Panggilan Gereja Dalam Konteks Masyarakat Lokal
PANGGILAN GEREJA DALAM KONTEKS MASYARAKAT LOKAL
(REFLEKSI TEOLOGIS PANGGILAN GEREJA
TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT)
DI SULAWESI SELATAN, KHUSUSNYA
DI DAERAH KABUPATEN GOWA
Atok Saramang
Mahasiswa Program Doktoral Teologi STT Ikat Jakarta
ABSTRACT
Studies or research on the Church’s Vocation in the Context of Local Communities will be studied and reviewed in terms of the theological reflection of the church’s vocation to community life. The church’s vocation in community life will certainly face the cultural values that exist and apply in society. Based on such facts, how should the church carry out its vocation in the context of a society with cultural values that are still lived out by a group of people? What is meant by cultural values here and which will be examined in this paper is the cultural value of Siri ‘na Pacce. A topic similar to this has been written, but has undergone changes, namely “The value of siri culture” with “Ethical-Theological Studies to Build Contextual Theology”. This change is made to answer or at least to motivate the church in carrying out its duties and vocation in the midst of life and life problems faced by society and the church today. The topic of siri cultural values with Ethical-Theological studies to Build Contextual Theology has never been published or entered in a journal. This paper discusses the vocation of the church in the context of the local community in relation to the life of the community where the Church is present and stands. It also discusses one of the elements of culture that is still valid in the local community as the target or place of embodiment of the church vocation. In this paper, we briefly mention poverty and briefly discuss the forms related to the Church’s vocation in the context of local communities, which are also seen as a manifestation of love, justice and peace that comes from the side of the Lord Jesus as the head and the owner of the Church. Thus, the church is present and stands to carry and declare the signs of the Kingdom of God in the world, as its duty and calling. the calling of the church (South Sulawesi Christian Church – GKSS) for the community. The writing here is maximal, in which the study and tracing of the cultural values of the Makassar tribe are not fully covered. What is studied only concerns the positive cultural values of siri na pacce, in relation to the church’s vocation in the context of local society, namely honesty, justice and truth and respecting and upholding human dignity, and that too is only part of the values of siri. na pacce that had existed in the Makassar community. It is hoped that what is stated in this paper can help in the implementation of vocational duties and church services in the future, especially for the Christian Church of South Sulawesi which carries out its vocation in ministry among the people of Makassar (including in the Bugis area and in the Archipelago. Selayar), especially those in rural/remote areas. It is also expected to provide motivation to uphold and position the cultural values of siri na pacce in their place, namely upholding human dignity by prioritizing justice, honesty, and truth as well as being tenacious and diligent in working/doing business with a high sense of solidarity with faced by fellow creatures. From this understanding of the cultural values of siri na pacce, the actions or deeds of Christians can become role models (light and salt) for the surrounding community. So that the existence of the church (Christians) is no stranger to the society it is in. Hopefully there are benefits.
Keywords: Context of Local Communities
ABSTRAK
Studi atau penelitian mengenai Panggilan Gereja dalam Konteks Masyarakat Lokal akan dikaji dan ditinjau dari segi Refleksi teologis panggilan gereja terhadap kehidupan masyarakat. Panggilan gereja dalam kehidupan masyarakat tentu akan berhadapan dengan nilai-nilai budaya yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan kenyataan seperti itu, maka bagaimana seyogyanya gereja melaksanakan panggilannya dalam konteks masyarakat dengan nilai-nilai budaya yang masih dihidupi oleh suatu kelompok masyarakat? Yang dimaksud nilai-nilai budaya di sini dan yang akan dikaji dalam paper ini adalah nilai budaya Siri’ na Pacce. Topik yang mirip dengan ini pernah ditulis, namun mengalami dilakukan perubahan, yaitu ”Nilai budaya siri” dengan ”Kajian Etis-Teologis Untuk Membangun Teologi Kontekstual”. Perubahan ini dilakukan untuk menjawab atau paling tidak dapat memotivasi gereja dalam melaksanakan tugas dan panggilannya di tengah-tengah kehidupan dan permasalahan hidup yang dihadapi pleh masyarakat dan gereja saat ini. Topik Nilai budaya siri dengan kajian Etis-Teologis Untuk Membangun Teologi Kontekstual belum pernah dipublikasikan atau masuk