Meningkatkan Kompetensi Guru Kelas Melalui Kegiatan Supervisi Kelas Oleh Kepala Sekolah
MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU KELAS DALAM MENERAPKAN MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
MELALUI KEGIATAN SUPERVISI KELAS OLEH KEPALA SEKOLAH
SD NEGERI 6 TUBANAN TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Suaedah
SD Negeri 6 Tubanan
ABSTRAK
Kompetensi dalam profesi guru, pada awalnya dipersiapkan atau diperoleh melalui lembaga pendidikan formal keguruan, sebelum seseorang memangku jabatan (tugas dan tanggung jawab) sebagai guru. Tetapi untuk menuju ke arah pelaksanaan tugas dan tanggungjawab secara profesional, tidaklah cukup dengan berbekal dengan kemampuan yang diperoleh melalui jalur pendidikan formal tersebut. Dalam sebuah karya dikemukakan.Pada dasarnya pendidikan guru itu bukan berlangsung 3 atau 5 tahun saja, melainkan berlangsung seumur hidup (life long teacher education). Pendidikan yang 3 atau 5 tahun itu adalah pendidikan yang wajib dialami oleh seorang calon guru secara formal. Sedangkan pendidikan sesudah ia bekerja dalam bidang pengajaran, seperti: belajar sendiri, mengikuti penataran, mengadakan penelitian, mengarang buku, aktif dalam organisasi profesi, turut memikul tanggung jawab dalam masyarakat, menonton film, mendengarkan radio, televisi, dan lain-lain. Semua kegiatan itu sangat berharga untuk mengembangkan pengalaman, pengetahuan, keterampilan guru sehingga kemampuan profesionalnya semakin berkembang (Hamalik, 2003: 123).Penelitian ini ditujukan untuk hal-hal sebagai berikut:1) Meningkatkan peran serta kepala sekolah SD Negeri 6 Tubanan dalam memfasilitasi para guru dalam menerapkan model-model pembelajaran. 2) Meningkatkan kemampuan guru SD Negeri 6 Tubanan dalam mengelola proses pembelajaran dengan menerapkan model-model pembelajaran.3) Meningkatkan kebermaknaan proses belajar siswa SD Negeri 6 Tubananmelaluipenerapan model-model pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru.4) Untuk mengetahui efektivitas kepala sekolah dalam melakukan supervisi kelas sebagaiupaya yang ditempuh guru dalam menerapkan model-model pembelajaran Penelitian tindakan sekolah ini, dilakukan dengan harapan memberikan manfaat bagi siswa, guru, maupun sekolah. Adapun manfaat dimaksud, sebagai berikut:Manfaat bagi siswa, antara lain:a) Memperoleh pengalaman belajar yang lebih menarik;b) Meningkatkan aktivitas siswa dalam belajar;c) Meningkatkan penguasaan konsep;d)Menumbuhkan keberanian mengemukakan pendapat dalam kelompok membiasakan bekerja sama dengan teman.Manfaat bagi guru, antara lain:a)Memperoleh alternatif baru dalam meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan;b)Memperoleh alternatif baru untuk peningkatan mutu pembelajaran. Sedangkan manfaat bagi sekolah, antara lain:a)Meningkatkan prestasi sekolah dalam bidang akademis;b)Meningkatkan kinerja sekolah melalui peningkatan profesionalisme guru.
Kata Kunci: supervise kelas, kepala sekolah
PENDAHULUAN
Dalam konteks pendidikan, peningkatan mutu mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Guru sebagai tenaga pendidik sangat berperan dalam menentukan proses dan hasil pendidikan yang bermutu, karena seorang pendidik lebih banyak berinteraksi dengan peserta didik dalam proses belajar mengajar, membantu dan mengarahkan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Karenanya, seorang pendidik dituntut untuk memahami berbagai persoalan yang berkaitan dengan proses belajar mengajar dan karakteristik peserta didik baik di dalam maupun di luar kelas.
Sekolah merupakan lembaga formal yang berfungsi membantu khususnya orang tua dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka. Sekolah memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap kepada anak didiknya secara lengkap sesuai dengan yang mereka butuhkan. Semua fungsi sekolah tersebut tidak akan efektif apabila komponen dari sistem sekolah tidak berjalan dengan baik, karena kelemahan dari salah satu komponen akan berpengaruh pada komponen yang lain yang pada akhirnya akan berpengaruh juga pada jalannya sistem itu sendiri. Salah satu dari bagian komponen sekolah adalah guru.
