MAKNA SIMBOLIS UPACARA MANTENAN TEBU

PADA TRADISI CEMBENGAN DI TASIKMADU

 

I Made Ratih Rosanawati

Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

 

ABSTRAK

Salah satu bentuk adat dan tradisi daerah adalah pelaksanaan upacara adat, yang mana upacara adat ini dilaksanakan, didukung dan dilestarikan oleh masyarakat tertentu. Ketika upacara adat tidak dilaksanakan, muncul ketakutan masyarakat pendukung kalau-kalau terjadi sesuatu, sehingga upacara adat rutin dilaksanakan dengan serentetan prosesi dan sesaji yang lengkap. Penelitian ini mendeskripsikan tentang sejarah munculnya tradisi cembengan, prosesi upacara mantenan tebu pada tradisi cembengan di tasikmadu, dan makna simbolis upacara mantenan tebu pada tradisi cembengan di Tasikmadu

Kata Kunci: Upacara Adat, Cembengan, Mantenan Tebu

 

PENDAHULUAN

Di wilayah Solo Raya, terutama warga di Kabupaten Karanganyar pastilah akrab dengan tradisi Cembengan atau upacara Cembengan, atau selamatan giling tebu, atau disebut juga kirab temanten tebu. Cembengan di Pabrik Gula Tasikmadu, Sondokoro, Karanganyar, rutin digelar untuk mengawali musim giling tebu setia tahunnya yang biasa jatuh di bulan April atau Mei.

Tradisi yang dilaksanakan oleh pabrik gula Tasikmadu yang disebut dengan Cembengan itu dilaksanakan setiap tahun menjelang musim giling, yang diikuti dengan berbagai macam pertunjukan-pertunjukan untuk meramaikan upacara tersebut. Tradisi ini telah berlangsung selama puluhan tahun untuk meminta keselamatan dan hasil gula yang baik. Perkembangan selanjutnya, upacara ini bukan sekedar ritual pekerja dan petani tebu, namun telah menjadi pesta rakyat dan menampilkan berbagai pergelaran kesenian rakyat dan pasar rakyat. Tradisi Cembengan ini semakin ramai dengan selalu digelarnya pasar malam didekat pabrik gula selama beberapa minggu bertepatan dengan pelaksanaan tradisi ini. Kesenian tradisional dan modern banyak dipertunjukkan dalam cembengan, namun ada keunikan yang tampak dalam upacara cembengan itu. Ritual kirab manten tebu menjadi daya tarik sendiri bagi warga sekitar Tasikmadu. Tradisi ini digelar sebagai wujud syukur atas melimpahnya panen serta memohon keselamatan pada Tuhan saat musim giling tebu berlangsung. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini akan memfokuskan masalah yang berkaitan dengan ”Makna Simbolis Upacara Mantenan Tebu Pada Tradisi Cembengan Di Tasikmadu”.

KAJIAN TEORI

Upacara Adat

Upacara adat adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama yang dianut setiap masyarakat tertentu. Aktifitas upacara adat sering berkaitan erat dengan system religi, yang merupakan salah satu wujud kebudayaan yang paling sulit dirubah jika dibandingkan dengan unsur kebudayaan lainnya. Upacara adat merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai universal yang dapat menunjang kebudayaan nasinal, dimana upacara adat ini bersifat sakral dan suci. Menurut Koentjaraningrat (1992: 221), dalam setiap system upacara adat terdapat lima aspek, yaitu: tempat upacara, waktu, benda-benda serta peralatan upacara, orang yang memimpin jalannya upacara, dan orang yang mengikuti upacara. Fungsi dari upacara adat adalah, bahwa upacara adat dengan sistem-sistem simbol yang ada didalamnya berfungsi sebagai pengintegrasi antara etos dan pandangan hidup, yang dimaksud etos adalah sistem nilai budaya sedangkan pandangan hidup merupakan konsepsi warga masyarakat yang menyangkut dirinya, alam sekitar dan segala sesuatu yang ada didalam lingkungan sekitarnya.