dalam jurnal. Paper ini membahas mengenai panggilan gereja dalam konteks masyarakat lokal dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat di mana Gereja hadir dan berpijak, juga dibahas mengenai salah satu unsur dari budaya yang masih berlaku dalam masyarakat setempat sebagai sasaran atau tempat perwujudan panggilan gereja. Dalam paper ini, sepintas disinggung mengenai kemiskinan dan membahas sepintas bentuk-bentuk yang berkaitan dengan panggilan Gereja dalam konteks masyarakat lokal ini, juga dipandang sebagai perwujudan cinta kasih, keadilan dan damai sejahtera yang datangnya dari pihak Tuhan Yesus selaku kepala dan Yang Empunya Gereja. Dengan demikian, gereja hadir dan berpijak untuk membawa dan menyatakan tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia, sebagai tugas dan panggilannya. panggilan gereja (Gereja Kristen Sulawesi Selatan – GKSS) bagi masyarakat. Tulisan yang ada di sini sudah maksimal, di mana kajian dan penelusuran mengenai nilai-nilai budaya suku Makassar tidak tercakup semua. Yang dikaji hanya menyangkut nilai-nilai budaya siri na pacce yang positif, dalam hubungannya dengan panggilan gereja dalam konteks masyarakat lokal, yaitu kejujuran, keadilan, dan kebenaran serta menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, dan itupun hanya sebagian dari nilai-nilai siri na pacce yang pernah ada di kalangan masyarakat Makassar. Diharapkan bahwa apa yang tertuang di dalam tulisan ini dapat membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas panggilan dan pelayanan gereja ke depan, khususnya bagi Gereja Kristen Sulawesi Selatan yang melaksanakan tugas panggilannya dalam pelayanan di tengah-tengah masyarakat Makassar (termasuk di daerah Bugis dan di daerah Kepulauan Selayar), terlebih lagi yang berada di pedalaman/pedesaan. Juga diharapkan dapat memberi motivasi untuk menegakkan serta memposisikan nilai budaya siri na pacce pada tempatnya, yaitu menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dengan mengedepankan keadilan, kejujuran, dan kebenaran serta ulet dan tekun dalam bekerja/berusaha dengan rasa solidaritas yang tinggi terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh sesama ciptaan. Dari pemahaman mengenai nilai-nilai budaya siri na pacce ini, maka tindakan atau perbuatan umat kristiani dapat menjadi teladan (terang dan garam) bagi masyarakat sekitarnya. Sehingga keberadaan gereja (umat Kristen) tidak asing dari masyarakat dia berada. Semoga ada manfaatnya.
Kata Kunci: Panggilan Gereja dalam Konteks Masyarakat Lokal
Pendahuluan
Latar Penelitian
Gereja adalah persekutuan ”umat yang percaya kepada Yesus Kristus”. Gereja yang terpanggil untuk menyaksikan, kepedulian, kebaikan, dan cinta kasih Tuhan di mana pun berada adalah juga merupakan warga masyarakat setempat yang tidak dapat dapat dipisahkan. Dalam keberadaannya sebagai warga masyarakat, Gereja ”umat yang percaya kepada yesus Kristus” tidak dapat terlepas dari ikatan budaya dan kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat tersebut.Gereja juga turut mengalami dan merasakan sesuai apa yang dialami dan dirasakan oleh warga masyarakat lainnya sebagai sesama warga yang hidup bersama. Berdasarkan dari kenyataan yang demikian, maka Gereja dalam kesadarannya dapat berperan mengambil bagian sebagai tugas dan tanggungjawab serta panggilannya untuk mengembankan kehidupan masyarakatnya. Namun disadari bahwa, untuk mengemban tugas dan tanggungjawab serta panggilan di tengah-tengah masyarakat, bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi sebagai kelompok kecil yang berada didalam masyarakat. Sebagaimana kesaksian kitab Suci dalam Injil Lukas 10:3 ”Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala”. Gereja dipanggil dan diutus ke tengah-tengah masyarakat untuk memberitakan sukcita, yaitu tentang pembebasan bagi orang miskin dan tertindas serta bagi mereka yang terpinggirkan dan tidak dianggap sebagai manusia. Gereja tidak dapat melepaskan diri dari tugas dan tanggungjawabnya serta panggilannya dari Tuhan. Demikian juga kesaksian Kitab Suci dalam Injil Matius 5:13-14, ”Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang? Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.” Garam dapat memberi rasa pada makanan dan terang sekcil apap pun menjadi sangat berguna dalam kegelapan. Berdasarkan dari kedua kesaksian Kitab Suci di atas, nyata bahwa walau pun gereja merupakan kelompok kecil dalam masyarakat, perlu disadari bahwa justeru dalam keadaan demikianlah, Gereja dapat menjadi garam dan terang bagi masyarakatnya, Gereja dapat menyatakan cinta kasih Tuhan kepada semua orang, yaitu dengan mewujudkan kedamaian, meningkatkan sosial ekonomi dan memperjuangkan keadilan serta kelestarian lingkungan hidup, melalui mendengar dan melihat jeritan dan rintihan umat manusia atas ketidakadilan dan atas kemiskinan serta atas kerusakan lingkungan.
