Meningkatkan Minat Belajar Melalui Penerapan Metode Demonstrasi
UPAYA MENINGKATKAN MINAT BELAJAR MATEMATIKA
MELALUI PENERAPAN METODE DEMONSTRASI
PADA SISWA KELAS VI SDN 3 TANGGUNG GROBOGAN
SEMESTER 1 TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Maskuri
SDN 3 Tanggung Grobogan
ABSTRAK
PTK ini bertujuan untuk meningkatkan minat belajar matematika pada siswa kelas VI SDN 3 Tanggung Grobogan. Data hasil observasi terhadap aktivitas belajar dideskripsikan dengan teknik deskriptif komparatif. Hasil analisis data menunjukan bahwa rata-rata prosentase aktivitas minat belajar siswa mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari kategori kurang aktif (52,58%) menjadi kategori aktif (69,56%). Selisih peningkatan 16,98% dapat dikatakan bahwa metoda demonstrasi dapat meningkatkan siswa belajar mandiri, mengembangkan keterampilan berfikir, dan melakukan kerjasama dalam kelompok serta mampu memproses informasi yang telah dimilikinya untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Pembelajaran menggunakan metode demontrasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Peningkatan nilai rata-rata dicapai pada setiap pertemuan dari setiap siklus, yakni siklus I dengan rata-rata 58,26% menjadi 62,82% pada siklus II dengan selisih 4,56%. Nilai ketuntasan belajar dengan KKM 60 pada siklus I dari jumlah 23 anak, 9 anak mencapai ketuntasan belajar atau 39,13%. Pada siklus II 15 anak dari 23 anak mencapai nilai KKM atau 65,21% , jadi ada peningkatan 26,08%.
Kata kunci: minat belajar, demonstrasi
Latar Belakang
Pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses interaksi baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dengan melalui tatap muka dan secara tidak langsung yaitu dengan menggunakan berbagai media. Pembelajaran pada dasarnya merupakan proses sebab akibat. Guru yang mengajar, merupakan penyebab utama bagi terjadinya proses belajar siswa meskipun tidak setiap perbuatan belajar siswa merupakan akibat guru mengajar. Oleh sebab itu, guru harus mampu menetapkan strategi dan metoda pembelajaran yang tepat agar dapat mendorong terjadinya perbuatan belajar siswa yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Perkembangan zaman menuntut kualitas sumber daya manusia ke arah yang lebih maju sesuai dan seiring dengan kemajuan teknologi. Untuk menguasai teknologi salah satunya mata pelajaran Matematika merupakan dasar yang harus banyak dikuasi oleh setiap siswa sejak dini.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas di SDN 3 Tanggung Kecamatan Tanggungharjo terdapat permasalahan tentang pembelajaran Matematika. Permaalahan yang terjadi antara laian: a) Rendahnya nilai mata pelajaran Matematika, yaitu tidak lebih dari 40% siswa yang mendapatkan nilai di atas 60. Hal ini menunjukkan 60% siswa masih mengalami masalah, karena nilai tersebut masih di bawah standar rata-rata yaitu di bawah 60; b) Lemahnya minat belajar siswa karena disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 pada pasal 35 menyatakan ;
Tugas seorang guru bukanlah hanya sekedar menyampaikan pelajaran semata, akan tetapi juga seorang guru yang profesional dituntut untuk mempunyai kemampuan agar dapat menciptakan suasana membelajarkan siswa yang kondusif dan menata ruang belajar yang presentatif.
Mengajar dengan sukses tidak hanya dilakukan satu cara, tetapi guru membelajarkan harus menggunakan berbagai cara, agar siswa memiliki pengalaman belajar. Siswa mampu menghubungkan konsep yang dipelajarinya dengan kehidupannya sehari-hari sehingga hasilnya akan tahan lama.
Tuntutan terhadap kreativitas dan inovasi, guru dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang kondusif tidak lepas dari upaya mengaplikasikan tujuan Pendidikan Nasional. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 pasal 4 Bab II “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap serta mandiri, dan merasa tanggung jawab kemasyarakat dan kebangsaanâ€.
Dengan pernyataan di atas, peneliti berupaya untuk meningkatkan pembelajaran Matematika dengan menggunakan metoda demonstrasi yang menekankan pada siswa untuk dapat memahami konsep dasar Matematika yang sesuai dengan kebutuhan tuntutan.