Guru dituntut untuk mampu menguasai kurikulum, menguasai materi, menguasai metode, model, strategi pembelajaran, dan tidak kalah pentingnya guru juga harus mampu mengelola kelas sedemikian rupa sehingga pembelajaran berlangsung secara aktif, inovatif, dan menyenangkan. Namun pada umumnya guru masih mendominasi kelas, siswa pasif (datang, duduk, buka buku,mengerjakan tugas, dan lupa). Guru memberikan konsep, sementara siswa menerima bahan jadi. Menurut Suherman, ada hal yang menyebabkan siswa tidak menikmati (senang) untuk belajar, yaitu kebanyakan siswa tidak siap terlebih dahulu dengan (minimal) membaca bahan yang akan dipelajari, siswa datang tanpa bekal pengetahuan seperti membawa wadah kosong. Lebih parah lagi, siswa tidak menyadari tujuan belajar yang sebenarnya, tidak mengetahui manfaat belajar bagi masa depannya nanti.
Berdasarkan pengamatan penulis di SD Negeri 6 Tubanan, terdapat beberapa kendala pada pembelajaran selama ini antara lain: a) Siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep. b) Siswa kurang aktif bahkan cenderung pasif dalam proses pembelajaran. c) Siswa belum terbiasa untuk bekerja sama dengan temannya dalam belajar. d) Guru kurang mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari. e) Hasil nilai ulangan/hasil belajar siswa pada pembelajaran rendah. f) Kriteria Ketuntasan Minimal(KKM) tidak tercapai. g) Pembelajaran tidak menyenangkan bagi siswa. h) Kurangnya minat siswa terhadap pembelajaran.
Sebagai pendidik, penulis melihat pembelajaran menjadi kurang efektif karena hanya cenderung mengedepankan aspek intelektual dan mengesampingkan aspek pembentukan karakter. Hal ini tentu suatu hambatan bagi guru. Namun penulis ingin mengubah hambatan tersebut menjadi sebuah kekuatan dalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang efektif dan efisien sehingga nantinya akan mendapatkan hasil yang memuaskan.
Untuk menjawab hal itu, penulis mencoba memberi solusi kepada guru-guru untuk menerapkan model-model pembelajaran melalui kegiatan supervisi kelasdi SD Negeri 6 Tubanan dengan menyusun berbagai perangkat pembelajaran yang dibutuhkan seperti: RPP, alat peraga, teknik pengumpulan data, dan instrumen yang dibutuhkan untuk membantu guru dalam mengelola kelas dan mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan.
Masalah yang diuraikan di atas, pokok masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan seperti tertuang pada pertanyaan berikut “Apakah penerapan model-model pembelajaran melalui kegiatan supervisi kelas dapat meningkatkan mutu pembelajaran pada siswa di SD Negeri 6 Tubanan pada tahun pelajaran 2015/2016?â€
Penelitian ini ditujukan untuk hal-hal sebagai berikut:1) Meningkatkan peran serta kepala sekolah SD Negeri 6 Tubanan dalam memfasilitasi para guru dalam menerapkan model-model pembelajaran. 2) Meningkatkan kemampuan guru SD Negeri 6 Tubanan dalam mengelola proses pembelajaran dengan menerapkan model-model pembelajaran.3) Meningkatkan kebermaknaan proses belajar siswa SD Negeri 6 Tubananmelaluipenerapan model-model pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru.4) Untuk mengetahui efektivitas kepala sekolah dalam melakukan supervisi kelas sebagaiupaya yang ditempuh guru dalam menerapkan model-model pembelajaran
Penelitian tindakan sekolah ini, dilakukan dengan harapan memberikan manfaat bagi siswa, guru, maupun sekolah. Adapun manfaat dimaksud, sebagai berikut:Manfaat bagi siswa, antara lain:a) Memperoleh pengalaman belajar yang lebih menarik;b) Meningkatkan aktivitas siswa dalam belajar;c) Meningkatkan penguasaan konsep;d)Menumbuhkan keberanian mengemukakan pendapat dalamkelompokmembiasakan bekerja sama dengan teman.Manfaat bagi guru, antara lain:a)Memperoleh alternatif baru dalam meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan;b)Memperoleh alternatif baru untuk peningkatan mutu pembelajaran. Sedangkan manfaat bagi sekolah, antara lain:a)Meningkatkan prestasi sekolah dalam bidang akademis;b)Meningkatkan kinerja sekolah melalui peningkatan profesionalisme guru.