Mantenan

Mantenan merupakan sebutan kata pengatin dalam bahasa Jawa. Pernikahan adalah salah satu cara yang dipakai untuk melambangkan bersatunya dua insan yang berlainan jenis dan sah menurut agama dan hukum. Pernikahan adalah suatu rangkaian upacara yang dilakukan sepasang kekasih untuk menghalalkan semua perbuatan yang berhubungan dengan kehidupan suami istri guna membentuk suatu keluarga dan meneruskan garis keturunan. Setiap daerah mempunyai tata upacara pernikahannya masing-masing. Pada budaya Jawa, biasanya proses untuk menjadi manten ada beberapa tahapan dan budaya ini sudah dipadukan dengan budaya islam Jawa. Prosesi mantenan tebu di Cembengan merupakan simbolisasi “pernikahan” tebu, dimana tebu yang dinikahkan adalah tebu pilihan dari hasil perkebunan petani rakyat yang “dipertemukan” dalam prosesi pernikahan untuk mengawali musim giling tebu setiap tahunnya. Hal ini merupakan bagian dari doa dan harapan atas kerjasama dan juga hasil panen yang baik yang telah berlangsung sejak berdirinya pabrik.

Tradisi

Tradisi adalah pewarisan atau penerusan norma-norma adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta, tetapi tradisi tersebut bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah; tradisi juga dipadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan dapat diangkat dalam keseluruhannya. Menurut Hasan Hanafi (alam buku Moh Nur Hakim, 2003:29) menefinisikan bahwa tradisi merupakan segala warisan masa lampau yang masuk pada kebudayaan sekarang yang berlaku. Hal ini berarti bahwa, tradisi merupakan segala sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa sekarang. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat berperilaku, baik dalam kehidupan duniawi maupun terhadap hal yang gaib.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian dengan judul ”Makna Simbolis Upacara Mantenan Tebu Pada Tradisi Cembengan Di Tasikmadu” mengambil lokasi di Pabrik Gula Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar. Setiap tahunnya, menjelang penggilingan tebu (sekitar bulan April-Mei) Pabrik Gula Tasikmadu selalu melaksanakan upacara mantenan tebu. Pemilihan lokasi penelitian tersebut terkait dengan alasan strategis dan historis.

 

Metode Penelitian

Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang artinya cara atau jalan. Sehubungan dengan cara ilmiah, maka metode menyangkut pula cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1986: 7). Sedangkan menurut Helius Sjamsuddin (1996: 2), metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penelitian suatu ilmu tertentu untuk mendapatkan suatu bahan yang diteliti. Dapat disimpulkan bahwa metode adalah suatu cara untuk berbuat atau berencana, suatu susunan atau sistem yang teratur. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis kritis rekaman dan peninggalan masa lampau, kemudian merekonstruksikan berdasarkan data yang diperoleh sehingga menghasilkan historiografi.

Sumber Data

Menurut Sidi Gazalba (1981: 88), sumber data sejarah dapat diklasifikasikan menjadi: (1) sumber tertulis, (2) sumber lisan, (3) sumber benda. Penelitian ini menggunakan sumber tertulis primer maupun sekunder. Sember tertulis primer berupa dokumen-dokumen; Data atau informasi yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini berupa data kualitatif yang digali dari berbagai sumber, dirumuskan secara rinci berkaitan dengan jenisnya, apa dan siapa yang secara langsung berkaitan dengan informasi (Sutopo, 2006: 180).

Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif dan juga jenis sumber data yang dimanfaatkan, maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

1.   Wawancara mendalam (in-depth interviewing)

Wawancara jenis ini bersifat lentur dan terbuka, tidak dalam situasi formal, dan bisa dilakukan berulang pada informan yang sama (Sutopo, 2006: 69).

2.   Observasi langsung

Observasi bertujuan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, aktivitas, tempat dan benda. Peneliti mengamati dan menggali informasi mengenai perilaku dan kondisi lingkungan penelitian menurut kondisi yang sebenarnya (Sutopo, 20006; 76).

3.   Mengkaji dokumendan arsip (content analysis)

Dokumen tertulis dan arsip merupakan sumber data yang memiliki posisi penting dalam penelitian kualitatif. Menurut Yin (dalam Sutopo, 2006), content analisis merupakan cara untuk menemukan beragam hal sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitiannya.

Teknik Cuplikan

Cuplikan berkaitan dengan pemilihan dan pembatasan jumlah serta jenis dari sumber data yang akan digunakan dalam penelitian, dalam penelitian ini teknik cuplikan yang digunakan adalah purposive sampling. Peneliti memilih informan tertentu yang dianggap memiliki informasi yang berkaitan dengan permasalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap (Sutopo, 2006: 63).

Validitas Data

Menurut Sutopo (2006: 91), data yang telah berhasil digali dilapangan kemudian dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan penelitian, harus diusahakan bukan hanya untuk kedalam tetapi juga bagi kemantapan dan kebenarannya. Untuk memperolah kemantapan data, penelitian ini menggunakan teknik trianggulasi. Teknik trianggulasi merupakan teknik yang didasari pola fikir fenomenologi yang bersifat multi perspektif, artinya untuk menarik simpulan yang mantap diperlukan tidak hanya pada satu cara pandang.

