PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING

PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

KELAS VI SD KATOLIK WAIARA

 

Maria Dewi Sinta

Guru di SD Katolik Waiara, Sikka, Nusa Tenggara Timur

 

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah 1) Meningkatkan Prestasi Belajar Pendidikan Agama Katolik melalui implementasi penilaian hasil belajar, dan 2) Mendeskripsikan respon siswa terhadap model pembelajaran dengan menggunakan model Discovery Learning. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang melibatkan 35 orang siswa beragama Katolik kelas VI SD Katolik Waiara pada Tahun Pelajaran 2017/2018. Tindakan dilakukan dalam tiga siklus pembelajaran. Data dikumpulkan dengan pedoman observasi, tes pada masing-masing siklus, dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Penerapan keaktifan, nilai prestasi dalam pembelajaran Pendidikan Agama Katolik (PAK) dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Terjadi peningkatan perolehan achievement belajar siswa sebesar 18,27 dalam perbandingan perolehan pada siklus I ke siklus II dan 9,09% dalam perbandingan perolehan pada siklus II ke siklus III dalam segi hasil belajar. Dengan dapat diperolehnya nilai siswa (dari skor rata-rata sebesar 63,54% dengan kualifikasi rendah pada siklus I menjadi sebesar 81,81% dengan kualifikasi tinggi pada siklus II, dan sebesar 90,90% dengan kualifikasi sangat tinggi pada siklus III). Keaktifan dalam belajar mempunyai peran yang sangat positif. Sedangkan ketuntasan minimal, selalu mengalami peningkatan yang dibuktikan dengan prestasi yang tidak tuntas pada siklus I, tuntas pada siklus II, dan lebih tuntas lagi pada siklus III. Dengan demikian respon siswa terhadap penggunaan metode Discovery Learning dalam pembelajaran Pendidikan agama Katolik adalah sangat positif.

Kata Kunci: Discovery Learning, Keaktifan, Prestasi Belajar

 

LATAR BELAKANG

Pelajaran pendidikan agama katolik penting diberikan kepada siswa untuk berlatih mendalami dan mengimani secara aktif. Disamping itu, pengajaran pendidikan agama katolik secara otomatis mencakup banyak unsur keimanan secara spiritual dan keterampilan dalam penghayatan hidup sehari-harinya. Hal ini dapat dilihat dalam situasi dengan kesadaran berdoa dan keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan kegerejaan. Dengan demikian guru pendidikan agama katolik dihadapkan pada dua masalah sangat dilematis.

Di satu sisi guru harus menyelesaikan target kurikulum yang harus dicapai dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Sementara di sisi lain porsi waktu yang disediakan untuk pelajaran keimanan relatif terbatas, padahal untuk pelajaran keimanan dalam spiritual seharusnya dibutuhkan waktu yang cukup panjang, karena diperlukan latihan-latihan untuk pendalaman yang cukup memberikan porsi bagi siswa dalam keimanan secara spiritual kehidupan sehari-harinya. Dari dua persoalan tersebut kiranya dibutuhkan kreaivitas guru untuk mengatur sedemikian rupa sehingga materi pelajaran PAK dapat diberikan semaksimal mungkin dengan tidak mengesampingkan materi yang lain.

Umumnya guru agak mengabaikan pelajaran dalam spiritualitas doa. Ada beberapa faktor penyebabnya yaitu, (1) sistem ulangan atau ujian yang biasanya menjabarkan soal-soal yang sebagian besar besifat teoritis, Materi ulangan yang bersifat teoritis dapat menimbulkan motivasi guru mengajarkan materi PAK hanya untuk dapat menjawab soal-soal ujian atau ulangan, sementara ranah keterampilan dalam kehidupan keimanan yang mestinya sangat penting justru diabaikan. Sedangkan dengan kelas yang kecil konsekuensi biasanya guru enggan memberikan pelajaran dalam aspek spiritualitas melalui doa walaupun setiap pertemuan sudah diawali dan diakhiri dengan doa tetapi masih kurang bermakna, masih jauh dalam segi perwujudan penghayatan imannya. Disamping itu, karena ia terjadi keengganan yang harus memeriksa hasil susunan doa bagi siswa meskipun sedikit namun dipandang menyita waktu untuk kegiatan urgensitas pada fokus penyampaian materi yang harus diajarkan. Kadang-kadang harus berhadapan dengan tulisan-tulisan siswa yang notabene sulit dibaca. Belum lagi yang masih harus mengajar lebih dari satu sekolah, jarak sekolah dalam perjalannya cukup memakan waktu yang lama, berarti yang harus diperiksa tentu saja menjadi sekian lembar kegiatan siswa termasuk susunan doa. Oleh karena itu, tidak jarang pula adanya guru menyuruh siswa menyusun doa hanya sekali waktu atau bahkan berbulan-bulan tanpa fokus perhatian, pelajaran dituangkan pada bahan ajar.