Dari permasalahan yang ada di SD Negeri 3 Tanggung Kecamatan Tanggungharjo, peneliti dengan adanya kesempatan, kesediaan waktu, serta biaya, maka akan mencoba untuk memecahkan permasalahan tersebut di atas dengan melakukan penelitian yang mengacu pada Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
Pengertian Pembelajaran
Menurut Sadiman (1986) pembelajaran dan pengajaran dapat dibedakan yakni:“ Kata pengajaran hanya ada dalam konteks guru-murid di dalam kelas formal, sedangkan kata pembelajaran tidak hanya ada dalam konteks guru-murid di kelas formal akan tetapi juga meliputi kegiatan belajar mengajar yang tidak dihindari guru secara fisikâ€. Sedangkan definisi pembelajaran menurut Sudiman (1986) adalah “Kegiatan belajar mengajar siswa melalui usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajarâ€.
Tujuan pembelajaran merupakan rumusan perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya untuk menjadi milik dan harus nampak pada diri siswa sebagai akibat dari perbuatan belajar yang telah dilakukan. Tujuan pembelajaran dapat dipilah menjadi tujuan yang besifat kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (ketrampilan), ini merupakan derajat pencapaian tujuan dan hasil perbuatan belajar siswa.
Memahami teori tentang bagaimana orang belajar serta kemampuan menerapkannya dalam pengajaran matematika merupakan persyaratan penting untuk menciptakan proses pengajaran yang efektif. Berbagai studi tentang perkembangan intelektual manusia telah menghasilkan sejumlah teori belajar yang sangat bervariasi. Walaupun di antara para ahli psikologi, ahli teori belajar, dan para pendidik masih terdapat banyak perbedaan pemahaman tentang bagaimana orang belajar serta metoda paling efektif untuk terjadinya belajar, akan tetapi di antara mereka terdapat juga sejumlah kesepahaman. Menurut Bell (1978, h.97), tiap teori dapat dipandang sebagai suatu metoda untuk mengorganisasi serta mempelajari berbagai variabel yang berkaitan dengan belajar dan perkembangan intelektual, dan dengan demikian guru dapat memilih serta menerapkan elemen-elemen teori tertentu dalam pelaksanaan pengajaran di kelas.
Gagasan tentang belajar bermakna yang dikemukakan oleh William Brownell pada awal pertengahan abad duapuluh merupakan ide dasar dari teori konstruktivisme. Menurut Brownell (dalam Reys, Suydam, Lindquist, & Smith, 1998), matematika dapat dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri atas ide, prinsip, dan proses sehingga keterkaitan antar aspek-aspek tersebut harus dibangun dengan penekanan bukan pada memori atau hapalan melainkan pada aspek penalaran atau intelegensi anak. Selanjutnya Reys dkk. (1998) menambahkan bahwa matematika itu haruslah make sense. Jika matematika disajikan kepada anak dengan cara yang demikian, maka konsep yang dipelajari menjadi punya arti; dipahami sebagai suatu disiplin yang terurut, terstruktur, dan memiliki keterkaitan satu dengan lainnya; serta diperoleh melalui proses pemecahan masalah yang bervariasi. Dalam NCTM Standards (1989) belajar bermakna merupakan landasan utama untuk terbentuknya mathematical connections. Untuk terbentuknya kemampuan koneksi matematik tersebut, dalam NCTM Standards (2000) dijelaskan bahwa pembelajaran matematika harus diarahkan pada pengembangan kemampuan berikut: 1) Memperhatikan serta menggunakan koneksi matematik antar berbagai ide matematik; 2) Memahami bagaimana ide-ide matematik saling terkait satu dengan lainnya sehingga terbangun pemahaman menyeluruh; 3) Memperhatikan serta menggunakan matematika dalam konteks di luar matematika.
Piaget, Bruner, dan Dienes memiliki kontribusi terhadap perkembangan konstruktivisme. Berdasarkan pandangan ini, pengetahuan matematik dibentuk melalui tiga prinsip dasar berikut ini: 1) Pengetahuan tidak diterima secara pasif. Pengetahuan dibentuk atau ditemukan secara aktif oleh anak. Seperti disarankan Piaget bahwa pengetahuan matematika sebaiknya dikonstruksi oleh anak sendiri bukan diberikan dalam bentuk jadi; 2) Anak mengkonstruksi pengetahuan matematika baru melalui refleksi terhadap aksi-aksi yang dilakukan baik yang bersifat fisik maupun mental. Mereka melakukan observasi untuk menemukan keterkaitan dan pola, serta membentuk generalisasi dan abstraksi (Dienes, 1969, h.181); 3) Bruner (dalam Reys dkk., 1998, h. 19) berpandangan bahwa belajar, merefleksikan suatu proses sosial yang di dalamnya anak terlibat dalam dialog dan diskusi baik dengan diri mereka sendiri maupun orang lain termasuk guru sehingga mereka berkembang secara intelektual.