KAJIAN PUSTAKA
Hakekat Peningkatan Kompetensi Guru
Kompetensi dalam profesi guru, pada awalnya dipersiapkan atau diperoleh melalui lembaga pendidikan formal keguruan, sebelum seseorang memangku jabatan (tugas dan tanggung jawab) sebagai guru. Tetapi untuk menuju ke arah pelaksanaan tugas dan tanggungjawab secara profesional, tidaklah cukup dengan berbekal dengan kemampuan yang diperoleh melalui jalur pendidikan formal tersebut. Dalam sebuah karya dikemukakan.
Pada dasarnya pendidikan guru itu bukan berlangsung 3 atau 5 tahun saja, melainkan berlangsung seumur hidup (life long teacher education). Pendidikan yang 3 atau 5 tahun itu adalah pendidikan yang wajib dialami oleh seorang calon guru secara formal. Sedangkan pendidikan sesudah ia bekerja dalam bidang pengajaran, seperti: belajar sendiri, mengikuti penataran, mengadakan penelitian, mengarang buku, aktif dalam organisasi profesi, turut memikul tanggung jawab dalam masyarakat, menonton film, mendengarkan radio, televisi, dan lain-lain. Semua kegiatan itu sangat berharga untuk mengembangkan pengalaman, pengetahuan, keterampilan guru sehingga kemampuan profesionalnya semakin berkembang (Hamalik, 2003: 123).
Dengan demikian, untuk dapat disebut sebagai profesional, setiap guru harus melakukan pengembangan kompetensinya secara berkesinambungan. Atau sebagaimana dikemukakan oleh Danim (2010: 3), bahwa “Untuk memenuhi kriteria profesional itu, guru harus menjalani profesionalisasi atau proses menuju derajat profesional yang sesungguhnya secara terus menerusâ€.
Tuntutan terhadap peningkatan kompetensi secara berkesinambungan disebabkan “Karena substansi kajian dan konteks pembelajaran selalu berkambang dan berubah menurut dimensi ruang dan waktu†(Saud, 2009: 98). Di samping itu, keharusan bagi setiap guru untuk mengembangkan kompetensinya secara terus-menerus dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawab secara profesional, didorong juga oleh perkembangan dalam kehidupan bermasyarakat, perkembangan pemerintahan dan perubahan kurikulum pendidikan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Saud (2009: 98), berikut ini.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan saat ini, maka profesionalisasi guru (pendidik) merupakan suatu keharusan, terlebih lagi apabila kita melihat kondisi objektif saat ini berkaitan dengan berbagai hal yang ditemui dalam melaksanakan pendidikan, yaitu: (1) perkembangan Iptek, (2) persaingan global bagi lulusan pendidikan, (3) otonomi daerah, dan (4) implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Menurut Nanang (2010: 106) kinerja guru dalam melayani peserta didik dapat tergambar dalam rumus SERVICER yaitu kepanjangan dari:Smile and Simpathy; guru dalam menjalankan tugasnya secara sadar harus mempresentasikan wajahnya dengan penuh senyuman sebagai wujud simpati dan sambutan hangat (welcome) terhadap peserta didik sehingga siswa merasa betah melakukan proses pembelajaran.Empathy and Enthusiasm; guru dalam menjalankan tugasnya harus memiliki pribadi merasakan dan melayani apa yang dirasakan dan di butuhkan oleh peserta didik dalam proses pembelajaran, serta dalam dalam hidupnya penuh antusias berusaha sekuat tenaga untuk merealisasikan potensi yang dimiliki peserta didik dengan seoptimal mungkin.Respect and Recovery; guru dalam menjalankan tugasnya harus hormat dan menghargai (respect) terhadap peserta didik dengan setulus hati sehingga menjadi kesan yang mendalam (inpresive) dan sekaligus merupakan daya pikat (magnetic force) di hati peserta didik; Vision and Victory; guru dalam menjalankan tugasnya harus menunjukan komitmennya terhadap masa depan siswa yang lebih baik (visioner) dan keuntungan (victory) atau nilai tambah bagi kehidupannya secara unggul komparatif dan kompetitif; Initiative, Impresif, dan inovatif; guru dalam menjalankan tugasnya harus dapat membangun prakarsa (inisiative).Dengan penuh kesan fositif (impresif) di hati peserta didik sehingga peserta didik merasa betah dan bebas untuk melahirkan berbagai gagasan yang cemerlang sebagai wujud adanya dorongan untuk melakukan inovasi secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran; Care and Cooperative; guru dalam menjalankan tugasnya harus dapat mengayomi sebagai