Disamping hal-hal tersebut di atas ada asumsi sebagian guru yang menganggap tugas penyusunan doa dan pengungkapan iman lainnya diberikan kepada siswa terlalu memberatkan siswa. Hal demikian dimaksud bahwa ukuran iman spiritual tidak begitu mudah memahaminya, sehingga merasa kasihan memberikan beban berat tersebut kepada siswanya. Dengan demikian terlalu pesimis dengan kemampuan siswa. Asumsi tersebut tidak bisa dibenarkan, karena justru dengan seringnya latihan yang diberikan akan membuat siswa terbiasa. Kita tahu keterampilan mengungkapkan iman akan dicapai dengan baik bila dibiasakan.

RUMUSAN MASALAH

Sejauh mana peningkatan hasil belajar siswa dengan diterapkannya metode pembelajaran Discovery Learning dalam belajar Pendidikan Agama Katolik pada siswa Kelas VI SD Katolik Waiara?

Bagaimanakah peran positif tentang metode pembelajaran Discovery learning terhadap prestasi belajar pendidikan agama katolik (PAK) siswa kelas VI pada semester genap tahun pelajaran 2017-2018?

KONSEP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

Istilah belajar dan pembelajaran yang kita jumpai dalam pustaka asing adalah sebagaimana disebutkannya dengan learning dan instruction. Istilah learning mengandung pengetian proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman, (Fortuna, 1981:147). Istilah instruction mengandung pengertian proses yang terpusat pada tujuan (goal directed teaching process) yang dalam banyak hal dapat direncanakan sebelumnya (pree-planed). Proses belajar yang terjadi adalah proses pembelajaran, yakni proses membuat orang lain aktif melakukan proses belajar sesuai dengan rancangan. (Romiszowki, 1981: 4).

Pembelajaran merupakan sarana memungkinkan terjadinya proses belajar dalam arti perubahan perilaku individu melalui proses belajar-mengajar. Namun harus diberi catatan bahwa tidak semua proses belajar-mengajar terjadi karena adanya proses pembelajaran, seperti belajar dari pengalaman sendiri, (Udin Sarifuddin, 1995: 3). Belajar diartikan juga sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antar individu dengan lingkungannya. Burton mengatakan “Learning is change in the individual due to instruction of that individual and his environment, which fells a need and makes him more capable of dealing undauntedly with his environment. (Burton: The guidance of learning activities, 1994). Dalam pengertian ini terdapat kata “change” (perubahan), yang berarti bahwa seseorang setelah mengalami proses pengetahuannya, keterampilannya, maupun pada aspek sikapnya, misalnya dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari ragu-ragu menjadi yakin, dari tidak sopan menjadi sopan, dan sebagainya. Kriteria keberhasilan belajar diantaranya ditandai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri individu yang belajar.

Pembelajaran demikian identik sekali dengan proses belajar-mengajar. Proses dalam pengertiannya disini merupakan interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat belajar-mengajar, satu dengan lainnya saling berhubungan (inter independent), dalam ikatan untuk mencapai tujuan. Yang dimaksud komponen atau unsur belajar-mengajar antara lain tujuan instruksional, yang hendak dicapai dalam pembelajaran, metode mengajar, alat peraga pengajaran, dan evaluasi sebagai alat ukur tercapai tidaknya tujuan pembelajaran.

Dalam satu kali proses pembelajaran yang pertama dilakukan adalah merumuskan Indikator Ketercapaian Kompetensi (IPK) dan tujuan pembelajaran yang dijabarkan dari Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), setelah itu menentukan materi pelajaran yang sesuai dengan tujuan tersebut. Selanjutnya menentukan metode mengajar yang merupakan wahana penghubung materi pelajaran sehingga dapat diterima dan menjadi milik siswa, kemudian menentukan alat peraga sebagai penunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Langkah terakhir yang harus dilakukan adalah menentukan alat evaluasi sebagai pengukur tercapai-tidaknya tujuan yang hasilnya dapat dijadikan sebagai umpan balik (feed back) bagi guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.