Prinsip ini pada dasarnya menyarankan bahwa anak sebaiknya tidak hanya terlibat dalam manipulasi material, pencarian pola, penemuan algoritma, dan menghasilkan solusi yang berbeda, akan tetapi juga dalam mengkomunikasikan hasil observasi mereka, membicarakan adanya keterkaitan, menjelaskan prosedur yang mereka gunakan, serta memberikan argumentasi atas hasil yang mereka peroleh.
Jelaslah bahwa prinsip-prinsip di atas memiliki implikasi terhadap pembelajaran matematika. Prinsip-prinsip tersebut juga mengindikasikan bahwa konstruktivisme merupakan suatu proses yang memerlukan waktu serta merefleksikan adanya sejumlah tahapan perkembangan dalam memahami konsep-konsep matematika. Menurut Vygotsky (dalam John dan Thornton, 1993), proses peningkatan pemahaman pada diri siswa terjadi sebagai akibat adanya pembelajaran. Vygotsky (dalam John dan Thornton, 1993) selanjutnya menjelaskan bahwa proses belajar terjadi pada dua tahap: tahap pertama terjadi pada saat berkolaborasi dengan orang lain, dan tahap berikutnya dilakukan secara individual yang di dalamnya terjadi proses internalisasi. Selama proses interaksi terjadi baik antara guru-siswa maupun antar siswa, kemampuan berikut ini perlu dikembangkan: saling menghargai, menguji kebenaran pernyataan fihak lain, bernegosiasi, dan saling mengadopsi pendapat yang berkembang.
Selain adanya tahapan perkembangan dalam memahami konsep-konsep matematika, terdapat juga tahapan perkembangan dalam kaitannya dengan intelektual atau kognitif anak seperti yang dikemukakan oleh Piaget, Bruner, dan Dienes. Sekalipun tahapan perkembangan yang dikemukakan oleh mereka masing-masing berbeda, akan tetapi kerangka dasar yang dikemukakan ketiganya pada prinsipnya adalah sama. Menurut Piaget perkembangan intelektual anak mencakup empat tahapan yaitu sensori motor, preoperasi, operasi kongkrit, dan operasi formal. Selain itu, Piaget (dalam Bell, 1978) juga menyatakan bahwa perkembangan intelektual anak merupakan suatu proses asimilasi dan akomodasi informasi ke dalam struktur mental. Asimilasi adalah suatu proses dimana informasi atau pengalaman yang diperoleh seseorang masuk ke dalam struktur mentalnya, sedangkan akomodasi adalah terjadinya restrukturisasi dalam otak sebagai akibat adanya informasi atau pengalaman baru. Piaget selanjutnya menjelaskan bahwa perkembangan mental seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni kematangan, pengalaman fisik, pengalaman matematis-logis, transmisi sosial (interaksi sosial), dan keseimbangan.
Sementara itu Dienes berpandangan bahwa belajar matematika itu mencakup 5 tahapan yaitu bermain bebas, generalisasi, representasi, simbolisasi, dan formalisasi. Pada tahap bermain bebas anak biasanya berinteraksi langsung dengan benda-benda kongkrit sebagai bagian dari aktivitas belajarnya. Pada tahap berikutnya, generalisasi, anak sudah memiliki kemampuan untuk mengobservasi pola, keteraturan, dan sifat yang dimiliki bersama. Pada tahap representasi, anak memiliki kemampuan untuk melakukan proses berfikir dengan menggunakan representasi obyek-obyek tertentu dalam bentuk gambar atau turus. Tahap simbolisasi, adalah suatu tahapan dimana anak sudah memiliki kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol matematik dalam proses berfikirnya. Sedangkan tahap formalisasi, adalah suatu tahap dimana anak sudah memiliki kemampuan untuk memandang matematika sebagai suatu sistem yang terstruktur.
Berdasarkan pandangan yang dikemukakan oleh Piaget, Bruner, dan Dienes di atas, dapat diperoleh hal-hal berikut ini: 1) Anak dapat secara aktif terlibat dalam proses belajar dan kesempatan untuk mengemukakan ide-ide mereka merupakan hal yang sangat esensial dalam proses tersebut. 2) Terdapat sejumlah karakteristik dan tahapan berfikir yang teridentifikasi dan dapat dipastikan bahwa anak melalui tahapan-tahapan tersebut. 3) Belajar bergerak dari tahapan yang bersifat kongkrit ke tahapan lain yang lebih abstrak. 4) Kemampuan untuk menggunakan simbol serta representasi formal secara alamiah berkembang mulai dari tahapan yang lebih kongkrit.