Sesuai dengan judul dari tulisan ini, maka penulis akan melihat apa itu gereja, dan bagaimana Panggilan Gereja Dalam Konteks Masyarakat Lokal yang bersangkut paut dengan panggilan dan partisipasi Gereja sebagai kelanjutan pengembangan misi Allah di dunia ini, khususnya di mana warga gereja hadir di daerah pedalaman Kabupaten Gowa.
Pembatasan Masalah
Sesuai dengan judul penelitian dan latar belakang masalah, maka batasan dalam penelitian ini adalah Panggilan gereja dalam konteks masyarakat lokal di daerah Kabupaten Gowa, 1975 – 2020. Pemikiran-pemikiran dalam penelitian ini, dibatasi pada apa yang telah dilaksanakan oleh gereja dan apa yang masih perlu dilaksanakan oleh gereja dalam keberadaannya yang bersentuhan dengan nilai-nilai budaya sebagai konteks untuk mewujudkan panggilannya.
Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang dikemukakan sebagai berikut: Bagaimanakah perwujudan panggilan gereja dalam konteks masyarakat lokal di daerah Kabupaten Gowa (studi pada warga jemaat sebagai warga msyarakat di pedalaman Kabupaten Gowa 1975 – 2020?
Tujuan dan Manfaat
Tujuan Penelitian
Atas pencapaian tujuan teoritis di atas, maka ingin dipergunakan sebagai kajian untuk mencapai maksud dan tujuan dalam menata kehidupan yang lebih baik, adil dan sejahtera, oleh karena itu, maksud dan tujuan penelitian ini adalah:
- Disadari bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, muncul suatu gagasan kesadaran atau keinginan yang besar dalam kalangan gereja (GKSS = Gereja Kristen Sulawesi Sleatan) untuk menggali nilai-nilai budaya lokal, dalam rangka upaya untuk pembinaan dan motivasi bagi warga gereja/jemaat, sehingga keberadaan gereja yang menyatakan panggilannya tidaklah terasing bagi masyarakatnya dan juga tidak berbenturan dengan nilai-nilai budaya yang ada, yaitu Siri’ na Pacce.
- Menggali dan menelusuri nilai-nilai budaya Siri’ na Pacce yang ada dan yang dapat dengan mendorong semangat untuk pelaksanaan panggilan gereja dalam konteks masyarakat.
- Memberikan pembinaan bagi warga gereja, khususnya Warga GKSS agar dapat memahami kaitan Nilai-nilai Budaya Siri’ na Pacce dengan tugas dan panggilan gereja..
- Memberi sumbangan pemikiran teoritis berkenaan dengan nilai-nilai budaya lokal (Siri’ na Pacce), yang sesuai pelaksanaan panggilan gereja dalam konteks masyarakat setempat.
- Memberikan sumbangan pemikiran teoritis mengenai penghayatan panggilan gereja dalam konteks masyarakat lokal.