wujud kepedulian kepada peserta didik yang dilakukan secara kooperatif dengan sesame guru, Pengawas, peserta didik atau stakeholder lainya, serta berupaya membangun prilaku peserta didik sesuai dengan norma yang berlaku dalam lingkungannya serta mampu hidup berselancar dalam kesembrautan; Empowering and Enjoying; guru dalam menjalankan tugasnya harus mampu memberdayakan (empowering) potensi peserta didik sesuai dengan kecerdasannya, bakat dan minatnya sehingga peserta didik merasa senang (enjoying) dengan penuh kesadaran, komitmen dan rasa tanggung jawab melaksanakan proses pembelajaran secara aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Proses pembelajaran dengan rasa senang dapat menjadi solusi dalam mengoptimalkan prestasi belajar siswa di bawah kemampuannya (under achiever); Result Oriented; guru dalam melaksanakan tugasnya harus ditunjukan kepada pencapaian tujuan pembelajaran, baik yang tertuang dalam kompetensi dasar, standar kompetensi, indicator belajar, criteria ketuntasan minimal (KKM) maupun Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
Pengembangan Kompetensi Guru
Pengembangan profesi guru secara berkesinambungan, “dimaksudkan untuk merangsang, memelihara, dan meningkatkan kompetensi guru dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan dan pembelajaran yang berdampak pada peningkatan mutu hasil belajar siswa†(Danim, 2010: 5). Oleh karena itu, peningkatan kompetensi guru untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional di satuan pendidikan, menjadi kebutuhan yang amat mendesak dan tidak dapat ditunda-tunda. Hal ini mengingat perkembangan atau kenyataan yang ada saat ini maupun di masa depan.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang semakin maju dan pesat, menuntut setiap guru untuk dapat menguasai dan memanfaatkannya dalam rangka memperluas atau memperdalam materi pembelajaran, dan untuk mendukung pelekasanaan pembelajaran, seperti penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Perkembangan yang semakin maju tersebut, mendorong perubahan kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Kebutuhan yang makin meningkat itu, memicu semakin banyaknya tuntutan peserta didik yang harus dipenuhi untuk dapat memenangkan persaingan di masyarakat. Lebih-lebih dewasa ini, peserta didik dan masyarakat dihadapkan pada kenyataan diberlakukannya pasar bebas, yang akan berdampak pada semakin ketatnya persaingan baik saat ini maupun di masa depan.
Peningkatan kompetensi keguruan, semakin dibutuhkan mengingat terjadinya perkembangan dalam pemerintahan, dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi. Pemberlakukan sistem otonomi daerah itu, juga diikuti oleh perubahan sistem pengelolaan pendidikan dengan menganut pola desentralisasi. “Pengelolaan pendidikan secara terdesenralisasi akan semakin mendekatkan pendidikan kepada stakeholders pendidikan di daerah dan karena itu maka guru semakin dituntut untuk menjabarkan keinginan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan melalui kompetensi yang dimilikinya†(Saud, 2009: 99).
Perubahan sistem pengelolaan pendidikan, diikuti pula oleh terjadinya perubahan dalam bidang kurikulum pendidikan. Saat ini telah diberlakukan dan dikembangkan KBK, yang kemudian dijabarkan menjadi KTSP. Dalam kurikulum seperti ini, tidak saja peserta didik yang dituntut untuk menguasai kompetensi yang dipersyaratkan, melainkan guru juga harus berkompeten, bahkan guru berkewajiban untuk lebih dulu menguasai kompetensi yang dipersyaratkan untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional. Sebab, “Pendidikan berbasis kompetensi dapat terlaksana dengan baik apabila guru-gurunya profesional dan kompeten†(Suderadjat, 2004: 14). “Dengan kata lain, berhasil tidaknya reformasi sekolah dalam konteks pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan sangat tergantung pada unjuk kerja gurunya†(Mulyasa, 2010: 62). Atau sperti yang diungkapkan oleh Sukmadinata (Mulyasa, 2010: 62), bahwa:….betapa pun bagusnya suatu kurikulum (ofisial), tetapi hasilnya sangat tergantung pada apa yang dilakukan oleh guru dan juga murid dalam kelas (actual). Dengan demikian, guru memegang peranan penting baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum.