Minat Belajar
Secara teoristis minat belajar dapat ditumbuhkan dengan cara memberikan motivasi atau dorongan pada siswa, agar dapat melakukan sesuatu perbuatan, melakukan tindakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Membangkitkan motivasi menjadi penting dalam proses pembelajaran, karena hal tersebut merupakan tugas guru. Menurut Usman paling tidak ada dua jenis motivasi yang perlu dibangun, yaitu: 1) Motivasi dari dalam diri sendiri (motivasi intrinsik); 2) motivasi akibat pengaruh dari luar (motivasi ekstrinsik)
Tujuan atau melihat manfaat pembelajaran, misalnya; Suruhan, ajakan, bujukan atau paksaan yang dilakukan oleh orang lain yang dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku siswa.
Dalam menumbuhkan minat guru harus dapat memberikan motivasi, motivasi yang dimaksud adalah motivasi ekstrinsik antara lain: 1) Memberi penguatan terhadap jawaban siswa; 2) Memberikan pernyataan tujuan pembelajaran baik tujuan secara umum atau secara khusus; 3) Memberikan persyaratan tentang manfaat mempelajari materi yang disajikan; 4) Menciptakan persaingan diantara siswa untuk meningkatkan prestasi belajarnya; 5) Mengadakan penilaian (evaluasi) dengan mengadakan tes; 6) Memberikan pertanyaan-pertanyaan khusus (Kuisioner) berkaitan dengan materi pelajaran yang disajikan. (Usman,1992: 25).
Metode Demonstrasi
Metoda Demonstrasi yaitu cara penyajian bahan pelajaran dengan mempertunjukkan kepada siswa suatu proses, situasi, atau benda tertentu yang sedang dipelajari baik sebenarnya maupun tiruan, yang sering disertai dengan penjelasan lisan. Guru sebagai salah satu sumber belajar berkewajiban menyediakan lingkungan belajar yang kreatif bagi kegiatan belajar mengajar di kelas. Salah satu kegiatan yang harus dilakukan adalah melakukan pemilihan dan penentuan metoda yang tepat dipilih untuk mencapai tujuan pengajaran.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan metoda adalah:
a. Tujuan
Tujuan merupakan faktor yang paling pokok, karena tujuan menggambarkan tingkah laku yang harus dimiliki siswa setelah proses belajar mengajar selesai dilaksanakan.
b. Peserta didik
Peserta didik sebagai pihak yang berkepentingan di dalam proses belajar mengajar, sebab tujuan yang harus di capai semata untuk mengubah perilaku peserta didik itu sendiri.
c. Situasi
Faktor situasi dapat di bagi dua yaitu yang menyangkut jumlah waktu ialah berapa puluh menit atau beberapa jam pelajaran waktu yang tersedia untuk proses belajar mengajar,sedangkan yang menyangkut kondisi waktu ialah kapan atau pukul berapa pelajaran itu dilaksanakan.
d. Materi
Dilihat dari hakekatnya, ilmu atau materi pelajaran memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik ilmu atau materi pelajaran membawa implikasi terhadap penggunaancara dan teknik di dalam proses belajar mengajar.
e. Kemampuan
Kemampuan guru merupakan faktor penentu. Akhir pertimbangan semua faktor di atas akan sangat bergantung kepada kreatifitas guru. Dedikasi dan kemampuan gurulah yang pada akhirnya mempengaruhi pelaksanaan proses pembelajaran.
Kedudukan Metode dalam Belajar Mengajar
Berhasil atau tidaknya tujuan suatu materi tersampaikan oleh guru kepada peserta didik sangat ditentukan oleh metode yang digunakan, hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh (Djamarah, 1991: 72) “Metode adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar, metode diperlukan oleh guru dan penggunaannya bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin di capai setelah pengajaran berakhir. Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila dia tidak menguasai satu pun metode mengajar yang telah dirumuskan dan dikemukakan para ahli psikologi dan pendidikan â€.
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru tidak harus terpaku dengan menggunakan satu metode, tetapi guru sebaiknya menggunakan metode bervariasi agar jalannya pelajaran tidak membosankan, tetapi menarik perhatian anak didik. Hal ini menyebabkan kompetensi guru sangat diperlukan dalam pemilihan metode yang tepat. Winarno Surakhmad, dalam strategi belajar mengajar (1995) mengemukakan lima macam faktor yang mempengaruhi penggunaan metode mengajar sebagai berikut: 1) Tujuan yang berbagai jenis dan fungsinya; 2) Peserta didik dengan berbagai tingkat kematangannya; 3) Situasi yang berbagai keadaannya; 4) Fasilitas yang berbagai kualitas dan kuantitasnya; 5) Pribadi guru serta kemampuan profesionalnya yang berbeda-beda.
