang sesuai dengan konsep kooperatif dan scafolding. Ketidaksesuaian tersebut disebabkan oleh lemahnya kemampuan bekerjasama siswa, lemahnya kemampuan siswa mengkonstruksi informasi/ide, kemampuan siswa berargumen, mengajukan pertanyaan, pelibatan situasi nyata, serta tidak dilgunakannya media saat pembelajaran berlangsung. Simpulan penelitian pada kelas 8 ialah pembelajaran IPS kurang sesuai dengan teori konstruktivisme. Saran penelitian ialah (1) perlunya perbaikan penerapan pembelajaran IPS berbasis teori konstruktivisme agar kerjasama siswa dalam kelas melalui kelompok-kelompok yang ideal, meningkat (2) perlunya penggunaan media pembelajaran, bahkan situasi nyata dalam proses pembelajaran (4) perlunya pelatihan-pelatihan bagi guru IPS dalam merancang dan menerapkan model-model pembelajaran IPS.
Kata kunci: pembelajaran IPS, konstruktivisme
PENDAHULUAN
Undang-undang SISDIKNAS tahun 2013 bagian ketiga tentang standar proses pasal 21 menjelaskan; proses pembelajaran dilaksanakan secara interaktif inspiratif, memotivasi, menyenangkan, menantang, mendorong peserta didik berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian peserta didik sesuai dengan bakat, minat, perkembangan fisik serta psikologisnya. Standar ini menunjukan bahwa setiap pembelajaran terutama pendidikan dasar harus mengasah potensi siswa, sehingga mampu menghasilkan siswa yang kreatif mandiri mampu berinteraksi dengan baik. Begitu juga dalam pembelajaran IPS pendidikan dasar tujuan akhirnya untuk membentuk warga negara yang baik (good citizenship). Warga negara yang baik memiliki karakteristik; pantang menyerah (pemberani), cinta tanah air, toleransi, kerjasama, punya tanggung jawab, integritas, cerdas, memiliki ide/gagasan yang kreatif maupun inovatif dan kritis. Perwujudan insan-insan demikian tidaklah mudah, terutama bagi guru. Pembelajaran IPS pada pendidikan dasar memiliki kontribusi membentuk peserta didik menjadi warga negara yang baik (good citizenship). Susanto (2013:138) menegaskan hakekat IPS adalah untuk mengembangkan konsep pemikiran yang berdasaarkan realita kondisi sosial yang ada di lingkuangan siswa, sehingga dengan memberikan pendidikan IPS diharapkan dapat melahirkan warga negara yang baik dan bertanggung jawab terhadap bangsa dan negaranya. IPS yang diajarkan pada pendidikan dasar mengkaji berbagai persoalan-persoalan sosial/gejala-gejala sosial yang kompleks dan rumit olehnya itu yang diajarkan dalam IPS bukanlah disiplin ilmu sosial murni, yang cederung teorits keilmuan mendalam melainkan topik-topik/tema-tema permasalahan sosial yang real dan dikaji dari sudut pandang beberapa disiplin ilmu sosial (multiperspektif). Interpretasi tema-tema/topik-topik real melalui pembelajaran IPS dibutuhkan berbagai macam model pembelajaran yang didukung oleh teori-teori belajar yang mengarah pada student centered learning. Konsep kooperatif dan scafolding memandang, pengetahuan yang diberikan guru kepada siswa dalam proses pembelajaran seharusnya dibangun oleh siswa sendiri lewat interaksi/kerjasama dalam kelompok
Hasil observasi peneliti terhadap proses pembelajaran IPS di kelas 8 Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Halamahera Utara menunjukan bahwa proses pembelajaran IPS yang diterapkan kurang sesuai dengan konsep kooperatif dan scafolding dan perlu dilakukan pembenahan dan peningkatan kualitas dalam proses pembelajarannya. Mencermati kondisi proses pembelajaran IPS di kelas 8 SMPN 1 Halut maka rumusan masalah dalam penelitian ini ialah bagaimanakah kesesuain proses pembelajaran IPS di kelas 8 SMPN 1 Halut dikaji dari konsep kooperatif dan scafolding? IPS pendidikan dasar dengan perguruan tinggi memiliki karakteristik yang berbeda walaupun secara keilmuan bersumber dari disiplin ilmu yang sama. Sapriya (2013:200) mengatakan pada jenjang SMP/MTs penggorganisasian materi mata pelajaran menganut pendekatan korelasi (correlated) artinya materi pelajaran dikembangkan dan disusun mengacu pada beberapa disiplin ilmu secara terbatas kemudian dikaitkan dengan aspek kehdupan nyata (factual/real) peserta didik sesuai dengan karakteristik usia, tingkat perkembangan berpikir, dan kebiasaan bersikap dan berperilaku. Kehidupan faktual peserta didik dapat dikaji dari beberapa disiplin ilmu sosial seperti aspek ruang (geografi), waktu (sejarah), hubungn individu (sosiologi), kebutuhan manusia (ekonomi) dan sebagainya. Susanto (2013:144) menjelaskan tujuan pendidikan IPS sebagai bidang studi yang diberikan pada jenjang pendidikan di lingkungan persekolahan, bukan hanya memberikan bekal pengetahuan saja, tetapi juga memberikan bekal nilai dan sikap serta ketrampilan dalam kehidupan peserta didik di masyarakat, bangsa, dan negara dalam berbagai karakterisitik. Bekal ini sebagai modal bagi siswa agar mampu beradaptasi, berpartisipasi dan