Dari uraian ini jelas bahwa kegiatan belajar-mengajar atau yang disebut juga pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu, guru dituntut memiliki kemampuan mengintegrasikan komponen-komponen tersebut

dalam kegiatan belajar-mengajar atau proses pembelajaran. (Udin Sarifudin, 1995: 3).

BELAJAR SECARA AKTIF

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dalam suatu perkuliahan bergaya-ceramah, mahasiswa kurang menaruh perhatian selama 40% dari seluruh waktu kuliah (Pollio, 1984). Mahasiswa dapat mengingat 70 persen dalam sepuluh menit pertama kuliah, sedangkan dalam sepuluh menit terakhir, mereka hanya dapat mengingat 20% materi kuliah mereka (McKeachie, 1986). Tidak heran bila mahasiswa dalam kuliah psikologi yang disampaikan dengan gaya ceramah hanya mengetahui 8% lebih banyak dari kelompok pembanding yang sama sekali belum pernah mengikuti kuliah itu (Richard, dkk., 1989). Bayangkan apa yang bisa didapatkan dari pemberian kuliah dengan cara seperti itu di perguruan tinggi.

Ketika pengajaran memiliki dimensi auditori dan visual, pesan yang diberikan akan menjadi lebih kuat berkat kedua sistem penyampaian itu. Juga, sebagian siswa, lebih menyukai satu cara penyampaian ketimbang cara lain. Dengan menggunakan keduanya, kita memiliki peluang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan dari beberapa tipe siswa. Namum demikian belajar tidaklah cukup hanya dengan mendengarkan atau melihat sesuatu.

Tentu saja otak kita tidak bekerja seperti piranti audio atau video tape recorder. Informasi yang masuk akan secara rutin dipertanyakan. Otak kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Pernahkan mendengar atau melihat informasi ini sebelumnya? Di bagian manakah informasi cocok? Apa yang bisa saya lakukan terhadapnya? Dapatkah saya asumsikan bahwa ini merupakan gagasan sama dengan yang saya dapatkan kemarin atau bulan lalu atau tahun yang lalu? Otak bekerja tidak hanya sekedar menerima informasi, akan tetapi ia mengolahnya.

Untuk mengolah informasi secara efektif, ia akan mendapatkan bantuan dengan melakukan perenungan semacam itu baik secara eksternal maupun internal. Otak kita akan melakukan tugas proses belajar yang lebih baik jika kita membahas informasi dengan orang lain dan jika kita diminta mengajukan pertanyaan tentang itu. Sebagai contoh, Ruhl, Hughes, dan Schloss (1987) meminta siswa untuk berdiskusi dengan teman satu meja tentang apa yang dijelaskan oleh guru pada beberapa jeda waktu yang disediakan selama pelajaran berlangsung. Dibandingkan dengan siswa dalam kelas pembanding yang tidak diselingi diskusi, siswa-siswi ini mendapatkan nilai dengan selisih dua angka lebih tinggi.

Akan lebih baik lagi jika kita dapat melakukan sesuatu terhadap informasi itu, dan dengan demikian kita bisa mendapat umpan balik tentang seberapa bagus pemahaman kita. Menurut John Holt (1967), proses belajar akan meningkat jika siswa diminta untuk melakukan berikut ini. Diantaranya: Mengemukakan informasi kembali dengan kata-kata mereka sendiri. Memberikan contohnya, dan mengenalinya dalam bermacam-macam bentuk dan situasi. Melihat kaitan informasi dengan fakta atau gagasan lain. Menggunakan berbagai macam cara. Memprekdisikan sejumlah konsekuensinya. Menyebutkan lawan atau kebalikannya.

Dalam banyak hal, otak itu tidak begitu berbeda dengan sebuah computer, dan kita adalah pemakainya. Sebuah computer tentunya perlu di-”on”-kan untuk selanjutnya bisa digunakan. Otak kita juga demikian. Ketika kegiatan belajar sifatnya pasif, otak kita tidak “on”. Sebuah computer membutuhkan software yang tepat untuk menginterpretasikan data yang diasumsikan.