Hasil analisis yang dilakukan, lahirlah pemahaman tentang kedudukan metode sebagai:
Metode sebagai alat motovasi ekstrintik
Motovasi ektrintik menurut Sardiman A. M. (1988: 90) adalah: “Motif-motif yang aktif dan berfungsinya, karena adanya perangsang dari luar. Karena itu, metode berfungsi sebagai alat perangsang dari luar yang dapat membangkitkan belajar seseorang â€.
Penggunaan metode yang tepat dan bervarisai akan dapat dijadikan sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar.
Metode sebagai strategi pembelajaran
Tidak semua anak didik mampu berkonsentrasi dalam waktu yang relative lama dalam kegiatan belajar mengajar. Daya serap anak didik terhadap bahan yang di berikan juga bermacam-macam, ada yang cepat, ada yang sedang dan ada yang lambat. Faktor intelegensi mempengaruhi daya serap anak didik terhadap bahan pelajaran yang diberikan oleh guru. Cepat lambatnya penerimaan anak didik terhadap bahan pelajaran yang diberikan menghendaki pemberian waktu yang bervariasi, sehingga penguasaan penuh dapat tercapai.
Dalam kegiatan belajar mengajar menurut Roetsiyah N. K. (1989:1) Guru harus memiliki strategi agar anak didik dapat belajar secara efektif dan efesien, mengena pada tujuan yang diharapkan. Salah satu langkah untuk memiliki strategi itu adalah harus mengusai teknik-teknik penyajian atau disebut metode mengajar.
Dengan demikian, metode mengajar adalah strategi pembelajaran sebagai alat untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Metode sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Tujuan adalah suatu cita-cita yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Tujuan adalah pedoman yang memberi ke arah mana kegiatan belajar mengajar akan di bawa.
Tujuan dari kegiatan belajar mengajar tidak akan pernah selama komponen-komponen lainnya tidak diperlukan. Salah satunya adalah komponen metode. Metode adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan. Dengan memanfaatkan metode secara akurat, guru akan mampu mencapai tujuan.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SDN 3 Tanggung Grobogan. Adapun yang menjadi subyek penelitian yaitu Kelas VI. Penelitian tindakan kelas ini direncanakan 2 siklus. Setiap siklus terdiri dari 1 kali pertemuan, dengan demikian penelitian ini berlangsung kurang lebih dua minggu. Prosedur penelitian tindakan kelas ini menggunakan model yang di kembangkan oleh Kurt Lewin yaitu melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: 1) Perencanaan (planning 2) 2. Aksi / tindakan (acting); 3) 3. Obeservasi (observing); dan 4) Refleksi (reflecting).
Data dikumpulkan melalui observasi, catatan harian, tes harian, tes kemampuan pemahaman konsep matematika.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pelaksanaannya dilaksanakan pada tanggal 8 September 2015 untuk siklus I. Siklus II dilaksanakan pada tanggal 15 September 2015.
Siklus I
Pelaksanaan Pembelajaran.
Kegiatan pembelajaran pada siklus I menyajikan materi pembelajaran pengelolaan data, langkah-langkah kegiatan belajar dimulai dengan kegiatan apersepsi, kegiatan inti (demonstrasi), dan penutup.
Dari hasil observasi seluruh aktivitas siswa diperoleh rata-rata prosentase pada siklus I ; kerja sama 50.17%, keaktifan 50,17%, tanggung jawab 56,52% rata-rata prosentase aktivitas siswa siklus I yaitu 52,28%. Berdasarkan data tersebut aktivitas belajar siswa tergolong katagori kurang aktif. Berdasarkan catatan dan pengamatan pada waktu proses pembelajaran berlangsung aktivitas siswa terpaku pada pola belajar “ Duduk Dengar Catat Hafal†(DDCH). Ini terjadi pada saat guru menjelaskan dan bertanya pada siswa, mereka menjawab dengan ragu-ragu walaupun jawabanya terkadang benar, siswa masih nampak kurang berani mengemukakan pendapat atau menemukan ide-ide dan belum terbiasa melakukan kerjasama kelompok. Mereka cenderung apatis dalam mengerjakan LKS, masih tampak mengandalkan anggota kelompoknya yang punya keberanian dan punya kemampuan lebih sehingga sikap ketergantungan masih ada.
Data hasil observasi pada siklus I jelasnya sebagaimana pada tabel/grafik dibawah ini.