bersosialisasi dengan dengan baik pada kehidupan dewasa nanti. Selain itu mengasah kepekaan sosial siswa agar peka terhadap persoalan-persoalan di lingkungan sekitar agar kemampuan berpikir kritis, kreatif dapat diasah. Pembelajaran IPS yang diterapkan pada lingkungan persekolahan berpijak pada aktivitas yang memungkinkan siswa siswa baik secara individual maupun kelompok aktif, mencari menggali, dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip IPS secara holisitik dan autentik Susanto (2013:156). Lebih jauh Saprya (2013:201) menegaskan tujuan dilaksankannya pembelajaran IPS diantaranya; (1) Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungan, (2) Memiliki kemampuan dasar untuk berpkir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inquiri, memecahkan masalah, dan ketrampilan dalam kehidupan sosial, (3) Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, (4) Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. Mengasah berpikir pikir siswa dalam pembelajaran IPS tidaklah mudah tentunya membutuhkan pengaturan situasi pembelajaran yang dapat mengakomodir segenap potensi peserta didik. Guru memiliki peran dan tanggung jawab dalam mendesain situasi pembelajaran yang bermakna dan berkualitas
Teori yang mendasari konsep cooperative dan scafolding adalah teori konstruktivisme. Konstruktivisme ini telah dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Silvi dkk (2014) dengan judul penelitian; the development of gudied training model on constructivie learning for junior high school science teachers yang menunjukan bahwa pembelajaran dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan guru untuk membangun belajar, dengan pengembangan bahan dan materi pembelajaran yang bersifat konstruktif. Ada juga penelitian yang dilakukan oleh Lunenburg (2011) dengan judul; Critical Thinking and Constructivism Techniques for Improving Student Achievement menunjukan bahwa berpikir kritis dan konstruktivisme merupakan janji yang nyata dalam pembelajaran karena siswa di beri kebebasan mengembangkan pemikiran mereka terhadap berbagai mata pelajaran. Konstruktivisme dikemukakan pertamakali oleh Giambastissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, yang mengungkapkan filsafastnya dengan berkata “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaanâ€. Vico menjelaskan hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa membuatnya Komarudin & Sukardjo (2013:55). Logika filsafat konstruktivisme bahwa pengetahuan seseorang dibentuk atau dikonstruksikan oleh peserta didik itu sendiri (Suparno, 1997).
Konstruktivisme memandang belajar sangat dominan di pengaruhi oleh peran siswa ketimbang guru, artinya walaupun siswa membangun pengetahuan sendiri, namun tetap dalam tuntunan dan kontrol guru selama pembelajaran. Secara sederhana teori Konstruktivisme itu beranggapan pengetahuan merupakan konstruksi dari mengetahui sesuatu. Pengetahuan kita bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan, melainkan suatu perumusan atau formulasi yang diciptakan oleh seseorang yang mempelajarinya†Sardiman, (2007:37). Artinya pengetahuan yang akan diperoleh siswa dibangun sendiri oleh siswa tidak hanya berdasarkan fakta-fakta empiris namun dapat dibangun lewat interaksi dengan teman/lingkungan. Pandangan Vygotsky terhadap konstruktivisme menghasilkan dua hipotesis; (1) pengetahuan dibangun (dikonstruksi) secara aktif oleh dan dalam diri subjek belajar bukan secara pasif diterima dari lingkungan, (2) peningkatan dalam memahami suatu pengetahuan merupakan proses aditif yang mengorganisasikan pengalaman sipembelajaran dalam interaksi dengan lingkungannya. Bedasarkan hipotesis diatas Vygotsky menegaskan ada dua konsep mendasar dalam konstruktivisme yakni konsep kooperatif dan scaffolding. Hal ini ditegaskan juga oleh Suanto (2013:97) bahwa ada dua implikasi utama teori konstruktivisme vitgotsky dalam pembelajaran, pertama dikehendakinya suasana kelas, berbentuk pembelajaran kooperatif antarsiswa, sehingga siswa dapat berinteraksi disekitar tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif. Kedua dalam pembelajaran menekankan scaffolding sehingga siswa semakin lama semakin bertanggungjawab terhadap pembelajarannya sendiri. scaffolding erat kaitannya dengan zone of proximal development yang adalah serangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak secara sendirian, tetapi dapat dipelajari dengan bantuan orang dewasa atau anak yang lebih mampu (Ahmad & Amri 2013:35). Kedua konsep kunci ini merupakan sumbangan pemikiran yang mendasar dalam pelaksanaan pembelajaran terutama dalam pembelajaran IPS pada pendidikan dasar. Implikasi dari penerapan konsep tersebut, siswa akan terlihat aktif, suasana kelas dinamis, meningkatnya kerja sama kelompok, curah pendapat/diskusi, serta pembelajaran menjadi bermakna.