Pengembangan profesi dan kompetensi guru berkelanjutan, semakin penting dan wajib apabila dikaitkan dengan peningkatan jenjang karier dalam jabatan fungsional guru itu sendiri. Tanpa mengikuti pengembangan diri secara berkelanjutan, sulit dan bahkan tidak mungkin bagi guru untuk menapaki jabatan fungsional yang lebih tinggi. Lebih-lebih setelah lahir dan diberlakukannya Peraturan Menteri (Permen) PAN dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam peraturan tertulis ini ditegaskan, bahwa guru yang akan naik pangkat atau menduduki jabatan fungsional dari Guru Pertama Golongan IIIb hingga Guru Utama Golongan IVe harus menulis publikasi ilmiah dan karya inovatif, bahkan guru yang ingin naik jabatan fungsional atau pangkat dari Guru Madya Golongan IVc ke Guru Utama Golongan IVd harus melakukan presentasi ilmiah atas karya inovatif yang telah dihasilkannya.
Peranan Kepala Sekolahdalam Meningkatkan Kompetensi Guru
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya. Namun, jika kita selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi, sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan pemerintah, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran Kepala Sekolah. (Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir 2000) mengemukakan bahwa “Kepala Sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personil, terutama meningkatkan kompetensi profesional guru.†Perlu digaris bawahi bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama Kepala Sekolah yaitu, sebagai: (1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan;
Hakekat Model Pembelajaran
Model pembelajaran dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan para guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar (Winataputra, 1994:34).
Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu aktivitas tertentu. Dalam pengertian lain, model diartikan sebagai barang tiruan, metafor, atau kiasan yang dirumuskan.
Pouwer (1974:243) menerangkan tentang model dengan anggapan seperti kiasan yang dirumuskan secara eksplisit yang mengandung sejumlah unsur yang saling tergantung. Sebagai metafora model tidak pernah dipandang sebagai bagian data yang diwakili. Model menjelaskan fenomena dalam bentuk yang tidak seperti biasanya. Setiap model diperlukan untuk menjelaskan sesuatu yang lebih atau berbeda dari data. Syarat ini dapat dipenuhi dengan menyajikan data dalambentuk: ringkasan (tipe, diagram), konfigurasi (structure), korelasi (pola), idealisasi, dan kombinasi dari keempatnya. Jadi model merupakan kiasan yang padat yang bermanfaat bagi pembanding hubungan antara data terpilih dengan hubungan antara unsur terpilih dari suatu konstruksi logis.
Model pembelajaran merupakan kerangka yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pemandu bagi para perancang desain pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar (Soekamto, 1997:78).
Menurut Mitchell dan Kowalik (Rahman, 2009:8): Creative, an idea that has an element of newness or uniqueness, at least to the one who creates the solution, and also has value and relevancy. Problem, any situation that presents a challenge, an opportunity, or is a concern. Solving, devising ways to answer, to meet, or to resolve the problem . Therefore, creative problem solving or cps is a process, method, or system for approaching a problem in an imaginative way and resulting in effective action.
Gunter et al (1990:67) mendefinisikan an instructional model is a step-by-stepprocedure that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. An instructional strategy is a method for delivering instruction that is intended to help students achieve a learning objective (Burden & Byrd, 1999:85).
Selain memperhatikan rasional teoretik, tujuan, dan hasil yang ingin dicapai, model pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu (1) syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma ang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects-hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).
Model pembelajaran yang memiliki kecenderungan berlandaskan paradigma konstruktivistik, yaitu: model reasoning and problem solving, model inquiry training, model problem-based instruction, model pembelajaran perubahan konseptual, dan model group investigation.
HakekatSupervisi Kelas
Menurut N. A. Ametembun (2000: 1) istilah supervisi pendidikan dapat dijelaskan baik menurut asal usul (etimologis), bentuk perkataannya (morfologis), maupun isi yang terkandung dalam perkataan itu (semantik). Istilah supervisi secara etimologis diambil dari perkataan Inggris “supervision†artinya pengawasan, maka supervisi pendidikan berarti kepengawasan dibidang pendidikan. Sedangkan secara morfologis supervisi dapat dijelaskan menurut bentuk perkataannya, supervisi dari dua patah kata “super†dan “visiâ€, yaitusuper berarti atas atau lebih, dan visi berarti lihat, tilik, awasi.
Seorang “supervisor†memang mempunyai posisi di atas atau mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada orang-orang yang disupervisinya, tugasnya adalah melihat/menilik atau mengawasi orang-orang yang disupervisinya itu. Kelebihan yang dimiliki supervisor bukan hanya karena posisi atau kedudukan yang ditempatinya, akan tetapi juga karena pengalamannya, pendidikannya, kecakapan atau keterampilan-keterampilan yang dimilikinya atau karena mempunyai sifat-sifat kepribadian yang meninjol dari pada orang-orang yang disupervisinya. Dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, seorang supervisor dapat melihat, menilik atau mengadakan pengawasan terhadap yang disupervisinya.