Tabel 1 Tabel Hasil Pengamatan Aktivitas Belajar Siswa pada Siklus I
NO |
|
Kegiatan |
Keterangan |
||
Kerja Sama |
Keaktifan |
Tanggung jawab |
|||
1 |
Anak yang Baik/SB |
12 |
12 |
13 |
|
2 |
Prosentase |
50,17% |
50,17% |
56,52% |
|
3 |
Rata-rata |
52,28% = Kurang |
|
||
4 |
Jumlah |
23 |
23 |
13 |
|
Hasil Belajar
Hasil belajar yang diperoleh siswa pada siklus I adalah siswa yang mendapat nilai 60 sama atau ke atas sebanyak 3 siswa dari jumlah siswa 23 orang berarti 13,04% dengan rata-rata nilai 49,34 hal ini dilakukan melalui pretes. Sedangkan hasil yang diperoleh melalui postes adalah siswa yang mendapat nilai 60 sama atau ke atas sebanyak 9 siswa yaitu 39,13% dengan rata-rata nilai 58,26. Daftar hasil pretes dan postes siklus I ada pada lampiran dan untuk lebih jelasnya seperti pada grafik di bawah ini
Tabel 2. Tabel Nilai Pretes dan Postes Siklus I
No |
|
N.Pretes |
N. Postes |
Keterangan |
|
Jumlah |
1.135 |
1.340 |
|
|
Nilai terendah |
30 |
40 |
|
|
Nilai tertinggi |
80 |
85 |
|
|
Rata-rata |
49,34 |
58,26 |
|
|
Persentase ketuntasan |
13,04% |
39,13% |
|
Tabel 3. Rentang Nilai Hasil Pretes dan Postes Siklus I
No |
Rentang Nilai |
Jumlah Siswa (Pretes) |
Jumlah Siswa (Postes) |
1 |
30 – 50 |
9 |
14 |
2 |
51 – 64 |
11 |
3 |
3 |
65 – 79 |
2 |
3 |
4 |
80 – 89 |
1 |
3 |
Jumlah |
23 |
23 |
Dengan menggunakan metode demonstrasi keberhasilan yang ditargetkan pada siklus I dapat dikatagorikan kurang berhasil masih perlu ada beberapa hal yang harus ditingkatkan lagi. Pada siklus I masih mengalami beberapa hambatan yang cukup berarti, kondisi belajar siswa dihadapkan pada situasi masalah.
Berdasarkan analisis yang dilakukan diperoleh beberapa faktor penyebabnya antara lain:
1) Sebagian siswa tampak kaku untuk melakukan kerja dalam kelompok, tingkat ketergantungan pada guru dan teman yang dianggap memiliki pengetahuan lebih masih tinggi, karena hal ini terbiasa dengan pola pembelajaran gaya lama yaitu Duduk, Dengar, Catat dan Hafal (DDCH), sehingga menyebabkan tingkat pemahaman, penguasaaan dan menemukan gagasan kyurang dilakuklan oleh siswa
2) Siswa kurang terbiasa mencari dan menemukan solusi untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya sehingga kurang komunikatif dan cenderung belajar masih individual mengandalkan yeman yang dianggap mempunyai kemampuan lebih.
3) Siswa kurang memahami petunjuk kerja yang harus dilakukan dan tidak terbiasa menghadapi situasi masalah dalam kehidupan nyata maka mengakibatkan kondisi belajar masih tampak pasif
4) Alokasi waktu yang dibutuhkan kurang memadai.
Berkenaan dengan kondisi di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk dilakukan perbaikan pada pembelajaran siklus II yakni sebagai berikut:
1) Siswa diberi tugas untuk mempelajari dan melakukan pengamatan terhadap peristiwa nyata melalui kegiatan mendemonstrasikan langsung pengolahan data yang ada hubungannya dengan konsep pembelajaran yang sedang dipelajari.
2) Guru membimbing siswa secara intensif dan menyeluruh untuk menumbuh kembangkan keterampilan intelektual agar semua siswa mampu melakukan sesuatu dan menemukan gagasasn untuk memecahkan suatu permasalahan.
3) Alokasi waktu yang telah tersedia harus diatur sebaik mungkin agar proses pembelajaran dapat berjalan efektif dan efisien.
Siklus II
Setelah selesai dilaksanakan pembelajaran siklus I, selanjutnya dilaksanakan pembelajaran siklus II. Pada prinsipnya langkah-langkah pembelajaran siklus II secara umum sama dengan langkah-langkah pembelajaran siklus I, tetapi dalam hal ini sudah dilakukan perbaikan-perbaikan sebagaimana pada refleksi siklus I.
Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan kegiatan pembelajaran siklus II ini dilakukan satu pertemuan, yaitu pada tanggal 15 September 2015 menyajikan materi pembelajaran “Pengolahan Dataâ€. Langkah-langkah kegiatan belajar membelajarkan pada siklus II yaitu, dimulai atau didahului dengan kegiatan apersepsi, kemudian kegiatan inti meliputi ; Penjelasan tujuan pembelajaran, kerja kelompok atau diskusi kelompok untuk melakukan kegiatan mendemonstrasikan pengerjaan Lembar Kerja Siswa (LKS), masing-masing kelompok diberi dan disediakan LKS untuk melakukan kegiatan dan mencatatnya data yang didapat pada LKS yang telah disiapkan serta menarik kesimpulannya. Setiap kelompok mempresentasikan hasil penemuannya sedangkan kelompok yang lain menanggapinya kemudian diakhiri dengan kegiatan penutup.
Pada pembelajaran siklus II ini siswa tampak lebih antusias, minat belajarnya nampak dan lebih aktif bila dibandingkan dengan pertemuan pada siklus I. Setelah seluruh proses kegiatan pembelajaran tersebut selesai, LKS yang telah dikerjakan siswa dikumpulkan kembali untuk dilakukan penilaian dan pada akhir kegiatan dilakukan postes untuk mengukur tingkat penguasaan materi yang duisajikan pada siklus II.
Dari hasil observasi terhadap seluruh aktivitas siswa diperoleh rata-rata prosentase aktivitas minat belajar siswa pada siklus II; Kerja sama 65,21%, keaktifan 73,91%, Tanggung jawab 69,56% dan rata-rata minat belajar 69,56%.
Berdasarkan data tersebut di atas, aktivitas belajar siswa tergolong katagori aktif. Hasil analisis terhadap aktivitas ini diperoleh informasi bahwa siswa kelas VI mulai terbiasa belajar kelompok, tumbuhnya kepedulian dan kerja sama yang baik sesama anggota kelompok, munculnya keberanian untuk mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, dan mampu memberikan sanggahan atau komentar terhadap pendapat kelompok lain, sehingga dengan metode demonstrasi disimpulkan dapat membangkitkan minat belajar siswa.
Data hasil observasi pada siklus II terlihat pada tabel dan grafik di bawah ini.
Tabel 4 Tabel Hasil Pengamatan Aktivitas Belajar Siswa pada Siklus II
NO |
|
Kegiatan |
Keterangan |
||
Kerja Sama |
Keaktifan |
Tanggung jawab |
|||
|
Jumlah |
23 |
23 |
23 |
|
|
Anak yang Baik/SB |
15 |
17 |
16 |
|
|
Prosentase |
65,21% |
73,91% |
69,56% |
|
|
Rata-rata |
69,56% = Baik |
|
Hasil Belajar
Hasil belajar yang diperoleh siswa pada siklus II adalah siswa yang mendapat nilai 60 keatas atau sama sebanyak 15 siswa dari jumlah siswa 23 orang berarti 65,21% dengan rata-rata nilai 62,82. Perolehan data tersebut menunjukan adanya peningkatan yanag cukup signifikan terhadap pemahaman konsep yakni dengan selisih 6 siswa atau kenaikan sekitar 26,08% dan rata-rata pada siklus II ini adalah 62,82. Hal ini pula mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan perolehan nilai rata-rata pada siklus I yaitu dengan selisih 4,56. Daftar hasil pre tes dan pos tes siklus II ada pada lampiran. Dan untuk lebih jelasnya sebagaimana pada grafik dibawah ini:
Tabel 5. Tabel Nilai Pretes dan Postes Siklus II
No |
Nama Siswa |
Nilai N.Pretes |
N.Postes |
Keterangan |
1 |
Jumlah |
1.320 |
1.445 |
|
2 |
Nilai terendah |
40 |
50 |
|
3 |
Nilai tertinggi |
85 |
90 |
|
4 |
Rata-rata |
57,39 |
62,82 |
|
5 |
Persentase ketuntasan |
52,17% |
65,21% |
|
Tabel 6. Rentang Nilai Hasil Pretes dan Postes Siklus II
No |
Rentang Nilai |
N Siswa (Pretes) |
N Siswa (Postes) |
1 |
30 – 50 |
11 |
8 |
2 |
51 – 64 |
6 |
7 |
3 |
65 – 79 |
2 |
4 |
4 |
80 – 90 |
4 |
4 |
Jumlah |
23 |
23 |
Tabel 7. Tabel Perbandingan Ketuntasan Belajar Siklus I dan Siklus II
No |
Ketuntasan |
Siklus I |
Siklus II |
||
N Siswa |
(%) |
N Siswa |
(%) |
||
1. |
Tuntas |
9 |
39 |
15 |
65 |
2. |
Belum Tuntas |
13 |
61 |
8 |
35 |
Jumlah |
23 |
100 |
23 |
100 |
Refleksi