Otak kita perlu mengaitkan antara apa yang dimasukkan. Otak kita perlu mengaitkan antara apa yang diajarkan kepada kita dengan apa yang telah kita ketahui dan dengan cara kita berpikir. Ketika proses belajar sifatnya pasif, otak tidak melakukan pengkaitan ini dengan software pikiran kita. Ujung-ujungnya, computer tidak dapat mengakses kembali informasi yang dia olah bila tidak terlebih dahulu “disimpan”. Otak kita perlu menguji informasi, mengikhtisarkannya, atau menjelaskan kepada orang lain untuk dapat menyimpannya dalam bank ingatannya. Ketika proses belajar bersifat pasif, otak tidak menyimpan apa yang telah disajikan kepadanya.

Apa yang terjadi ketika guru mengisi pikiran siswa dengan pemikiran mereka sendiri atau ketika guru terlalu sering menggunakan penjelasan dan pemeragaan disertai ungkapan, “begini lho caranya”? menuangkan fakta dan konsep ke dalam benak siswa dan menunjukan keterampilan dan prosedur dengan cara kelewat menguasai justru mengganggu proses belajar. Cara menyajikan informasi menimbulkan kesan langsung, namun tanpa memori fotografis, siswa tidak mendapatkan banyak hal, baik dalam waktu lama maupun hanya sebentar.

Proses belajar sesungguhnya bukan hanya kegiatan menghafal. Banyak hal yang kita ingat hilang beberapa jam. Memperlajari bukan menelan semuanya. Untuk mengingat apa yang telah diajarkan, siswa harus memahaminya. Seorang guru tidak dapat menuangkan sesuatu ke dalam benak siswa, mereka lihat menjadi satu kesatuan yang bermakna. Tanpa adanya peluang untuk mendiskusikan, mengajukan pertanyaan, mempraktikan, dan barangkali mengajarkannya kepada siswa lain, tidak terjadi proses belajar sesungguhnya.

Lebih lanjut, belajar bukanlah kegiatan sekali tembak. Proses belajar berlangsung secara bergelombang. Belajar memerlukan kedekatan dengan materi yang hendak dipelajari, secara jauh-jauh sebelum memahaminya. Belajar memerlukan kedekatan dengan berbagai macam hal, bukan hanya sekedar pengulangan atau hafalan. Sebagi contoh, pelajaran pendidikan agama katolik bisa diajarkan dengan media konkrit, melalui buku-buku latihan, dan mempraktikan dalam kegiatan rohani sehari-hari. Masing-masing cara menyajikan konsep menentukan pemahaman siswa. Yang lebih penting, bagaimana kedekatan itu berlangsung. Ketika kegiatan belajar sifatnya pasif, siswa mengikuti pelajaran tanpa rasa keingintahuan, tanpa mengajukan pertanyaan, dan tanpa minat terhadap hasilnya.

SISI SOSIAL PROSES BELAJAR

Karena siswa masa kini menghadapi dunia di mana terdapat pengetahuan yang luas, perubahan pesat, dan ketidakpastian, mereka bisa mengalami kegelisahan dan bersikap defensif. Abraham Maslow mengajarkan kepada kita bahwa manusia memiliki dua kumpulan kekuatan atau kebutuhan, satu berupaya tumbuh dan yang lain condong kepada keamanan. Orang yang dihadapkan pada kedua kebutuhan ini akan memiliki keamanan dan pertumbuhan. Kebutuhan rasa aman harus dipenuhi sebelum bisa sepenuhnya kebutuhan mencapai sesuatu mengambil resiko, dan menggali hal baru. Pertumbuhan berjalan dengan langkah-langkah kecul, menurut Maslow, dan “tiap langkah maju hanya dimungkinkan akan sampai tujuan bila ada rasa aman, yang mana ini merupakan langkah ke depan dari suasana rumah yang aman menuju wilayah yang belum diketahui” (Maslow, 1968). Salah satu cara utama mendapatkan rasa aman adalah menjalin hubungan dengan orang lain dan

menjadi bagian dari kelompok. Perasaan saling memiliki memungkinkan siswa menghadapi tantangan. Ketika belajar bersama teman, mendapatkan dukungan emosional dan intelektual yang memungkinkan melampaui ambang pengetahuan dan keterampilan mereka sekarang.