Pengertian supervisi secara umum menurut Harris dan Benssent (1971) yang dikutip oleh Nurtain (1989: 11) menyebutkan bahwa supervisi adalah apa yang dilakukan personalia sekolah dengan orang dewasa dan barang-barang dengan maksud untuk memelihara atau merubah penyelenggaraan sekolah agar supaya secara langsung dapat mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan pengajaran pokok sekolah.
Sedangkan menurut Good Carter (1959) yang dikutip oleh Piet A. Sahertian (2000: 17) menyatakan bahwa supervisi adalah usaha dari petugas-petugas sekolah dalam memimpin guru-guru dan petugas-petugas lainnya dalam memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan jabatan dan perkembangan guru-guru serta merevisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan pengajaran dan metode serta evaluasi pengajaran.
Perkembangan konsep supervisi pendidikan selanjutnya sudah menuju kepada sasaran khusus. Sudah ada yang membedakan supervisi pendidikan dalam pengertian yang luas dan ada yang melihat supervisi dalam batasan yang spesifik yaitu pengajaran. Menurut Harris dalam Oliva (1984) yang dikutip oleh Piet A. Sahertian (2000: 18) menyatakan bahwa supervisi pengajaran adalah segala sesuatu yang dilakukan personalia sekolah untuk memelihara atau mengubah apa yang dilakukan sekolah dengan cara yang langsung mempengaruhi proses belajar mengajar dalam usaha meningkatkan proses belajar siswa.
Kerangka Berpikir
Berdasarkan kajian teori di atas, maka dengan melalui kegiatan penerapan model-model pembelajaran melalui kegiatan supervisi kelas oleh kepala sekolah diyakini benar akan meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran, yang akhirnya proses dan hasil belajar siswa SD Negeri 6 Tubananpun meningkat. Hal ini hanya mungkin akan terjadi apabila antara kepala sekolah dan guru serta siswa SD Negeri 6 Tubanan mau bersinergis untuk saling berkontribusi secara positif. Untuk itu, semua pihak yang terlibat perlu lebih dulu merencanakan segala sesuatunya dengan matang. Perencanaan yang dibuat tentunya didasarkan pada prinsip-prinsip supervisi kelas dengan mempertimbangkan upaya strategis yang akan diterapkan (dalam hal ini model-model pembelajaran terpilih yang konteks dengan situasi dan tujuan yang ingin dicapai). Adapun pelaksanaannya, tidak boleh menyimpang dari yang sudah direncanakan. Selama proses supervisi sedang berlangsung, kepala sekolah dan guru berkolaborasi menciptakan iklim pembelajaran yang memungkin seluruh siswa belajar secara aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan. Sejak awal hingga akhir proses supervisi kelas berlangsung, kepala sekolah mencatat dan menilai kinerja guru dan siswa, yang hasilnya akan dijadikan bahan diskusi untuk menentukan langkah tindak lanjut ke depan supaya lebih berhasil mencapai sasaran.
Hipotesis Tindakan
Bertolak dari masalah, hasil kajian teori, dan kerangka pikir di atas, dapat dirumuskan suatu hipotesis tindakan, yakni sebagai berikut “Penerapan model-model pembelajaran melalui supervisi kelas oleh kepala sekolah dapat meningkatkan kompetensi guru dalam mengelola proses pembelajaran serta meningkatkan proses dan hasil belajar siswa SD Negeri 6 Tubananâ€.
METODE PENELITIAN
Subjek, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Subjek penelitian ini adalah guru SD Negeri 6 Tubanan. Lokasi SD Negeri 6 Tubanan ada di lingkungan Dinas Dikpora Kabupaten Jepara. Waktu palaksanaan penelitian ini, yakni pada semester 1 tahun pelajaran 2015/2016, yang di mulai sejak Agustussampai denganNovember 2015.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian tindakan sekolah, dengan empat langkah pokok, yaitu: perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan (observasi), dan refleksi, dengan melibatkan enam orang guru SD Negeri 6 Tubanan. Penelitian dilakukan secara berkelanjutan selama 4 bulan.