Hasil dari siklus II ini menunjukan bahwa indikator keberhasilan yang ditargetkan dapat dikategorikan berhasil, yakni nilai yang diperoleh siswa mengalami peningkatan yang cukup berarti bila dibandingkan dengan siklus I begitu juga dengan aktivitas belajar siswa tampak lebih pro aktif, hidup, efektif dan efisien sehingga sasaran dan target pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Namun demikian disadari betul bahwa siswa harus mulai diperkenalkan atau dihadapkan pada situasi masalah nyata yang ada pada lingkkungannyadan sesuai dengan tingkaat pengetahuan serta pengalamannya, sehingga siswa betul-betul dapat memahami dan mampu memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
Simpulan
Dari uraian di atas hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Pembelajaran dengan menggunakan metode demonstrasi dapat meningkatkan aktivitas minat belajar siswa. Data hasil observasi terhadap aktivitas menunjukan bahwa rat-rata prosentase aktivitas/ minat belajar siswa mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari kategori kurang aktif (52,28%) menjadi kategori aktif (69,56%), ada selisih peningkatan 17,28%. dengan demikian metoda demonstrasi dapat menantang siswa mampu belajar mandiri, dapat mengembangkan keterampilan berfikir, dapat melakukan kerjasama dalam kelompok dan mampu memproses informasi yang telah dimilikinya untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
2. Pembelajaran dengan menggunakan metode demonstrasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Peningkatan nilai rata-rata yang cukup signifikan pada setiap pertemuan dari setiap siklus, yakni siklus I dengan rata-rata 39,13% menjadi 65,21% pada siklus II dengan selisih 26,08%.
Saran
Saran-saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran dengan menggunakan metode demonstrasi terbukti baik untuk diterapkan pada anak tingkat sekolah dasar, oleh karena itu guru yang akan mengajar harus dapat memilih metode yang tepat dalam mempersiapkan pembelajaran.
2. Siswa dibiasakan belajar dihadapkan pada situasi masalah yang nyata, otentik, dan bermakna bagi kehidupannya.
3. Guru harus menguasai dan memahami konsep model pembelajaran agar dalam pelaksanaan pembelajaran, siswa dapat melakukan secara maksimal sehingga target yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan baik, efektif, dan efisien.
DAFTAR PUSATAKA
Arikunto, Suharsimi., Suhardjono dan Supardi (2006). Penelitian Tindakan Kelas Jakarta: PT Bumi Aksara
Sadiman, Arief. dkk. 1986. Media Pendidikan,Pengertian,, Pengembangan, dan Pemanfaatannya, Jakarta: Rajawali.
Abror, Abd. Rachman, 1993. Psikologi Pendidikan, Yoyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Azhar, Arsyad 2003. Media Pembelajaran., Jakarta: Raja Grafindo.
Bell, Frederick H. 1981. Teaching and Learning Mathematics (in Secondary School) IOWA: WnC Brown Comp. Publisher
Bell, F.H. (1978). Teaching and Learning Mathematics in Secondary Schools. Dubuque: Wm.C. Brown Company Publishers.
Winarno, R. Eko Djuniarto. 2004. Perencanaan Pembelajaran Terampil Berhitung Matematika SD Kelas VI. Erlangga: Jakarta
Henningsen, M., & Stein, M.K. (1997). Mathematical Tasks and Student Cognition: Classroom-BasedFactors That Support and Inhibit High-Level Mathematical Thinking and Reasoning. Journal for Research in Mathematics Education, 28, 524-549.
Piaget, J. dan Inhelder, B. (1974). The Child’s Construction of Quantities. London: Routledge & Kegan Paul
Pierce, J.W. dan Putnam, R.T. (2001). Problem-Based Learning: Learning and Teaching in the Context of Problems. Dalam K.R. Howey,dkk. (Eds).Contextual Teaching and Learning: Preparing Teacher to Enhance Student Success in The Workplace and Beyond. (pp. 17-32). ERIC Clearinghouse on Teaching and Teacher Education.
Purwanto, N. 2002. Prinsip-prinsip dan teknik evaluasi pengajaran. PT. Remaja Rosdakarya, Jakarta.
Reys, R.E., Suydam, M.N., Lindquist, M.M., dan Smith, N.L. (1998). Helping Children Learn Mathematics. Boston: Allyn and Bacon.
Sadirman, N. dkk. 1991 Ilmu Pendidikan. Bandung, Remaja Rosdakarya.
Suhardjono, Azis Hoesein, dkk. (1996). Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah di Bidang Pendidikan dan Angka Kredit Pengembangan Profesi Widyaiswara. Jakarta: Depdikbud, Dikdasmen
UU RI No. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta , Asa Mandir
Vygotsky, L.S. (1978). Mind in society. Cambridge, MA: Harvard University Press.