- Penelitian ini merupakan alat untuk menerangi bentuk-bentuk keburukan sosial dalam hubungan pelaksanaan panggilan gereja dalam konteks masyarakat lokal, sehingga tidak menodai nilai-nilai budaya yang ada, serta membuka dan menerangi struktur-struktur atau sistem-sistem sosial yang membelenggu atau yang menghalangi berfungsinya gereja dalam melaksanakan panggilannya di tengah-tengah masyarakat.
Manfaat Penelitian: hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan sebagai:
Akademik
- Dapat dipergunakan sebagai bahan rujukan untuk penulisan karya ilmiah yang ada hubungannya dengan tugas panggilan gereja di daerah Makassar.
- Dapat dipergunakan sebagai bahan pembanding bagi penelitian yang serupa.
- Dapat dipergunakan untuk kepentingan penghayatan nilai-nilai budaya Siri’ na Pacce yang ada di dalam masyarakat Makassar.
Bagi Gereja (GKSS)
- Dari pemahaman mengenai nilai-nilai dan fungsi nilai-nilai budaya Siri’ na Pacce dalam kehidupannya sebagai warga gereja dan masyarakat dapat terdorong, dan termotivasi ke arah sumber pembangkitan tenaga dan membanting tulang bekerja sekuat tenaga untuk sesuatu pekerjaan atau usaha yang dapat mensejahterakan hidupnya dan juga bagi orang lain.
- Melalui hasil penelitian ini maka seluruh warga gereja/jemaat GKSS di semua jenjang, yaitu sebagai warga jemaat/gereja awam, sebagai pemimpin di jemaat (Pendeta, Penatua, dan Diaken), di Klasis, dan di Sinode senantiasa dapat menyatakan panggilannya yang sesuai dengan nilai-nilai budaya Siri’ na Pacce, baik dalam kepemimpinannya, yaitu melakukan hal-hal yang benar/baik, jujur, dan adil serta peduli terhadap kebutuhan sesama dan lingkungan hidup. Melalui tindakan dan sikap yang seperti itu gereja tidak terasing dari konteksnya dan bahkan dapat menjalankan tugas panggilannya dan saksi Kristus yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini adalah pada lingkup pelayanan GKSS yang mayoritas berada di pedalaman Sulawesi Selatan.
- Agar Gereja dalam rangka pelaksanaan panggilannya (memberitakan Injil sebagai Kabar Baik) dapat mempergunakan unsur-unsur dari nilai-nilai budaya Siri’ na Pacce demi pengembangan dan pembangunan warga gereja khususnya dan masyarakat pada umumnya.
- Agar gereja dapat hidup bersama dan berdampingan, bekerja sama, membangun bersama di tempat yang sama dengan penganut-penganut agama lain, termasuk bagi mereka yang mempraktekkan kepercayaan dengan landasan budaya Siri’ na Pacce, sehingga persaudaraan yang harmonis sebagai suatu masyarakatdan sesama dapat mengalami ketenteraman dan damai sejahtera.
- Di samping itu, melalui penelitian ini menyadarkan tugas panggilan dan tanggungjawab kita sebagai warga gereja dan masyarakat yang terpanggil untuk melaksanakan misi Allah dalam konteks setempat, yaitu mendatangkan damai sejahtera dan ketenteraman bagi masyarakat demi terciptanya perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan, tanpa kehilangan kepribadian dan identitas diri sebagai umat Kristen yang adalah juga sekaligus warga masyarakat.