Jerome Bruner membahas sisi sosial proses belajar dama buku klasiknya, Toward a Theory of Instruction. Dia menjelaskan tentang “kebutuhan mendalam manusia untuk merespon orang lain dan untuk bekerjasama dengan mereka guna mencapai tujuan,” yang mana hal ini dia sebut resiprositas (hubungan timbal balik). Bruner berpendapat bahwa resiprositas merupakan sumber motivasi yang bisa dimanfaatkan oleh guru sebagai berikut, “Di mana dibutuhkan tindakan bersama, dan di mana resiprositas diperlukan bagi kelompok untuk mencapai suatu tujuan, disitulah terdapat proses yang membawa individu ke dalam pembelajaran membimbingnya untuk mendapatkan kemampuan yang diperlukan dalam pembentukan kelompok” (Bruner, 1966).

Konsep-konsepnya Maslow dan Bruner mengurusi perkembangan metode belajar kolaboratif populer dalam lingkup pendidikan masa kini. Menempatkan siswa dalam kelompok dan memberi tugas yang menuntut untuk bergantung satu sama lain dalam mengerjakannya merupakan cara bagus untuk memanfaatkan kebutuhan sosial siswa. Mereka menjadi cenderung lebih telibat dalam kegiatan belajar karena mengerjakannya bersama teman-teman. Begitu terlibat, mereka juga langsung memiliki kebutuhan untuk membicarakan apa yang mereka alami bersama teman, yang mengarah kepada hubungan-hubungan lebih lanjut.

Kegiatan belajar bersama dapat membantu memacu belajar aktif. Kegiatan pembelajaran di kelas menstimulasi belajar aktif dengan cara khusus. Apa yang didiskusikan siswa dengan temannya dan apa yang diajarkan siswa kepada temannya memungkinkan mereka memperoleh pemahaman dan penguasaan materi pelajaran. Metode belajar bersama terbaik, semisal pelajaran menyusun doa, memenuhi persyaratan ini. Pemberian tugas yang berbeda kepada siswa mendorong mereka tidak hanya belajar bersama, namun juga mengajarkan satu sama lain.

Pendidikan agama katolik adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, memperhatikan penghormatan terhadap agama lain dengan hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. (Permendiknas No.22 tahun 2006).

METODE PEMBELAJARAN MODEL DISCOVERY LEARNING

Model pembelajaran Discovery Learning diartikan sebagai cara penyajian pembelajaran yang memberi pelajaran kepada siswa untuk menemukan informasi tanpa bantuan guru (Alwi. 2014:83) Model Discovery Learning lebih dikenal dengan metode penemuan terbimbing, para siswa diberi bimbingan singkat untuk menemukan jawabannya. Harus diusahakan agar jawaban atau hasil akhir itu tetap ditemukan sendiri oleh siswa.

Penemuan (discovery) merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandagan konstruktivisme. Model ini menekankan pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran. Metode pembelajaran berbasis penemuan atau Discovery Learning adalah metode belajar yang mengatur tentang pengajaran sedemikian rupa sehingga peserta didik memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya, tidak melalui pemberitahuan akan tetapi ditemukan sendiri. (Agus.2013: 100).

Dalam pembelajaran Discovery (penemuan) kegiatan atau pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa, sehingga peserta didik dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Dalam menemukan konsep, peserta didik melakukan pengamatan, menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep. Metode Discovery Learning diartikan sebagai prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, memanipulasi obyek sebelum sampai pada generalisasi. Maka siswa harus berperan aktif dalam belajar. Peran aktif siswa dalam belajar ini diterapkan melalui penemuan.

Aplikasi model Pembelajaran Discovery Learning (DL). Dalam rangka mengaplikasikan model pembelajaran DL dalam kelas, guru bidang studi harus melakukan beberapa persiapan terlebih dahulu. Berikut ini tahapan perencanaan menurut Brunner; Tahap persiapan dalam aplikasi model discovery learning, yaitu: Menentukan tujuan pembelajaran. Menentukan identifikasi karakteristik siswa. Memilih materi pelajaran. Menentukan topic-topic yang harus dipelajari siswa secara induktif. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh; ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkrit ke abstrak, atau dari tahap enaktik, ikonik sampai yang simbolik. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

Prosedur aplikasi model Pembelajaran Discovery Learning, yaitu: Menurut Hamzah (2004: 248), dalam mengaplikasi model discovery learning di dalam kelas, tahapan atau prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum adalah sebagai berikut: Stimulation (stimulasi pemberian rangsangan), Problem Statemen (pernyataan/identifikasi masalah), Data Collection (pengumpulan data), Data Processing (pengolahan data), Verificartion, dan Generalization (menarik kesimpulan).