Konsep cooperatif mengisyaratkan bahwa pengetahuan dibangun atas dasar kerjasama dengan individu lain didalam kelas baik dengan teman sebaya, guru, orang tua, media, sumber belajar,hal ini membolehkan pertukaran dan pemeriksaan ide sendiri dalam suasana yang tidak terancam, sesuai dengan falsafah konstruktivisme†(Slavin,2007). Pembelajaran kooperatif merupakan “bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen Rusman (2013:202). Enam konsep kunci Kagan (Dell, dalam Warsino, 2012) yakni; Tim, pengelolaan kooperatif, kemampuan kooperatif, ketrampilan kooperatif, prinsip-prinsip dasar, dan struktur. Tim; tim pembelajaran kooperatif memiliki identitas yang kuat. Secara ideal terdiri dari 4 anggota yang heterogen, bersemangat dan berdaya juang tinggi, pengelolaan koperatif; Lingkungan diciptakan sedemikian rupa sehingga setiap peserta didik memiliki kemudahan akses yang setara. Aturan kelas dan norma-normanya diciptakan untuk menentukan tanggungjawab individu maupun tanggung jawab tim. Kemampuan kooperatif; keinginan maupun niat yang kuat untuk bekerja sama ditunjukan dan dipertahankan selama pembangunan kebersamaan sebagai tim, pembentukan rasa kebersamaan dalam kelas dan pelaksanaan tugas-tugas. Ketrampilan kooperatif; pemberian teladan, penguatan, pemberian peran dalam melaksanakan tugas-tugas, pelaksanaan struktur kooperatif dan kegiatan refleksi akan mengembangkan ketrampilan sosial yang diperlukan selama pembelajaran kooperatif. Prinsip-prinsip dasar; ada empat prinsip dasar yang disingkat PIES (positive interdependence, individual accountability, equal participan, and simulationeous interaction). Struktur; Struktur kooperatif dikelompokan berdasarkan tujuan pokok terdiri dari timbuilding, classbuilding, ketrampilan komunikasi, ketrampilan berpikir, tukar menukar informasi, dan penguasaan materi. Prinsip-prinsip dasar pembelajaran kooperatif Kagan Warsino (2012:168-169) diantaranya ialah prinsip positive interdependence. Prinsip ini akan terjadi jika perolehan setiap peserta didik secara individu terkait dengan perolehan semua anggota dalam kelompoknya. Saling ketergantungan positif yang terkuat akan diraih jika prestasi kelompok diperoleh dari kontribusi setiap anggota. Individual acconntability. Prinsip ini mengatakan setiap anggota kelompok bertanggungjawab untuk meningkatkan kecakapan dan kinerja anggota kelompok yang lain maupun meningkatkan kinerja kelompok secara keseluruhan. Penilaian dilakukan secara individu maupun kelompok. Selain itu ada juga prinsip Equal participan. Prinsip ini mengatakan; peserta didik belajar karena interaksinya dengan materi pembelajaran oleh sebab itu adanya partisipan yang setara merupakan hal yang penting bagi kesuksesan seluruh peserta didik. Pembagian tugas antara peserta didik secara berkala dapat membangun kesetaraan partisipasi seluruh anggota tim. Prinsip yang terakhir adalah sumultaneus interaction. Prinsip ini mengatakan interaksi antar peserta didik harus dilaksanakan dan berlangsung serentak.