Indikator Kinerja
Indikator kinerja yang ditetapkan adalah meningkatkan kemampuan guru dalam menerapkan model-model pembelajaran melalui kegiatan supervisi kelas di SD Negeri 6 Tubanan. Aspek yang diukur dalam observasi adalah antusiasme guru SD Negeri 6 Tubanan dalam menerapkan model-model pembelajaran, interaksi siswa dengan guru dalam proses belajar mengajar, interaksi antarsiswa, kerja sama antarsiswa dalam kelompok, dan aktivitas siswa dalam diskusi kelompok.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Siklus I
Hasil pelaksanaan tindakan siklus I, penulis beserta guru-guru dan pengawas melaksanakan diskusi. Melalui upaya ini diperoleh suatu kesepakatan mengenai keberhasilan dan kegagalan siklus I serta upaya untuk mengatasi agar tidak timbul kegagalan pada hal yang sama di siklus II. Adapun mengenai hal itu, yakni sebagai berikut.
a. Setelah siklus I berlangsung, sedikit banyaknya kemampuan guru SD Negeri 6 Tubanan mengalami peningkatan, baik dalam merencanakan pembelajaran maupun melaksanakan pembelajaran berlandaskan model pembelajaran yang terpilih oleh masing-masing. Hal ini setidaknya telah memberi dampak positif terhadap proses dan hasil belajar siswa.
b. Suatu hal yang masih dipandang kurang baik dan ini merupakan kegagalan dari siklus I, yakni kurang berhasil meningkatkan kemampuan guru dalam menumbuhkembangkan karakter yang diinginkan, baik pada saat eksplorasi, elaborasi, maupun konfirmasi. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran sebelumnya masih dibawa ke kegiatan pembelajaran siklus I. Itu sebabnya, aktivitas belajar siswa kurang mencerminkan karakter model pembelajaran yang dipilih oleh masing-masing guru SD Negeri 6 Tubanan. Sisi lainnya yang kurang direncanakan dengan baik oleh masing-masing guru, yaitu komponen materi pokok pembelajaran, alat dan sumber pembelajaran, dan teknis penilaian pembelajaran. Demikian pun dalam efektivitas waktu, perlu dipertimbangkan agar jangan sampai terjadi lebih banyak digunakan untuk penyajian materi ajar, sehingga kegiatan-kegiatan lainnya yang sama pentingnya kurang difasilitasi waktu yang memadai. Akibat dari persoalan ini, sebagian besar siswa hasil belajarnya kurang mencapai target (dalam hal ini nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) dari mata pelajaran yang sudah ditentukan sekolah).
Untuk mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan siklus I, maka pada siklus II direncanakan tindakan sebagai berikut.
1) Penulis sebagai kepala sekolah yang bertugas menjadi supervisor harus berusaha meningkatkan pemahaman guru SD Negeri 6 Tubanan, baik dalam mengelola administrasi perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, maupun upaya menindaklanjuti hasil pembelajaran.
2) Penulis sebagai kepala sekolah yang bertugas sebagai supervisor harus pula memotivasi para guru, agar mereka memiliki semangat dan tetap bertanggung jawab dalam mengelola proses pembelajaran. Cara yang akan ditempuh untuk itu, akan digunakan sistem pemberian reward dan punishment yang setimpal.
3) Pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung, mulai dari menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi, dan menindaklanjuti hasilnya, penulis sebagai kepala sekolah yang bertugas sebagai supervisor harus selalu mendampingi para guru, agar tidak terjadi lagi hal-hal yang diharapkan seperti pada siklus I. Tentunya untuk itu perlu ada waktu. Oleh karena itu, satu minggu sebelum pelaksanaan siklus II akan digunakan untuk proses pembinaan, yang dilakukan setelah jam pelajaran efektif berlangsung. Atas dasar itu, kepada semua guru, penulis memohon kesediaannya agar tidak lantas meninggalkan sekolah. Waktu yang diperlukan untuk itu lebih kurang 2 jam. Hal ini telah disepakati oleh para guru, tanpa terkecuali oleh pengawas.
Siklus II
Setelah melakukan serangkaian kegiatan siklus II, pada akhirnya diperoleh suatu bahan refleksi untuk didiskusikan bersama observer dan para guru SD Negeri 6 Tubanan. Melalui diskusi ini, ada hasil kemufakatan, antara lain:
(1) Masing-masing guru mengalami peningkatan kemampuan dalam mengelola proses pembelajaran yang didasarkan pada model pembelajaran terpilih. Setelah siklus II ini, tidak lagi ditemukan adanya guru yang mengalami kesulitan dalam merumuskan setiap komponen rencana pembelajaran, dan hal ini telah memberi dampak yang positif terhadap meningkatnya kemampuan masing-masing dalam melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi, dan menindaklanjuti hasilnya dengan berbagai upaya yang tepat.