Kajian Pustaka
Sebelum mengemukakan kajian pustaka mengenai kebudayaan, nilai budaya siri’ na pace, serta panggilan gereja dalam konteks masyarakat, maka akan terlebih dahulu dikemukakan secara singkat mengenai keberadaan suku/etnis Makassar. Suku/etnis Makassar mendiami bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka tinggal di pedalaman, di dataran tinggi, dan juga di pinggir pantai atau pesisir. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Makassar. Sesuai penelitian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sulawesi Selatan (1982, 87) menyatakan bahwa, “suku Makassar salah satu dari keturunan Melayu Muda. Setelah mereka tiba dan menetap di Sulawesi Selatan ini membentuk kelompok-kelompok kaum yang mendiami wilayah-wilayah tertentu yang disebut borik atau pa’rassangang.” [1]
Dalam catatan diungkapkan pandangan dan pendapat dari beberapa ahli mengenai kehidupan sosial suku Makassar. Dalam kehidupan sosial Makassar dikenal Pangadakkang untuk bahasa Makassar. Pangadakkang atau hal ihwal tentang adat umumnya diartikan sebagai kaidah yang meliputi bagaimana harus bertingkah laku terhadap sesamanya manusia dalam arti kelembagaan masyarakat secara timbal balik dan yang menyebabkan adanya gerak dinamik masyarakat. Pangadakkang melekat pada hakekat martabat manusia, ia menjunjung tinggi persamaan dan kebijaksanaan dimana Pangadakkang mendapat kekuatannya dari siri’ na pacce itu adalah martabat dan harga diri manusia. Menurut A. Rahman Rahim (Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis 1992, 124), ”apabila adat dilanggar atau dinodai berarti melanggar/merusak kehidupan umat manusia bahkan alam sekitar, yang akibatnya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan tetapi juga oleh segenap anggota masyarakat.”[2] Siri’ na pacce (kehormatan dan harga diri serta kepedulian sosial) merupakan ciri khas orang Makassar. Siapapun yang mengganggu istri seseorang, maka dia menanggung akibat yang serius, yaitu dibunuh dan pihak lain seringkali tidak mau terlibat.
Kebudayaan.
Apa itu kebudayaan? Dari pertanyaan ini, maka diketahui bahwa kebudayaan adalah berasal dari kata ”budaya”. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ”budaya” diartikan sebagai pikiran, akal budi atau adat-istiadat. Sedangkang menurut Robert J. Schreiter, budaya adalah konteks konkret tempat hal ini terjadi. Ia mewakili cara hidup untuk suatu masa dan tempat tertentu, dipenuhi dengan nilai, lambang, dan makna, yang menjangkau harapan-harapan dan mimpi-mimpi, yang sering bergumul demi dunia yang lebih baik.”[3] Sedangkan ”budaya” merupakan salah satu kebiasaan cara hidup dalam suatu kelompok yang terus berkembang dan diwariskan dari generasi ke generasi.[4] yang berarti memperoloeh Pengertian kebudayaan secara umum merupakan jalan atau arah didalam bertindak dan berfikir untuk memenuhi kebutuhan hidup baik jasmani maupun rohani.[5] Kebudayaan merupakan suatu sistim yang terpadu dalam kehidupan suatu masyarakat trertentu dan di tempat yang tertentu pula. Kebudayaan bersangkut-paut dengan kepercayaan mengenai yang ilahi dan nilai-nilai mengenai apa yang benar, baik, indah, dan normatif serta juga dengan adat-istiadat. Dalam hal ini Ishak Ngeljaratan (2008) mengemukakan, bahwa: ”Nilai budaya, sebagai sebuah sistim nilai yang utuh, dapat bercorak rasional, moral, dan estetis serta berguna. Corak rasional menuntut kebenaran pesan secara obyektif. Corak moral atau etis menunjukkan nilai kebaikan moral budaya yang dikandung oleh pesan dalam kemasan komunikasi (Verbal dan non-verbal), yaitu daya tarik yang sesuai dengan nilai moral budaya dan agama. Corak estetis dapat dinyatakan sebagai nilai informasi atau pesan serta sikap atau pun perilaku yang menimbulkan rasa haru pesona di hati yang berdimensi kemanusiaan dan keadilan, serta rasa bahagia di hati mereka yang secara langsung atau tak langsung terkena pengaruhnya.”[6]
Kebudayaan dapat diperkatakan sebagai hal yang penting dari suatu suku/etnis atau bangsa yang bukan saja meliputi perorangan tetapi juga sebagai suatu kelompok sosial dalam masyarakat, bangsa dimana didalam peranannya memberi nilai-nilai, yaitu nilai-nilai yang berlaku untuk seluruh warga masyarakatnya. Kebudayaanlah yang dapat menjadi alat atau sarana pemersatu bagi mereka yang hidup didalamnya.
Nilai siri na pacce dalam kehidupan masyarakat Makassar.
Mengenai nilai budaya siri na pacce dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dan suku Makassar pada khususnya, dikemukakan pandangan dan pendapat dari beberapa penulis atau ahli sebagai karya-karya terdahulu.