Scaffolding adalah suatu proses membantu siswa menuntaskan masalah tertentu melampui kapasitas perkembangannya melalui bantuan guru, teman atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih Rusman (2013: 245). Tahapan scaffoding terdiri dari tiga level yaitu; Level 1 Enviromnmental provisions; Mengkondisikan kelas, menyusun lembar tugas secara terstruktur. Menyediakan media atau gambar-gambar yang sesuai dengan masalah yang diberikan. Level 2 Explaning; Meminta peserta didik untuk membaca ulang masalah yang diberikan. Mengajukan pertanyaan arahan, hingga peserta didik dapat memahami masalah dengan benar (probing and prompting), Reviewing; Diskusi tentang jawaban yang telah dilakukan oleh peserta didik. Meminta peserta didik untuk memperbaiki pekerjaannya, Restructuring; mengajukan pertanyaan arahan, hingga peserta didik dapat menemukan kembali semua fakta yang ada pada masalah meminta peserta didik untuk menyusun kembali rancangan jawaban yang lebih tepat untuk masalah yang dihadapinya. Level 3 developing conseptual thinking; Diskusi tentang jawaban yang telah dibuat oleh peserta didik. Meminta peserta didik untuk mencari alternatif lain untuk menyelesaikan masalah mengajukan pertanyaan arahan, sehingga peserta didik dapat menemukan kemungkinan konsep lain yang terkait dengan masalah yang sedang dihadapinya Anghilery (2006; 39-49).
Proses pembelajaran IPS yang di laksanakan di dalam kelas sudah pasti terjadi interaksi, baik guru dengan siswa, maupun dengan media pembelajaran yang digunakan. Konsep mendasar kooperatif Kagan cukup mempengaruhi proses pembelajaran di dalam kelas. Berdasarkan kedua konsep tersebut maka apabila pembelajaran IPS dikaji dari konsep kooperatif dan scafolding maka beberapa karakteristik yang muncul adalah; bentuk kelompok tidak melebihi 4-6 orang, terjadi interaksi, dialog, diantara kelompok/anggota, peran semua anggota/kelompok rasa kebersamaan, kerjasama, saling menghormati pendapat yang berbeda sesama anggota, pergiliran tugas terstruktur, penggunaan situasi nyata, munculnya pertanyaan atau ide dari setiap anggota/kelompok kemampuan mengkonstrustruksi pengetahuan oleh siswa, guru bertindak sebagai fasilitator, guru mampu mengontrol kelemahan siswa, pengkondisian kelas, pertanyaan arahan/bantuan guru, keberhasilan setelah selesai di laksanakan pembelajaran.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu peneliti berupaya memahami proses menggali makna dibalik proses/penerapan pembelajaran IPS di kelas. Menurut Moleong, (2009:6) Pendekatan kualitatif merupakan “penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang di alami oleh subjek penelitian seperti; perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskriptif dan dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Observasi dilakukan dengan menggunakan lembar observasi yang didalamnya memuat indikator-indikator kooperatif dan scafolding dengan mengitung skor perolehan tiap indikator dan kemudian mencari prosentase skor yang diperoleh/tingkat kesesuaian. Tingkat kesesuaian dideskripsikan; 86-100% (sangat sesuai), 71-85% (sesuai) 56-70% (cukup sesuai) 41-55% (kurang sesuai) < 40% (tidak sesuai) rentang 15% (sangat tidak sesuai), adaptasi dari Agip dkk, (2009:41). Tingkat kesesuiaan pembelajaran IPS berdasarkan konsep kooperatif dan scafolding digunakan perhitungan prosentase: , dengan P adalah tingkat kesesuaian. Adapun analisis data penelitian dimulai sejak kegiatan studi pendahuluan sampai pada penarikan kesimpulan/konklusi. Menurut Putra (2013:103) “dalam penelitian kualitatif data di analisis secara berkelanjutan sejak data pertama kali di dapatkan untuk berbagai keperluan. Creswell (2013:274) juga menegaskan bahwa analisis data merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi terus-menerus terhadap data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitis dan menulis catatan singkat sepanjang penelitian. Tahapan analisis data dapat dilakukan melalui mereduksi data menyajikan data dan penarikan kesimpulan.