Teknik Analisis

Dalam penelitian kualitif, proses analisis dilakukan sejak awal bersamaan dengan proses pengumpulan data. Teknik analisis dalam penelitian ini bersifat induktif yaitu teknik analisis yang tidak dimaksudkan untuk membuktikan suatu prediksi atau hipotesis penelitian, tetapi simpulan yang dihasilkan terbentuk dari data yang dikumpulkan. Dalam analisis interaktif, terdapat tiga komponen yang harus dipahami seorang peneliti kualitatif yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan. Tiga komponen tersebut harus saling berkaitan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah Munculnya Tradisi Cembengan

Produksi perusahaan gula di Colomadu maupun di Tasikmadu pada tahun 1898 naik dua kali lipat menjadi 65.052 kuintal, dengan areal tanah yang relativ sama (Pringodigdo, 1950: 103).

Pabrik-pabrik gula di Jawa mulai dibangun pada abad XIX kebanyakan dimiliki oleh Belanda, Inggris dan Tionghoa. Selain untuk kebutuhan rakyat, saat itu perdagangan gula juga sangat mengguntungkan sehingga KGPAA Mangkunegaran IV dari Praja Mangkunegaran di Surakarta mempunyai minat pula untuk membangun pabrik gula untuk menambah kesejahteraan rakyatnya dan menambah pendapatan Praja Mangkunegaran. Mangkunegara IV pernah berpesan (Pabrik iki ora bakal marake suggih tapi iso nguripi).

Berkaitan dengan pabrik gula, ada satu tradisi di pabrik gula guna mengawali proses giling tebu untuk menjadi gula. Prosesi ini disebut dengan “temanten tebu” dan “cembengan”. Pengertian umum Cembengan berarti keramaian yang terjadi didalam dan disekitar pabrik gula dalam rangka slamatan giling. Ada pihak yang mengatakan bahwa kemungkinan Cembengan berasal dari bahasa Tionghoa Cing Bing yang berarti ziarah kemakam leluhur, kemudian berubah menjadi Ceng Beng dan berkembang menjadi Cembengan untuk menunjukan peristiwa ziarah dengan segala kegiatan yang terjadi pada acara menjelang giling (Hilmiyah Darmawan Pontjowolo, 1992: 3).

Sampai saat ini prosesi Upacara Cembengan masih dilakukan sebagai tanda awal musim giling tebu setiap April-Mei, prosesi Cembengan di Pabrik Gula Tasikmadu diawali dengan pemilihan temanten tebu yang terdiri dari tebu temanten pria dan tebu temanten wanita. Dua pasang tebu ini nantinya akan diberi nama yang disesuaikan dengan pengharapan yang baik.

Upacara Tradisi Cembengan berasal dari frase dalam bahasa Cina yaitu Chin Bing yang berarti berziarah sebelum melaksanakan tugas, tradisi ini kemudian mengikutkan warga lokal yang juga bekerja di pabrik hingga kemudian terjadi alkulturasi budaya. Karena tidak terbiasa dengan sebutan Chin Bing, maka warga lokal lebih mudah mengejannya dengan Chin-Bing-an hingga menjadi Cembengan.

Upacara Tradisi Cembengan dapat disebut sebagai alkuturasi antara kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Tiong Hoa, tradisi Upacara Cembengan muncul untuk mengawali musim giling tebu dan sebelum tebu pertama di masukan dalam mesin pengiling. Sebelum memulai musim giling tebu biasanya para pekerja pabrik melakukan Upacara Cembengan, sebagai suatu bentuk rasa syukur atas hasil panen, dan merupakan doa agar proses giling tebu dapat berjalan lancar, dan hasilnya dapat memenuhi target.

Prosesi Upacara Mantenan Tebu Pada Tradisi Cembengan di Tasikmadu

“Mantenan” antara tebu dimana ini hanya sebuah simbolisasi, dimana tebu pilihan dari hasil petani rakyat dan dari pabrik dipertemukan dalam sebuah upacara tradisi Cembengan. Hal ini adalah bagian dari do’a dan harapan atas kerjasama dan hasil panen yang baik yang telah berlangsung sejak pabrik ini berdiri.