Menurut Sugira Wahid (Manusia Makassar, 2008), falsafah hidup yang masyarakat suku Makassar pegang teguh, bahkan sering ditonjolkan secara emosional, dan rasa emosional ini biasanya dirangkai dalam kata-kata siri na pacce (sirik dan pacce, Mattulada, 1977). Di mana kata siri seperti yang telah diungkapkan, secara harafiah berarti malu, tetapi juga dapat berarti kehormatan. Rasa malu dan kehormatan ini ditanam dan dikembangkan dalam diri pribadi setiap anggotanya dalam kaitan dengan kehidupan keluarga (hubungan darah). Seseorang harus menjaga kehormatan dan nama baik keluarganya. Kata pacce yang secara harafiah berarti rasa pedih yang mempunyai nilai sendiri dan selalu mengiringi sikap siri. Dengan sikap hidup yang berdasarkan pacce ini, masyarakat Makassar mengembangkan sikap berperikemanusiaan dan solidaritas yang tinggi. Sikap kemanusiaan dan solidaritas dalam pandangan hidup yang terkandung dalam kata pacce ini tidak terbatas hanya kepada sesama manusia saja, tetapi juga kepada seluruh makhluk. Keserasian atas sikap siri dengan sikap pacce harus tercapai, saling mengisi antara keduanya, dan sewaktu-waktu berfungsi untuk menetralisir sikap yang terlalu ekstrem dari salah satunya.[7] Budaya siri’ na pacce mengandung nilai-nilai dalam rangka mengembangkan kehidupan sosial, yaitu mengangkat harkat dan martabat manusia serta peduli terhadap yang lainnya. Dengan demikian sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Ishak Ngeljaratan (2008) bahwa harus diintensifkan peningkatan kualitas manusia melalui pendidikan formal dan non-formal yang benar-benar berorientasi pada tuntutan dan tantangan masa depan, terutama melalui investasi sistim nilai budaya masyarakat yang terus menerus harus dicerahkan melalui investasi berbagai nilai rasional, moral, dan spiritual ke dalam hidup individu serta kelompok.”[8]
Panggilan Gereja dalam konteks masyarakat
Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian latar belakang di atas bahwa, Gereja adalah persekutuan ”umat yang percaya kepada Yesus Kristus”. Gereja terpanggil untuk menyaksikan kasih, kepedulian, kebaikan, dan kasih karunia Tuhan sebagai Kabar Baik di mana pun berada adalah juga merupakan warga masyarakat setempat yang tidak dapat dapat dipisahkan. Gereja sebagai umat yang menerima kasih karunia dari Allah, tidak terlepas dari kehidupan warga masyarakat yang lainnya. Gereja berada dalam dunia ini, di tengah-tengah masyarakat manusia.”[9]. Tidak terpisahkan, karena Gereja itu hidup dan bertindak dalam dan dengan masyarakat.”[10] Untuk itu, Gereja turut serta merasakan dan mengalami apa yang dirasakan dan dialami oleh masyarakat, yaitu kemiskinan, penderitaan, dan kemelaratan.