Proses analisis tersebut dilakukan sebelum memasuki dan selama dilapangan bahkan sampai penarikan kesimpulan analisis data terus dilakukan. (Miles dan Huberman dalam Emzir (2013:129), mengatakan ada tiga kegiatan dalam analisis data yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan verifikasi/kesimpulan. Reduksi data dilakukan untuk mempertajam, memilih memfokuskan, menyederhanakan, abstraksi, membuang, dan menyusun data dan pentransformasian data mentah yang terjadi dalam catatan lapangan tertulis, melakukan penskoran pada lembar observasi, dan membadingkan dengan hasil wawancara, untuk mendapatkan penguraian dari kesesuaian konsep-konsep kooperatif dan scafolding dengan pembelajaran IPS. Penarikan kesimpulan/konklusi merupakan kegiatan terakhir dalam penelitian kualitatif, adapun data yang telah di sajikan selanjutnya dapat di verifikasi dan disimpulkan namun belum mencapai hasil yang final. Hal ini karena kesimpulan yang diperoleh masih bersifat sementara dan akan berkembang, meningkat menjadi eksplisit dan mendasar sesuai dengan kondisi dan menjadi kesimpulan akhir.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil observasi menunjukan bahwa proses pembelajaran IPS di kelas 8 yang diterapkan kurang sesuai dengan konsep kooperatif dan scafolding. Berdasarkan hasil pehitungan prosentase pada lembar observasi didapatkan jumlah skor perolehan = 35, jika jumlah skor total = 72 maka tingkat kesesuaian pembelajaran IPS dengan teori kooperatif dan scafolding dapat diperoleh;
Tabel 5.1. Perolehan Prosentase Konsep Kooperatif & Scafolding
NO |
KONSEP KOOPERATIF & SCAFOLDING |
∑ SKOR PEROLAHAN |
∑ SKOR TOTAL |
PROSENTASE (%) |
1 |
Kelompok Ideal |
2 |
4 |
2,777777778 |
2 |
Peran Siswa |
1 |
4 |
1,388888889 |
3 |
Rasa Kebersamaan |
2 |
4 |
2,777777778 |
4 |
Kerjasama kelompok |
2 |
4 |
2,777777778 |
5 |
Toleransi tukar curah pendapat |
2 |
4 |
2,777777778 |
6 |
Partisipasi Siswa |
2 |
4 |
2,777777778 |
7 |
Pergiliran tugas terstruktur |
2 |
4 |
2,777777778 |
8 |
Melibatkan situasi nyata |
1 |
4 |
1,388888889 |
9 |
Pertanyaan/ide peserta didik |
3 |
4 |
4,166666667 |
10 |
Dialog antar siswa/kelompok |
2 |
4 |
2,777777778 |
11 |
Mengkonstruksi Ide |
2 |
4 |
2,777777778 |
12 |
Guru Sebagai Fasilitator |
2 |
4 |
2,777777778 |
13 |
Guru memantau Kesalahan siswa |
2 |
4 |
2,777777778 |
14 |
Ada Pengkondisian kelas |
2 |
4 |
2,777777778 |
15 |
Pertanyaan Arahan dari guru |
2 |
4 |
2,777777778 |
16 |
Bantuan Guru kepada siswa |
2 |
4 |
2,777777778 |
17 |
Penyerdahanaan tugas |
2 |
4 |
2,777777778 |
18 |
Keberhasilan pembelajaran |
2 |
4 |
2,777777778 |
Total: |
35 |
72 |
48,61111111 |
Sumber: Penilaian pedoman obervasi kooperatif dan scafolding
Berdasarkan hasil penilaian pada pedoman observasi diperoleh tingkat kesesuaian = 48,611%, bila dibandingkan dengan kriteria kesesuaian yang diadaptasi dari Agip dkk, (2009:41) maka pembelajaran IPS di kelas 8 Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Halut menurut konsep kooperatif dan scafolding berada pada kategori kurang sesuai (KS) dengan rentang 41-55%. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya; jumlah anggota tiap kelompok melebihi standar ideal konsep kooperatif yakni 4-5 anggota tiap kelompok. Hal ini ditegaskan Isjoni (2014:6) bahwa cooperative learnig menyangkut teknik pengelompokan yang didalamnya siswa bekerja terarah pada tujuan belajar bersama dalam kelompok kecil yang umumnya terdiri dari 4-6 orang. Berdasarkan pengamatan di kelas 8, jumlah siswa tiap kelompok sebanyak 8 orang bahkan ada 2 kelompok yang melebihi yaitu 9 orang. Jumlah anggota yang lebih dalam satu kelompok dapat berpengaruh terhadap kelancaran dan kefektifan proses diskusi/banstorming. Selain itu proses pembentukan kelompok yang dilakukan guru tidak didasarkan pada faktor heterogen baik suku, rasa, budaya maupun tingkat kecerdasan anggota tiap kelompok, namun terbentuk bedasarkan urutan nomor absen kelas yang digunakan. Pembentukan kelompok secara heterogen memberi kesempatan kepada peserta didik untuk saling mengajar (peer tutoring) dan saling mendukung, meningkatkan relasi dan interaksi antar ras, etnik, dan gender, dan memudahkan pengelolaan kelas karena masing-masing kelompok memiliki anak yang berkemampuan tinggi (special hilper) yang dapat membantu teman lainnya dalam memecahkan suatu permasalahan dalam kelompok, (Jaromelik & Parker dalam Isjoni (2014:65).