HASIL PENELITIAN

Siklus I.

Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari RPP 1, soal tes formatif 1 dan alat-alat pengajaran yang mendukung. Selain itu juga dipersiapkan lembar observasi pengolahan belajar aktif atau keaktifan belajar. Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus I dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 2018 di Kelas VI dengan jumlah 35 orang siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah dipersiapkan. Observasi dilaksanakan bersamaan dengan pelaksaaan pembelajaran. Sebagai pengamatnya adalah guru agama Kristen pada sekolah yang sama. Pada akhir proses pembelajaran siswa diberi tes formatif I dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan.

Tabel 1. Hasil Tes Formatif peserta didik pada Siklus I

No

Uraian

Hasil Silkus I

1

Benar semua

36,27%

2

Benar sebagian

27,27%

3

Salah semua

18,18%

4

Tidak selesai dan salah semua

18,18%

Tingkat keberhasilan pada siklus I adalah 36,27% + 27,27% = 63,54%. Hal ini menunjukkan siswa kurang memahami penjelasan guru. Hasil observasi masih kurang memuaskan, karena perhatian siswa diperoleh secara paksa. Meskipun hanya pada tahab awal. Perhatian tidak tumbuh yang secara alamiah.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada siklus pertama secara klasikal siswa belum tuntas belajar, karena siswa yang memahami mata pelajaran dalam kompetensi memahami peran Roh Kudus hanya sebesar 63,54% lebih kecil dari persentase ketuntasan yang dikehendaki sebesar 75%. Hal ini disebabkan karena siswa masih merasa baru dan belum mengerti yang dimaksudkan dan digunakan guru dengan model keaktifan belajar. Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran diperoleh informasi dari hasil pengamatan. Hasil pengamatan dilaporkan bahwa guru belum maksimal memotivasi siswa dan belum baik pula menyampaikan tujuan pembelajaran. guru kurang baik dalam pengelolaan waktu. Dari segi siswa, dilaporkan kurang antusias mengikuti pembelajaran.

Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada siklus I ini masih terdapat kekurangan, sehingga perlu adanya revisi untuk dilakukan pada siklus berikutnya. Guru perlu lebih terampil dalam memotivasi siswa dan lebih jelas dalam menyampaikan tujuan pembelajaran. Dimana siswa harus diajak untuk terlibat langsung dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan. Guru perlu melakukan pendistribusian tentang waktu yang secara lebih baik dengan menambahkan informasi-informasi yang dirasa perlu dan memberi catatan. Guru harus lebih terampil dan bersemangat dalam memotivasi siswa sehingga lebih tertarik dan antusias.

Siklus II.

Siklus II dilaksanakan pada tanggal 12 Januari 2018. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses pembelajaran mengacu pada rencana pelaksanaan pembelajaran dengan memperhatikan revisi pada siklus I, sehingga kesalahan atau kekurangan pada siklus I tidak terulang lagi pada siklus II. Observasi dilaksanakan juga secara bersamaan dengan pelaksanaan proses pembelajaran. Pada akhir proses pembelajaran siswa diberi tes formatif II dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran yang telah dilakukan. Instrument yang digunakan adalah tes formatif II.

Tabel 2. Hasil Tes Formatif peserta didik pada Siklus II

No

Uraian

Hasil Silkus II

1

Benar semua

45,45%

2

Benar sebagian

36,36%

3

Salah semua

9,09%

4

Tidak selesai dan salah semua

9,09%

Tingkat keberhasilan pada siklus I adalah 45,45% + 36,36% = 81,81%. Hasil ini menunjukkan bahwa ketuntasan belajar mencapai 81,81%. Hasil ini menunjukkan bahwa pada siklus II ini ketuntasan belajar secara klasikal telah mengalami peningkatan sedikit lebih baik dari siklus I. Adanya peningkatan hasil belajar siswa ini karena setelah guru menginformasikan bahwa setiap akhir pelajaran akan selalu diadakan tes sehingga pada pertemuan berikutnya siswa lebih termotivasi untuk belajar. Selain itu siswa juga sudah mulai mengerti apa yang dimaksudkan dan yang dinginkan guru dengan menerapkan model belajar aktif discovery learning.