Menyaksikan Kabar Baik dari Yesus Kristus, Gereja tidak dapat terlepas dari ikatan budaya dan kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Gereja juga turut mengalami dan merasakan sesuai apa yang dialami dan dirasakan oleh warga masyarakat lainnya sebagai sesama warga yang hidup bersama, yaitu jeritan dan rintihan ketidakdilan dan kemiskinan. Berdasarkan dari kenyataan yang demikian inilah, Gereja dalam kesadarannya dapat melaksanakan panggilannya untuk mengembankan kehidupan masyarakatnya. Namun disadari bahwa, untuk mengemban tugas dan tanggungjawab serta panggilan di tengah-tengah masyarakat, bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi sebagai kelompok kecil yang berada didalam masyarakat. Dalam Dokumen 1 dan 8 (2011) dari World Council of Churches, Pontifical Council for Interreligious Dialogue, World Evangelical Alliance, menyatakan bahwa: Bertindak dalam kasih Allah dan saling menghormati dan solidaritas.[11] Gereja sebagai penerima dan pewaris kasih karunia adalah merupakan sumber dari segala cinta kasih Tuhan, dengannya Gereja dipanggil untuk berbagi sebagai rasa solidaritas untuk membangun dan mengembangkan masyarakat yang mengalami keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan, termasuk di dalamnya lingkungan hidup. Pendekatan-pendekatan ekologis dan materialis memusatkan penelitian-penelitiannya terhadap hubungan antara masyarakat dan lingkungan fisiknya. Pendekatan-pendekatan ekologis, seperti pendekatan Roy Rappaport, menekankan bagaimana kegiatan-kegiatan budaya tertentu berguna sebagai mekanisme homeostatis untuk mempertahankan keseimbangan masyarakat dengan lingkungan fisiknya.”[12]
Di sini, Gereja (GKSS) dalam mengaktualisasikan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat Makassar mau tidak mau harus menyatakan kebenaran, keadilan, kasih dan kejujuran yang juga terdapat dalam nilai-nilai siri na pacce sebagai budaya lokal yang masih mendominasi kehidupan masyarakat Makassar sampai dewasa ini (band. 2 Timotius 2:22, ”Sebab itu jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan suara hati yang murni”). Apa yang difirmankan oleh Tuhan dalam Alkitab tentang diri-Nya sendiri tak akan pernah berubah menjadi tidak benar. Firman Tuhan dalam Alkitab mengandung kaidah-kaidah atau norma-norma moral selalu berfungsi dalam suatu konteks kultural ruang dan waktu serta mengandung suatu unsur situasi tertentu dalam kehidupan masyarakat.
Metodologi Penelitian
Metode Penelitian Panggilan Gereja, dengan langkah langkah sebagai berikut.
Penelitian Kepustakaan/Arsip
Penelitian kepustakaan/arsip ini adalah merupakan pengumpulan berbagai sumber bahan yang dapat mendukung pencapaian maksud dan tujuan penelitian, khususnya penulisan studi ini.
Observasi/Pengamatan, dan wawancara
Metode penelitian ini adalah merupakan pengumpulan data-data yang faktual sebagai sumber bahan primer dalam rangka pencapaian maksud dan tujuan dari penelitian dan penulisan studi ini.
Pada tahap ini peneliti mengadakan pemilahan/klasifikasi atas sumber-sumber yang telah diperoleh sehingga dapat ditentukan sumber primer dan sumber sekunder.
Analisis Data
Dalam metode analisis data, terdapat beberapa komponen yang saling bertautan, yaitu mengenai pelaksanaan panggilan (misi) Gereja dalam konteks masyarakat lokal dengan nilai-nilai siri’ na pacce yang berpengaruh dalam kehidupan warga gereja, khususnya di Jemaat yang berada di daerah pedalaman Kabupaten Gowa. Oleh karena itu, pada tahap ini peneliti mengadakan pemilahan/klasifikasi atas sumber-sumber yang telah diperoleh sehingga dapat ditentukan sumber primer dan sumber sekunder.
Untuk itu, dalam analisis data disini yang dipergunakan adalah pendekatan-pendekatan dari berbagai pandangan serta sumber dan hasil-hasil telaah beberapa ahli serta dari beberapa sudut pandang disiplin ilmu yang berbeda, yaitu ilmu budaya, anthropologi, dan melalui observasi serta wawancara yang mengacu pada pengenalan obyek secara lebih dekat.
KEPUSTAKAAN
Arsip
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sulawesi Selatan. 1982.
Buku
- Rahman Rahim, Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Penerbit: Hasanuddin University Press. Cetakan ke 3.1992.
Adeney, Bernard T., Etika Sosial Lintas Budaya. Penerbit:Kanisius, tahun 2007.
Mattulada, 1982. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Penerbit: Bhakti Baru-Berita Utama.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Memberitakan Injil di tengah Masyarakat Majemuk, Tiga Dokumen Kontemporer Gerejawi. Penerbit: BPK Gunung Mulia, cetakan-1, tahun 2018.
Ngeljaratan, Ishak. Yang semakin hilang diantara kita. Penerbit: La Galigo Press-Makassar, tahun 2008.