Dampak dari banyaknya anggota tiap kelompok menyebabkan kesulitan guru dalam mengelola/mengontrol kelas terlebih lagi kelompok-kelompok yang ternyata tidak semua memiliki keseriusan dan fokus pada tugas yang diberikan oleh guru akhirnya keberhasilan belajar kelompokpun rendah. Selain jumlah kelompok, peran siswa dalam kelompok juga perlu ditingkatkan. Peran siswa dalam belajar kelompok sangat penting dalam proses pembelajaran.
Peran tersebut akan lebih terlihat ketika proses pembelajaran didesain dengan menggunakan kelompok-kelompok belajar kecil (cooperatif learning) atau bentuk belajar simulasi, atau juga bentuk pembelajaran dengan mengaharuskan siswa memasuki ruang laboratorium agar siswa terlibat secara langsung dalam pembelajaran. Pengamatan di kelas 8 terlihat tugas yang diberikan guru untuk dikerjakan kurang dipahami siswa, dan hanya menunggu perintah bapak/ibu guru untuk menjelaskan kembali tugas yang telah diberikan. Hal ini membuat siswa tidak aktif mengerjakan tugas karena tidak memahami dengan baik prosedurnnya. Pada hal ciri cooperative learning menurut Isjoni (2014:20) adalah (a) Setiap anggota memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (c) Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (d) Guru membantu mengembangkan ketrampilan-ketrampilan interpersonal kelompok dan (e) Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan. Kendala lain yang ditemukan ialah kurangnya kerjasama siswa dalam kelompok. (Tom V.Savage dalam Majid (2014:172) mengemukakan bahwa cooperative learning merupakan suatu pendekatan yang menekankan kerjasama dalam kelompok, namun berdasarkan pengamatan peneliti pada pembelajaran IPS di kelas 8 terlihat, kerjasama siswa tidak maksimal, tidak ada kekompakan antara ketua kelompok dengan anggotanya. Ketua kelompok mengerjakan tugasnya sendiri, sedangkan anggotanya juga mengerjakan tugasnya sendiri-sendiri sehingga tidak terorganisir/terkoordinir dengan baik dalam kelompok, tugas yang dipresentasikan didepan kelas adalah hasil kerja yang ditulis oleh ketua kelompoknya bukan hasil kerjasama dalam kelompok. Pada hal lewat kerjasama dalam kelompok, siswa akan belajar bagaimana hidup berdampingan dengan teman yang lain dalam suatu komunitas belajar yang heterogen menghormati perbedaan dalam saling tukar menukar informasi, saling membantu, untuk mencapai tujuan bersama, memberikan kemudahan-kemudahan bagi teman-teman lain yang belum memahami tugas yang diberikan guru, yang dapat dijelaskan oleh temannya yang lebih tahu. Pentingnya kerjasama dipertegas oleh Majid (2014:175) bahwa tujuan penting lain dari pembelajaran kooperatif adalah untuk mengajarkan kepada siswa, keterampilan kerjasama dan kolaborasi, ketrampilan ini amat penting untuk dimiliki manakala kelak siswa akan terjun langsung ke dalam masyarakat. Rusman (2014:204) juga mengatakan bahwa kemampuan bersosialisasi adalah kemampuan bekerjasama yang bisa digunakan dalam aktifitas kelompok. Kelompok tidak berfungsi secara efektif jika siswa tidak memiliki kemampuan bersosialisasi. Kerjasama merupakan faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran di dalam kelas, sebab proses pembelajaran yang didesain dalam bentuk kerjasama (bentuk kelompok-kelompok kecil) memungkinan keaktifan pembelajaran menjadi semakin menarik dan baik artinya siswa terlibat secara langsung dalam proses transfer of knowglde, transfer of value, dan transfer of skill. Oleh karena itu kerjasama harusnya menjadi yang utama dalam pembentukan belajar kelompok kecil, apabila tidak terjadi secara demikian maka siswa yang memiliki kemampuan rendah, juga tidak bisa ditopang, atau mendapatkan pengetahuan dari temannya yang memiliki kemampuan yang lebih dalam kelompok. Siswa yang bekerjasama dalam situasi pembelajaran kooperatif didorong dan/atau dikehendaki untuk bekerjasama pada suatu tugas bersama dan mereka harus mengoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya. Kerjasama, rasa kebersamaan siswa dalam kelompok sangat penting dalam mencapai tujuan pembelajaran, dan hal ini merupakan salah satu ciri konsep kooperatif yang memungkinkan siswa dapat mengkonstruksi ide/pengtahuan lewat kerjasama maupun kebersamaan dalam kelompok.