Dalam pelaksanaan kegiatan belajar diperoleh informasi dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh observer selaku kolaborator sebagai berikut: Memotivasi siswa. Membimbing siswa dalam upaya merumuskan kesimpulan/menemukan konsep, Pengelolaan waktu, Revisi Rancangan. Pelaksanaan kegiatan belajar pada siklus II ini masih terdapat kekurangan-kekurangan. Maka perlu adanya revisi untuk dilaksanakan pada siklus III ini. Guru hendaknya dapat membuat siswa lebih termotivasi selama proses belajar mengajar berlangsung, Guru harus lebih dekat dengan siswa sehingga tidak ada perasaan takut dalam diri siswa baik untuk mengemukakan pendapat atau bertanya. Guru harus lebih sabar dalam membimbing siswa dalam merumuskan kesimpulan/ menemukan konsep. Guru harus mendistribusikan waktu yang sebaik-baiknya sehingga kegiatan pembelajaran ini dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Guru sebaiknya menambah lebih banyak tentang contoh soal dan memberi soal latihan siswa untuk dikerjakan setiap kegiatan pembelajaran.

Siklus III.

Dalam tahap ini, diantaranya peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari RPP 3, soal tes formatif 3, dan alat pengajaran yang mendukung. Selain itu juga dipersiapkan lembar observasi pengelolaan cara belajar secara aktif dalam model pembelajaran Discovery Learning dan lembar observasi bagi aktivitas guru dan siswa.

Pelaksanaan kegiatan pembelajaran untuk siklus III dilaksanakan pada tanggal 19 Januari 2018 di Kelas VI dengan jumlah 35 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses pembelajaran mengacu pada rencana pelaksanaan pembelajaran dengan memperhatikan revisi pada siklus II, sehingga kesalahan atau kekurangan pada siklus II tidak terulang lagi pada siklus III. Observasi dilaksanakan secara bersamaan dengan pelaksanaan proses belajar mengajar. Pada akhir proses pembelajaran siswa diberi tes formatif III dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes formatif III.

Tabel 3. Hasil Tes Formatif Siswa pada Siklus III

No

Uraian

Hasil Silkus III

1

Benar semua

45,45%

2

Benar sebagian

45,45%

3

Salah semua

9,09%

4

Tidak selesai dan salah semua

Tingkat keberhasilan pada siklus III yaitu 45,45% + 45,45% = 90,90%. Hasil ini menunjukkan bahwa ketuntasan belajar mencapai 90,90 yang tuntas belajar. Hasil ini menunjukkan bahwa pada siklus III ini ketuntasan belajar secara klasikal telah tercapai. Adanya peningkatan hasil belajar siswa pada siklus III ini sangat dipengaruhi oleh adanya peningkatan kemampuan guru dalam menerapkan belajar aktif dalam media pembelajaran Discovery learning sehingga siswa menjadi lebih terbiasa dengan pembelajaran ini, dan lebih mudah memahami materi yang diberikan.

Berikut melalui tahap refleksi. Pada tahap ini banyak dikaji tentang apa yang telah terlaksana dengan baik maupun yang masih kurang baik dalam proses pembelajaran dengan penerapan belajar model Discovery Learning. Dari data-data yang telah diperoleh dapat diuraikan. Selama proses pembelajaran, guru telah melaksanakan semua proses belajar dan mengajar dengan baik. Meskipun ada beberapa aspek yang belum sempurna, tetapi persentase pelaksanaan untuk masing-masing ranah cukup besar. Berdasarkan data hasil pengamatan diketahui bahwa siswa aktif selama proses pembelajaran berlangsung. Kekurangan atau kelemahan pada siklus-siklus sebelumnya sudah mengalami perbaikan dan peningkatan sehingga tercatat menjadi lebih baik.

