PEMAKNAAN IBU BEKERJA TERHADAP LAYANAN DAYCARE

Ajeng Ayu Widiastuti

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

ABSTRAK

Daycare program is growing rapidly. It is triggered by the need for parents to leave their children while they work, especially the working mother. Data showed that in Salatiga, as a small town, has grown 20 childcare centers, which has had an operational permit. Daycare is a program designed for the children care, development, education and social welfare of 0-6 years old. The research finding that each of the subjects expressed that Daycare greatly helps them in their nurture and cares the children. Each subject interpret that Daycare is a great place for them to care for their children. Daycare is a place where their children could develop the ability of self-discipline, self-reliance, self-confidence and courage. In addition, Daycare is not just a place to leave their children, but the subjects stated that the caregivers in Daycare are helping their children to improve vocabulary and language, so that their children can communicate well in accordance with their development.

Keywords: daycare, working mother, children development, caregiver


PENGANTAR

Program layanan Daycare bukan suatu hal yang baru dalam dunia pengasuhan anak. Daycare merupakan salah satu program layanan Pendidikan Anak Usia Dini non formal yang berfokus pada pengasuhan anak. Program layanan Daycare berdiri dengan tujuan untuk memberikan layanan pada anak usia 0-6 tahun yang terpaksa ditinggal orangtuanya karena pekerjaan dan memberi pemenuhan hak anak untuk bertumbuh dan berkembang, serta memberi perlindungan, kasih sayang dan hak untuk berpartisipasi dalam lingkungan sosialnya (Direktorat PAUD, 2011). Selain itu, Scarr & Eisenberg (1993) menyatakan ada tiga tujuan penting dari Daycare yaitu, pengasuhan subtitusi bagi anak selama orangtuanya bekerja, program pendidikan untuk mengembang-kan emosional dan kognitif anak, dan intervensi untuk membantu anak dari keluarga tidak mampu.

Beriringan dengan waktu kebera-daan Daycare semakin berkembang terma-suk di Indonesia yang marak pada pertengahan abad 19. Hal ini membuat adanya pergeseran budaya Indonesia tentang pengasuhan anak yang kental dengan hubungan keluarga. Sebelumnya, orangtua lebih cenderung menitipkan anaknya pada keluarga atau kakek dan nenek selama mereka bekerja. Susilo (2005) menyatakan bahwa Daycare sebenarnya kurang sesuai dengan budaya Indonesia dimana orangtua akan merasa aman jika anak mereka dititipkan pada anggota keluarga atau pengasuh/baby sitter di rumah. Akan tetapi, berdasarkan wawancara penulis dengan beberapa orangtua, pada beberapa tahun terakhir, orangtua yang lebih suka menitipkan anaknya ke Daycare dengan alasan bahwa mereka tidak memiliki keluarga dekat atau tidak ingin merepotkan keluarga dekatnya.

“saya pendatang disini bu, ndak punya keluarga dan saya harus kerja dan ndak ada yang momong. Jadi saya titipkan disana (daycare)” (S1 – 3/5/14)

“ya ada sih neneknya disini, tapi saya ndak mau ngrepotin apalagi neneknya dah umur, kasian nanti.” (S2 – 5/5/14)

Program layanan Dayacare tidak hanya berkembang di kota besar. Hal tersebut terbukti dari data yang diperoleh dari Himpunan Pendidik Anak Usia Dini (HIMPAUDI) kota Salatiga. Mereka mencatat ada 20 layanan Daycare yang telah berdiri dan memiliki ijin operasional. Berdasarkan studi pendahuluan, perkembangan Daycare tersebut dipicu oleh permintaan dari orangtua, terutama ibu, yang harus bekerja dan tidak memiliki pengasuh di rumah.

“ya lebih enak kok bu, kalo saya titipkan dia disini (Dayacare). Soalnya saya harus kerja sampe sore. Disini ndak ada saudara yang bisa dititipin, trus bayar pembantu kan mahal bu sekarang. Mana mau cuma 400 ribu sebulan” (S3 – 6/5/14).

Keberadaan Daycare masih menjadi kajian serius dalam dunia pendidikan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Belsky tahun 1984 menemukan bahwa bayi yang menghabiskan rata-rata 20 jam per minggu dalam Dayacare pada tahun pertamanya, mengalami insecure attachment terhadap ibunya, dan mengalami peningkatan agresivitas, ketidaktaatan, dan kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial pada usia prasekolah atau sekolah dasar. Namun hal ini tidak terjadi pada anak yang dititipkan di Daycare pada usia 1 tahun keatas. Selain itu, Kagan (dalam Rini, 2002) menemukan bahwa anak-anak yang dititipkan di Daycare memiliki kapa-sitas intelektual, sosial dan emosional yang tidak jauh berbeda dengan anak yang di-asuh oleh orangtua atau pengasuh di ru-mah. Meskipun Daycare tersebut memiliki rasio perbandingan 1 pengasuh menangani 3 atau 4 anak.