Temuan lain dalam proses pembelajaran IPS ialah sikap menghargai perbedaan pendapat dari masing-masing anggota/kelompok yang perlu dibenahi, sebab terlihat siswa ketika diskusi menunjukan sikap tidak menghargai pendapat temannya, merasa pendapat dirinya yang paling benar, pada hal jawabanya masih keliru, hal ini membuat waktu curah pendapat tidak efektif, sehingga dapat berdampak pada keberhasilan hasil belajar siswa. Selain itu pergiliran tugas yang diberikan oleh guru tidak terarah dengan baik, karena ketidaksiapan beberapa kelompok untuk mempresentasikan materinya, dan hal tersebut juga dapat mengganggu proses curah pendapat dalam kelas. Kelemahan lain dalam pembelajaran IPS ialah kurangnya penggunaan situasi nyata. Pola mengkonstruksi ide dalam proses pembelajaran IPS di kelas 8 lewat penggunaan situasi nyata tidak terlihat sebab ilmu/materi yang disampaikan guru berdasarkan bahan yang diambil secara mentah dari buku, tidak dikaitkan dengan kondisi siswa ataupun menggunakan bantuan media lain. Tugas yang dikerjakan siswapun dilakukan lewat buku teks saja. Hal yang demikian membuat penyampaian materi mementingkan konseptual teoritis dan tidak menyentuh lingkungan sekitar siswa. Penggunaan situasi nyata merupakan salah satu ciri teori konstruktivisme yang menggunakan pengalaman sebagai upaya mengkonstruksi ide. Kagan dalam Warsino (2012:168-169) menjelaskan salah satu konsep kunci dalam pembelajaran kooperatif adalah pelibatan situasi nyata. Pengalaman siswa lewat penggunaan situasi nyata dalam setiap pembelajaran dapat menumbuhkan mental dalam diri siswa, sehingga aktifitas berpikir siswa dapat berfungsi maksimal, karena pembelajaran yang dilaksanakan tidak sekedar mencatat, membacakan tugas yang telah dikerjakan tetapi lebih kepada membangun makna/konstruksi ide. Dampak dari kurangnya penggunaan situasi nyata dalam proses pembelajaran IPS di kelas 8 adalah sebagian besar siswa tidak memahami apa yang diajarkan oleh guru, karena materi yang disampaikan kurang didukung dengan sumber-sumber/media-media informasi lain yang sebetulnya dapat menarik perhatian dan membantu serta memudahkan siswa memahami apa yang sedang dipelajari. Kaiatan dengan situasi nyata Rusman (2014:188) mengatakan bahwa; untuk mengaitkannya bisa dilakukan dengan berbagai cara, selain karena memang materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi faktual, juga bisa disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media dan lain sebagainya, yang memang baik secara langsung maupun tidak diupayakan terkait atau ada hubungan dengan pengalaman hidup nyata. Dengan demikian pembelajaran selain akan lebih menarik, juga akan dirasakan sangat dibutuhkan oleh siswa karena apa yang dipelajari dirasakan langsung. Kondisi lain lagi yang ditemukan ialah kemampuan mengajukan pertanyaan oleh siswa terlihat masih kurang, bahkan dibeberapa kelompok tidak ada siswa yang mampu mengajukan pertanyaan, pada hal dalam konstruktivisme seharusnya siswa terlibat secara aktif terutama dalam mengajukan ide/gagasan yang kritis dalam memecahkan persoalan. (Von Galserfeld, dalam Suparno 1997) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan salah satunya adalah kemampuan siswa mengingat dan mengungkapkan kembali pengalamannya. Kemampuan mengajukan ide/tukar/menukar informasi oleh siswa pada saat proses pembelajaran berlasung. Kemampuan ini harus di berdayakan oleh guru sebab pembelajaran model kooperatif sangat dominan dengan keaktifan siswa khususnya dalam berdialog, berdiskusi, mengajukan ide/gagasan, memberi sanggahan, atau menanggapi setiap pokok persoalan yang di angkat dalam diskusi kelompok. Isjoni (2014:13) menegaskan bahwa belajar dengan model kooperatif dapat diterapkan untuk memotivasi siswa berani mengemukakan pendapatnya, menghargai pendapat teman, dan saling memberikan pendapat (sharing ideas). Hal ini menunjukan bahwa pentingnya kemampuan mengajukan pertanyaan saat proses pembelajaran sebab hal ini berakaitan dengan bagaimana siswa mengkonstruksi ide.