Peranan pokok didalam Upacara Tradisi Cembengan adalah si Tebu Temanten, yang akan dipersandingakan atau dipertemukan didalam Lumbung Selayur (Krepyak Gilingan atau Kruser). Untuk menjadi tebu temanten ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh tebu temanten, persyaratan visual berupa sehat, lurus, panjang besar, manis dan cukup rendemennya. Setelah ditentukan tebu yang memiliki kriteria yang sesuai, maka selanjutnya ditentukan pemilihan hari petik tebu temanten yang berdasarkan atas perhitungan hari baik untuk giling.

Beberapa minggu sebelum rendemen tanaman tebu dinyatakan cukup untuk dapat diproses menjadi gula, hari baik dapat dihitung melalui bantuan sesepuh desa, orang tua, paranormal atau kajian dari pengalaman bertahun-tahun. Dimana hari-hari tertentu misalnya Jum’at Pon yang dianggap baik bagi pabrik gula Tasikmadu, karena ada kepercayaan pada hari itu akan membawa keselamatan dan keuntungan serta kesuksesan. Sedangkan sangat (waktu yang tepat berdasarkan kepercayaan orang Jawa), untuk mengambil pun ditentukan kapan waktu yang baik dan tepat. Demikian pula lokasi dimana tebu tematen Pria dan Wanita harus berasal, dipilih berdasarkan petunjuk orang tua atau sesepuh mengenai arah, letak, dan jalan yang harus ditempuh.

Sebelum mulai segala prosesi tersebut, hal pertama yang dilakukan adalah ziarah ke Astana Mengadeg, Giribangun, dan Girilayu. Setelah itu ada jamasan patung Mangkunegara, memilih tebu tebu temanten pria beserta pengiring, memilih tebu temanten wanita, kemudian ada Sholat Hajat dan pembacaan Yaasin, midodareni dan merias tebu temanten, terakhir penggilingan tebu temanten serta resepsi, sebagai penutup adalah ziarah ke makan Kyai Sondokoro serta hiburan wayang.

Tebu pengantin pria beserta pembimbing pada tahun 2017 ini didapat di Kebun Paluombo dan diberi nama Bg Udahani, sementara itu tebu pengantin wanita didapat di Kebun Kalijirak dan diberi nama Rr. Manis Warastika. Semuanya dilaksanakan di Rumah Dinas Kepala Tanaman.

Upacara selamatan giling diselenggarakan secara meriah layaknya suatu perhelatan. Agar lebih menarik, upacara selamatan dikemas seperti upacara pernikahan. Karena yang mempunyai hajad pabrik gula, maka pasangan temanten secara simbolis berwujud sepasang tebu yang kemudian lebih dikenal dengan “Tebu Temanten”. Upacara dimulai dari keberangkatan tebu temanten dari rumah Dinas Asisten Kepala Tanaman menuju Besaran. Setelah acara laporan dari rombongan tebu temanten kepada Manager, selanjutnya tebu temanten diiring menuju stasiun gilingan untuk dilakukan penggilingan tebu temanten. Ijab dinyatakan selesai setelah pasangan tebu temanten dimasukkan bersama-sama dengan tebu pengiring di stasiun gilingan.

Makna Simbolis Upacara Mantenan Tebu pada Tradisi Cembengan

Upacara Cembengan masih dilakukan sebagai tanda awal musim giling tebu setiap April-Mei, prosesi Cembengan di Pabrik Gula Tasikmadu diawali dengan pemilihan temanten tebu yang terdiri dari tebu temanten pria dan tebu temanten wanita. Dua pasang tebu ini nantinya akan diberi nama yang disesuaikan dengan pengharapan yang baik.

Sebagaimana upacara Jawa yang tidak pernah meninggalkan sesaji, maka upacara memetik sampai dengan mempersandingkan tebu temanten di krepyak gilingan disertai dengan sesaji yang beraneka ragam macamnya antara lain berupa kepala kerbau, berbagai jenis jenang (bubur), kecok bakal, telor, kinangan, berbagai jenis tumpeng, berbagai jenisketupat, palapendem, kembang telon yang semua itu ditempatkan di tempat tertentu di dalam rangkaian upacara selamatan giling dan ditugaskan kepada orang tertentu yang dianggap tua untuk diberi tanggung jawab pelaksanaannya.