Revisi Pelaksanaan siklus III, guru telah menerapkan model pembelajaran Discovery Learning dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas siswa serta hasil belajar dalam pelaksanaan proses pembelajaran sudah berjalan dengan baik. Maka tidak diperlukan adanya revisi yang terlalu banyak, tetapi yang perlu diperhatikan untuk tindakan selanjutnya adalah memaksimalkan dan mepertahankan apa yang telah ada dengan tujuan agar pada pelaksanaan proses pembelajaran selanjutnya penerapan belajar model Discovery Learning dapat meningkatkan proses belajar mengajar sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

PEMBAHASAN

Ketuntasan Hasil belajar siswa. Melalui hasil penelitian ini dengan jelas menunjukkan bahwa cara belajar aktif model pengajaran Discovery Learning memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari semakin mantapnya pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan guru (ketuntasan belajar meningkat dari siklus I, II, dan III) yaitu masing-masing 63,54%, 81,81%, dan 90,90%. Pada siklus III ketuntasan belajar siswa secara klasikal telah tercapai. Kemampuan Guru dalam Mengelola Pembelajaran Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa dalam proses keaktifan belajar melalui model pembelajaran Discovery Learning dalam setiap siklus mengalami peningkatan. Hal ini berdampak positif terhadap prestasi belajar siswa yaitu dapat ditunjukkan dengan meningkatnya nilai rata-rata siswa pada setiap siklus.

SIMPULAN

Kemampuan memahami tentang peran Roh Kudus sebagain daya hidup setiap orang dalam mengembangkan hidup bersama sebagai murid-murid Yesus dapat ditingkatkan dengan cara belajar secara aktif melalui model pembelajaran Discovery Learning (DL). Memahami dan mempelajari peran Roh Kudus adalah bukan hal yang mudah, oleh karena itu pembelajarannya perlu dilakukan secara berulang ulang. Pembelajaran dengan cara belajar aktif melalui model pembelajaran Discovery Learning memiliki dampak positif dalam meningkatkan hasil belajar siswa yang ditandai peningkatan ketuntasan belajar siswa dalam setiap siklus, yaitu siklus I (63,54%), siklus II (81,81%), siklus III (90,90%). Penerapan keaktifan belajar melalui model Discovery Learning mempunyai peran yang sangat positif.

Dengan model pembelajaran Discovery Learning yang mempunyai peran sangat positif, terbukti dapat meningkatkan motivasi belajar siswa yang ditunjukan dengan rata-rata jawaban siswa yang menyatakan bahwa siswa tertarik dan berminat dengan model pembelajaran Discovery learning sehingga mereka menjadi termotivasi untuk belajar yang lebih baik. Untuk melaksanakan belajar aktif, memerlukan persiapan yang cukup matang, sehingga guru menentukan atau memilih topik yang benar-benar bisa diterapkan dengan cara belajar aktif model Discovery Learning dalam proses kegiatan pembelajaran sehingga diperoleh hasil optimal. Dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa, guru hendaknya sering melatih siswa dengan kegiatan penemuan, walaupun taraf sederhana, dimana siswa nantinya dapat menemukan pengetahuan baru, memperoleh konsep dan keterampilan, sehingga siswa berhasil atau mampu memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Hamzah, Muhlisrarini. 2004. Perencanan dan Strategi Pembelajaran Matematika. Jakarta: Rajawali Pers.

Alwi     Idrus.    2014.     Panduan      Implementasi Kurikulum 2013 untuk pendidik dan tenaga Pendidikan. Jakarta: Saraz Publishing.

Anisah Basleman, 2011, Teori Belajar Orang Dewasa, Bandung: Remaja Rosdakarya

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur PenelitianSuatu Pendekatan Praktek. Bandung: Reneksa Cipta.

Cahyo, Agus. N. 2013. Panduan Aplikasi teori-teori Belajar Mengajar Teraktual dan terpopuler. Jogjakarta: Diva Press.

Harisiati, Titik. 1999. Penelitian Tindakan Sebagai Aplikasi Metode Ilmiah dan Pemecahan Masalah            Pembelajaran bahasa Dalam Seminar FPBS IKIP Malang.

Heuken, P.A. S.J. 1975. Ensiklopedia Populer tentang Gereja. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

Komisi Kateketik KWI.2004.Persekutuan Murid-Murid Yesus PAK Untuk SMP Buku siswa, A dan B. Yogyakarta: Kanisius