Temuan lain dalam proses pembelajaran IPS ialah guru yang bertindak sebagai fasilitator tidak berfungsi dengan baik sebab yang terlihat didalam kelas guru yang lebih aktif mendorong siswa harus berkomentar, mengemukakan suaranya/pendapatnya, sebab pembelajaran tidak efektif manakala siswa tidak antusias/aktif dalam belajar. Kaitan dengan pembelajaran efektif dalam konteks guru sebagai fasilitator Susanto (2014:53) mengatakan; pembelajaran efektif merupakan tolak ukur keberhasilan guru dalam mengelola kelas. Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik dapat terlibat secara aktif, baik mental, fisik, maupun sosialnya. Rusman (2014:64) mengtakan bahwa guru sebagai fasilitator hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang kiranya berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar, baik yang berupa narasumber, buku, teks, majalah, ataupun surat kabar. Selain tindakan guru yang kurang maksimal sebagai fasilitator, pemantauan guru terhadap kemampuan siswa perlu juga ditingkatkan agar lebih efektif. Maksud dari guru memantau kesalahan peserta didik adalah bagian dari teknik scafolding yang dilakukan guru. Salah satu teknik scafolding adalah pemberian bantuan oleh guru pada awal-awal pelajaran kemudian lama-kelamaan mengurangi bantuan tersebut karena siswa-siswa mulai mampu memahami, dan bertanggung jawab atas tugas yang diberikan. Pengamatan peneliti selama proses pembelajaran IPS berlangsung terlihat sebagian besar ruang gerak pemantauannya dikendalikan oleh suara, dan hanya duduk di tempat/meja guru, teknik pengontrolan guru tidak dilakukan sehingga situasi dan kondisi kelas tidak dapat dikendalikan oleh guru. Berdasarkan kondisi tersebut menunjukan bahwa proses pembelajaran IPS belum berjalan sesuai dengan konsep scafolding bahkan belum berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad & Amri. 2013. Mengembangkan Pembelajaran IPS Terpadu (AnalisisKritis, Tentang Metode,
Strattegi, Evaluasi, Dan Media Pembelajaran Bidang Studi,Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Antropologi, Dan Isu Pembelajaran IPS Terpadu). Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Anni & Rifaâ€i. 2011. Psikologi Pendidikan. Semarang: UNNES PRESS
Agip, Zainal dkk, 2009. Penelitian Tindakan Kelas Untuk Guru. Bandung: Yrama Widya
Creswell. 2013. Research Design (Pendekatan Kuantitatif Kualitatif DanMixed). Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR
Emizir. 2012. Metedologi Penelitian Kualitatif (Analisis Data). Jakarta: PT RAJAGRSFINDO PERSADA
Isjoni. 2014.Cooperative Learning (efektivitas pembelajaran kelompok). BANDUNG: ALFABETA
Komarudin & Soekardjo. 2012. Landasan Pendidikan (Konsep Dan Aplikasinya). Jakarta: PT RAJA
GRAFINDO
Lunenburg. 2011. Critical Thinking and Constructivism Techniques for Improving Student Achievement.
Majid. 2014.implementasi kurikulum 2013 (kajian teoritis dan praktis). Bandung: Interes Media
Moeleng. 2009.Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA
Rusman. 2013. Model-Model Pembelajaran (Mengembangkan ProfesionalismeGuru). Jakarta. PT Raja
Grafindo Presada.
Sugioyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R &
D).Bandung; Alfabeta CV
Susanto. 2013. Teori Belajar Dan Pembelajaran Di Sekolah Dasar. Jakarta: KENCANA MEDIA GROUP
Silvi H, Abizar, J, M. Zaim. 2014. The Development Of Guided Training Model On Constructive Learning For Junior High School Science Teachers. International Journal of Education and Research.
Vol. 2. 61
Supriya. 2013. Pendidikan IPS Konsep Dan Pembelajaran. Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA
National Forum Of Teacher Education Journal Volume 21:1-2
Sardiman A. M. 2007. Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Slavin E. Robert. 2007. Coperative Learning.: Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media
Warsino & Haryanto. 2012. Pembelajaran Aktif Teori Dan Assesment. Bandung PT Rosdakarya Offset.