Selain itu, beberapa kasus mengenai program pengasuhan anak ditemukan. Liputan6.com memberitakan bahwa ada anak yang meninggal karena terperangkap main rumah kayu di sebuah Daycare di Singapura karena pengasuhnya asyik bercengkerama lewat telepon dengan temannya. Selain itu, Kompasiana.com memberi-takan mengenai chlid abuse yang dilakukan oleh seorang pengasuh di Daycare Amerika kepada seorang bayi dengan menggun-cang-guncangkan tubuhnya sehingga bayi tersebut mengalami cidera otak permanen. Bagi Barbara Jones, Daycare merupakan pengalaman buruk baginya, karena ia merasa Daycare telah memperlakukan putrinya seperti seonggok barang yang sedang diitipkan begitu saja, sehingga ia memutuskan untuk berhenti bekerja dan memfokuskan diri untuk mengasuh putrinya (Santrock, 2006).

Akan tetapi, Ellen Smith yang setiap hari kerja jam 8 pagi mengantar Tanya, putrinya yang baru berusia 1 tahun ke Daycare karena ia harus meninggalkan Tanya untuk bekerja, dan pada jam 3 sore ia akan menjemput Tanya sepulang kerja. Hal ini berlangsung hingga Tanya memasuki masa prasekolah. Ellen merasakan manfaat yang baik dari Daycare yang selama ini menolongnya untuk mengasuh Tanya, karena anaknya berani tampil dan berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa yang ia temui. (Santrock, 2006).

Oleh sebab itu, penulis bermaksud untuk mengetahui pemaknaan orangtua terhadap program layanan Daycare. Hal ini didasarkan pada fakta bahawa semakin banyak orangtua tua yang menggunakan layanan Daycare. Penelitian ini memberikan batasan pada ibu bekerja yang menitipkan anaknya di Daycare yang lebih dari 1 tahun.

TINJAUAN PUSTAKA

Daycare

Daycare merupakan transformasi dalam dunia pendidikan anak usia dini. Day care merupakan istilah lain yang familiar digunakan untuk menyebut Tempat Penitipan Anak (TPA). Walaupun istilah yang digunakan adalah tempat penitipan, namun Daycare sangat kental sekali dengan program dan fasilitas yang disedia-kan untuk memberikan rasa nyaman pada anak. Selain itu, Daycare juga dirancang untuk membuat anak mampu meng-eksplorasi diri dan bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Scarr & Eisenberg (1993) menyatakan ada tiga tujuan penting dari Daycare yaitu, pengasuhan subtitusi bagi anak selama orangtuanya bekerja, program pendidikan untuk mengembangkan emosional dan kognitif anak, dan intervensi untuk membantu anak dari keluarga tidak mampu.

Pada awalnya, Day care merupa-kan tempat penitipan yang dikhususkan bagi anak dibawah usia 3 tahun, namun tak jarang orangtua menitipkan anaknya yang hingga usia 6 tahun. Namun Kagan (dalam Susilo, 2005) menyatakan bahwa umumnya anak usia 4 bulan hingga 29 bulan yang dapat dititipkan ke Daycare, karena pada usia 2,5 tahun hingga 3 tahun umumnya anak sudah memasuki praseko-lah. Akan tetapi, rata-rata anak yang sudah masuk prasekolah tetap mengikuti program Daycare di tempat yang sama, karena prasekolah tersebut juga memiliki layanan penitipan anak sekaligus.

Secara ekonomi ada dua pola yang diberikan dalam Daycare pada anak sangatlah beraneka ragam. Menurut Santrock (2006), ada beberapa Daycare yang memi-lih menempatkan sekelompok besar anak dalam sebuah rumah dengan fasilitas yang memadai dengan menawarkan jasa secara komersial, tetapi ada pula yang tidak mematok laba dan biasanya dikelola oleh rumah ibadah, kelompok masyarakat, pengusaha, atau bahkan dikelola oleh ibu-ibu yang ingin memiliki penghasilan tam-bahan.

Tujuan Daycare menurut Direktorat PAUD (2011)

a. Memberikan layanan kepada anak usia 0-6 bulan yang terpaksa ditinggal orang tua karena pekerjaan atau halangan lainnya.

b. Memberikan layanan yang terkait dengan pemenuhan hak-hak anak un-tuk tumbuh dan berkembang, menda-patkan perlindungan dan kasih sayang, serta hak untuk berpartisipasi dalam lingkungan sosialnya.