(2) Seiring dengan meningkatnya kemampuan masing-masing guru dalam mengelola proses pembelajaran, proses dan hasil belajar siswa pun mengalami peningkatan.
(3) Terbukti melalui supervisi kelas yang dilakukan secara berkala dengan menerapkan teknik yang tepat, akhirnya kemampuan guru dan siswa dalam suatu pembelajaran dapat ditingkatkan. Adapun teknik yang dimaksud dalam rangka itu, yakni menerapkan model-model pembelajaran.
Pembahasan
Setelah melakukan refleksi terhadap peningkatan kemampuan guru SD Negeri 6 Tubanan dalam mengelola proses pembelajaran pasca dilakukan supervisi kelas oleh kepala sekolah dengan menerapkan model-model pembelajaran yang diupayakan, diperoleh gambaran untuk pembahasan, yakni:
1. Pentingnya supervisi kelas oleh kepala sekolah SD Negeri 6 Tubanan, yang di dalamnya bermuatan daya upaya yang akurat guna meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran;
2. Kemampuan kepala sekolah dalam mendayagunakan antarkomponen penting terkait dengan model-model pembelajaran, merupakan modalitas mendasar bagi berlangsungnya proses transformasi kemampuan ini kepada guru SD Negeri 6 Tubanan;
3. Meningkatnya kemampuan guru SD Negeri 6 Tubanan dalam mengelola proses pembelajaran yang berlandaskan pada model-model pembelajaran yang diterapkan, tidak terlepas dari meningkatnya kesadaran kepala sekolah untuk luruh di dalamnya secara bertanggung jawab, yang diaktualisasikan pada tindakan-tindakan nyata yang bersifat preventif (mencegah), membimbing, mengarahkan, dan menjadi rekan sejawat nan bijak dalam memenuhi setiap kebutuhan guru dan siswa dalam rangka mencapai suatu perubahan yang diinginkan.
PENUTUP
Simpulan
Setelah melakukan serangkaian kegiatan penelitian, akhirnya diperoleh hasil, seperti telah diuraikan. Untuk kemudian dilakukan pembahasan terhadap hasil penelitian tersebut. Barulah dapat diambil suatu simpulan guna menjawab pokok masalah penelitian ini. Simpulan dimaksud, sebagai berikut.
1. Penerapan model-model pembelajaran melalui supervisi kelas oleh kepala sekolah terbukti berhasil meningkatkan kemampuan guru SD Negeri 6 Tubanan dalam mengelola proses pembelajaran.
2. Dengan meningkatnya kemampuan guru SD Negeri 6 Tubanan dalam mengelola proses pembelajaran, selain proses belajar siswa lebih bermakna juga hasil belajarnya pun turut meningkat.
Saran-Saran
Berdasarkan simpulan di atas, penulis dapat merekomendasikan beberapa saran sebagai berikut.
1. Ada baiknya, pengawas ikut serta dalam melaksanakan supervisi kelas bersama dengan kepala sekolah SD Negeri 6 Tubanan.
2. Ada baiknya, untuk ke depan supervisi kelas oleh kepala sekolah dilakukan atas permintaan guru SD Negeri 6 Tubanan.
3. Ada baiknya, untuk program supervisi kelas yang akan datang, khususnya di SD Negeri 6 Tubanan dibuat bersama-sama dengan melibatkan berbagai pihak terkait, terutama pengawas, kepala sekolah, guru, dan bahkan stakeholders sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Burden, P. R., & Byrd, D. M. 1996. Method for effective teaching, second edition. Boston: Allyn and Bacon.
Danim, Sudarwan, (2010), Karya Tulis Inovatif Sebuah Pengembangan Profesi Guru, Penerbit: PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi Pengawas TK,SD, SMP, SMA, SMK & SLB, Jakarta: BP. Cipta Karya
Gunter, M. A., Estes, T. H., & Schwab, J. H. 1990. Instruction: A models approach. Boston: Allyn and Bacon.
Hamalik, Oemar, (203), Proses Belajar Mengajar,Penerbit: Bumi Aksara, Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2006 tentangStandar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Piet, A. Sahertian. Frans Mataheru, 1981. Prinsip Teknik Supervisi Pendidikan, Surabaya, UsahaNasional.
Saud, Udin Saefudin, (2009), Pengembangan Profesi Guru, Penerbit: CV. Alfabeta, Banudng.
Suderadjat, Hari, (2004), Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pembaharuan Pendidikan dalam Undang-undang Sisdiknas 2003, Penerbit: CV Cipta Cekas Grafika, Bandung.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.