Khususnya mengenai sesaji kepala kerbau / sapi dilambangkan sebagai ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mohon rahmat dan bimbingan Nya agar di dalam melaksanakan tugas besar yang menyangkut orang banyak, mulai dari petani di kebun tebu, petugas tebang dan angkut tebu ke pabrik maupun semua karyawan yang menjalankan mesin-mesin di pabrik serta seluruh karyawan dan pimpinannya dalam lindungan Nya serta dapat menghasilkan gula yang baik yang diperlukan rakyat dan negara. Jaman dahulu tebu temanten diletakkan di dalam gerobag yang dihiasi dengan buntal, dikerjakan oleh seorang petugas yang berpangkat Rangga atau demang. Gerobag tersebut ditarik oleh 2 ekor lembu dan lembu-lembu tersebut setelah sampai di pabrik lalu disembelih, kepalanya untuk sesaji dan badannya untuk keperluannya selamatan, dagingnya dimakan orang banyak. Karena itu hingga kini sesaji kepala kerbau / sapi harus memilih yang masih segar / masih ada darahnya.

Selamatan

Baik sesaji maupun selamatan merupakan satu kesatuan yang utuh yang menjadi tradisi budaya laluhur didalam melaksanakan ketaqwaan kita kepada Tuhan YME, untuk memohon ridho-Nya agar dapat bekerja dengan selamat dan mencapai hasil yang bermanfaat bagi umat manusia. Upacara selamatan giling adalah untuk menunjukkan kesiapan segala sarana dalam pabrik gula untuk menerima tanaman tebu kemudian diproses menjadi gula bagi kepentingan Nasional dan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan para petani.

Dalam perkembangannya, Upacara Mantenan Tebu pada Cembengan tidak mengalami peubahan yang banyak dan masih menjaga nilai luhur warisan nenek moyang. Terdapat suatu kepercayaan dalam diri masyarakat Jawa bahwa suatu tatanan leluhur, akan membawa masyarakat tersebut kepada kebaikan dan apa bila dilanggar atau ditinggalkan akan membawa suatu mala petaka. Maka Upacara Cembengan menjadi sarana selamatan sebelum memulai musim giling tebu, yang dipercayai akan menjauhkan malapetaka selama musim giling tebu berlangsung. Pengunaan berbegai sesaji dapat melambangkan beberapa hal, seperti sebagai bentuk rasa syukur, sebagai sarana penolak bala dan sebagai perwujudan do’a kepada leluhur. Pengunaan sesaji tersendiri merupakan suatu penerminan bentuk percampuaran budaya, yang terasa teramat kental adalah budaya Jawa dengan budaya Hindhu.

KESIMPULAN

Sebelum memulai musim giling tebu biasanya para pekerja pabrik melakukan Upacara Cembengan, sebagai suatu bentuk rasa syukur atas hasil panen, dan merupakan doa agar proses giling tebu dapat berjalan lancar, dan hasilnya dapat memenuhi target. Upacara Mantenan Tebu pada Cembengan tidak mengalami peubahan yang banyak dan masih menjaga nilai luhur warisan nenek moyang. Terdapat suatu kepercayaan dalam diri masyarakat Jawa bahwa suatu tatanan leluhur, akan membawa masyarakat tersebut kepada kebaikan dan apa bila dilanggar atau ditinggalkan akan membawa suatu mala petaka. Maka Upacara Cembengan menjadi sarana selamatan sebelum memulai musim giling tebu, yang dipercayai akan menjauhkan malapetaka selama musim giling tebu berlangsung. Pengunaan berbegai sesaji dapat melambangkan beberapa hal, seperti sebagai bentuk rasa syukur, sebagai sarana penolak bala dan sebagai perwujudan do’a kepada leluhur.

DAFTAR PUSTAKA

Aryono, Suryo. 1985. Kamus Antroplogi. Jakarta: Persindo

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta

Dudung Abdurahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT Logos Wacana.Fachri Ali. 1986. Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.

Helius Sjamsuddin. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogya: Tiara Wacana

Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia.

 1990. Pengantar Ilmu Antropololgi. Jakarta, Rineka Cipta

Muh. Nur Hakim. 2003. Islam Tradisional dan Reformasi Pragmatisme. Malang: Bayu Media Publishing

Piotr Sztompka. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada

Pontjowolo, Hilmiyah Darmawan. 1995. Tradisi Slamatan Giling Cembengan, Surakarta: Rekso Pustaka Mangkunegaran.

Purwadi. 2005, Upacara Tradisional Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Slamet. 2006. Metode Penelitian Sosial. Surakarta: UNS Press.

Sumadi Suryabrata. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori Dan Terapannya Dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press

Sutardjo, Imam. 2010, Kajian Budaya Jawa, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Widaningsih, Yuliani Sri. 2012, Sejarah Lokal Surakarta, Salatiga: WS, Widya Sari Press.