Schillebeeckx, Edward, “Creative terugblik als inpiratie voor he ambt in de toekomst,” T.v.Th., 3, 1979 (dalam: Yan Sunyata, OSC, Pastor. Sebuah Tinjauan Kristis, Terobosan Baru Berteologi, Penerbit: Lamalera, tahun 2009, hlm. 75).
Schillebeeckx, Edward, Gerechtigheid en liefde, genade en bevrijding, Bloemendaal, 1977 (dalam: Schreiter, Robert J., C.PP.S., Rancang Bangun Teologi Lokal. Penerbit:BPK Gunung Mulia, 1996)
Schreiter, Robert J., C.PP.S., Rancang Bangun Teologi Lokal. Penerbit:BPK Gunung Mulia, 1996.
Wahid, Sugira, 2008. Manusia Makassar. (Penerbit: Refleksi-Makassar), cetakan kedua, tahun 2008.
Yan Sunyata, OSC, Pastor. Sebuah Tinjauan Kristis, Terobosan Baru Berteologi, Penerbit: Lamalera, tahun 2009.
Internet
Google, translate Inggeris – Indonesia
www.gurupendidikan.co.id.tugas Kebudayaan – Pengertian, Unsur, Bentuk, Wujud & Komponen.
brainly.co.id. jelaskan pengertian kebudayaan secara umum.
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sulawesi Selatan , tahun 1982, hlm. 87.
[2] A. Rahman Rahim, Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Penerbit: Hasanuddin University Press. Cetakan ke 3.1992 ,hlm. 124.
[3] Schreiter, Robert J., C.PP.S., Rancang Bangun Teologi Lokal. Penerbit:BPK Gunung Mulia, 1996. hlm. 37.
[4] www.gurupendidikan.co.id.tugas Kebudayaan – Pengertian, Unsur, Bentuk, Wujud & Komponen.
[5] brainly.co.id. jelaskan pengertian kebudayaan secara umum.
[6] Ngeljaratan, Ishak. Yang semakin hilang diantara kita. Penerbit: La Galigo Press-Makassar, tahun 2008, hlm. 30-31.
[7] Wahid,Sugira, Manusia Makassar. Penerbit: Refleksi-Makassar, cetakan kedua, tahun 2008, hlm. 28-29.
[8] Ngeljaratan, Ishak. 2008. Op. Cit, hlm. 217.
[9] Agustinus, Sermo 73,4,4:PL 38, 471-472 (dalam: Yan Sunyata, OSC, Pastor. Sebuah Tinjauan Kristis, Terobosan Baru Berteologi, Penerbit: Lamalera, tahun 2009, hlm. 75).
[10] Schillebeeckx, Edward, “Creative terugblik als inpiratie voor he ambt in de toekomst,” T.v.Th., 3, 1979, hlm. 288 (dalam: Yan Sunyata, OSC, Pastor. Sebuah Tinjauan Kristis, Terobosan Baru Berteologi, Penerbit: Lamalera, tahun 2009, hlm. 75).
[11] World Council of Churches, Pontifical Council for Interreligious Dialogue, World Evangelical Alliance, hlm. 1-3, persiapan Para peserta konsultasi ketiga (antar-Kristen) bertemu di Bangkok, Thailand, 25-28 Januari 2011 dan merampungkan dokumen ini.
[12] Roy Rappaport, Pigs for the Ancestors (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1968) adalah usaha yang menonjol dalam bidang ini. Lih. Juga tulisan-tulisan Rappaport yang belakangan tentang hubungan antara ritual dan lingkungan “The Sacred in Human Evolution,” Annual Review of ecology and Systematics 2, (1971) hlm. 23-44; “Ritual, Sanctity, and Cybernetics,” American Anthropologist 73 (1971), hlm. 59-76; “The Obvious Aspects of Ritual,” Canbridge Anthropology 2 (1974), hlm. 3-68, “Liturgies and Lies,” International Yearbook for the Sociology of Knowledge and Religion 10 (1976), hlm. 75-104. Sebuah esai yang lebih dahulu tentang program, lih. Ake Hultkrantz, “An Ecolocial Approach to Relgion,” Ethnos 31 (1966), hlm. 131-150. (dalam Schreiter, Robert J., C.PP.S., Rancang Bangun Teologi Lokal. Penerbit:BPK Gunung Mulia, 1996. hlm. 78).