Prinsip layanan Daycare:

a. Berorientasi pada kebutuhan anak

b. Sesuai dengan perkembangan anak

c. Sesuai dengan keunikan setiap individu

d. Kegiatan belajar dilakukan melalui ber-main

e. Anak belajar dari yang konkrit ke abstrak, dari yang sederhan ake yang kompleks, dari gerakan ke verbal, dan dari diri sendiri ke sosial

f. Anak sebagai pembelajar aktif

g. Anak belajar melalui interaksi sosial

h. Menyediakan lingkungan yang mendu-kung proses belajar

i. Merangsang munculnya kreativitas dan inovatif

j. Mengembangkan kecakapan hidup anak

k. Menggunakan berbagai sumber dan media belajar yang ada di lingkungan sekitar

l. Anak belajar sesuai dengan kondisi sosial budayanya

m. Melibatkan peran serta orangtua yang bekerja sama dengan para pendidik di lembaga PAUD

n. Stimulasi pendidikan bersifat menyelu-ruh yang mencangkup semua aspek perkembangan

Selain itu, Daycare harus ada la-yanan kesehatan dan gizi juga adanya tempat belajar, sarana dan prasarana belajar seperti gedung dan ruangan yang disesuaikan dengan jumlah anak. Selain hal tersebut perlu juga alat permainan untuk anak, alat permainan ini ada di dalam dan di luar ruangan. Terdapat juga media pem-belajaran yang dapat digunakan oleh anak, adapun syarat-syarat media pembelajaran tersebut agar dapat digunakan oleh anak, antara lain:

a. Tidak beracun

b. Tidak menyebabkan iritasi pada kulit anak (gatal-gatal)

c. Tidak mengandung bahan kimia tinggi

Adapun Asosiasi Nasional bagi Pendidikan Anak-anak Kecil (1986) telah merekomendasikan referensi kualitas day care yang harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Pengasuh dewasa

Menikmati dan menguasai tumbuh kembang anak

Cukup dewasa untuk bekerja da-lam 1 kelompok dalam mengurus kebutuhan anak

Satu pengasuh tidak boleh lebih dari 4 anak

Pengasuh harus mengamati dan mencatat semua kemajuan dan perkembangan anak

2. Kegiatan dan perlengkapan program

Lingkungan harus mempermudah pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga mereka dapat bermain dan bekerja bersama-sama

Day care menyediakan permainan dan perlengkapan yang aman dan memadai sehingga selalu siap untuk digunakan

Anak harus ditolong untuk mening-katkan ketrampilan bahasa dan memperluas pemahaman mereka tentang dunia luar sekitarnya.

3. Relasi staff pengasuh dengan keluarga dan masyarakat

Program harus memperhatikan dan mendukung kebutuhan keluarga. Orangtua dipersilahkan untk meng-amati, mendiskusikan kebijakan, mengajukan saran.

Staff harus berbagi informasi ten-tang kesempatan untuk melakukan rekreasi dan pembelajaran dalam lingkungan pada keluarga

4. Fasilitas dan program

Kesehatan anak, staff pengasuh dan orangtua harus dilindungi dan ditingkatkan. Staff pengasuh harus waspada terhadap kesehatan setiap anak

Fasilitas harus aman bagi anak dan orang dewasa

Lingkungan harus cukup untuk menampung berbagai kegiatan dan perlengkapan.

METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian mengguna-kan pendekatan kualitatif guna memahami pemaknaan subyek terhadap layanan Daycare secara menyeluruh dan dideskrip-sikan dalam kata-kata dan bahasa pada konteks yang khusus dengan memanfaat-kan berbagai metode ilmiah. Adapun metode yang digunakan adalah metode fenomenologi dengan teknik analisis data Modification of the Stevick-Collaizzi-Keen Method dari Moustakas (1994).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHAS-AN

Pada hakikatnya Daycare merupa-kan sebuah program/lembaga yang dita-warkan untuk menolong para orangtua dalam mengasuh anak mereka selama mereka bekerja atau sedang dalam kesi-bukan sehingga tidak dapat merawat anak untuk sementara waktu. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian ada beberapa faktor yang membuat orangtua memilih layanan Daycare untuk membantu mereka dalam mengasuh anak.

1. Faktor Kepercayaan

Berdasarkan wawancara pada ketiga subyek ditemukan bahwa ketiganya merasa lebih nyaman dan percaya menitipkan anak mereka di Daycare. Subyek pertama menyatakan bahwa ia memiliki keluarga dekat dalam satu kota namun ia tetap memilih Daycare untuk menitipkan anaknya karena rasa sungkan dan tidak mau merepotkan keluarganya. Ia beranggapan bahwa keluarganya pasti memiliki kesibukan dan kebutuhan sendiri, sehingga ia merasa akan menjadi beban jika harus menitipkan anaknya kepada keluarga. Selain itu, subyek merasa takut bila keluarganya tidak fokus menjaga anaknya karena memang bukan itu pekerjaannya. Kegiatan sudah terjadwal setiap hari seperti makan, tidur, dan bermain membuat anak ia merasa tenang karena ritme anak jelas. Oleh sebab itu, subyek pertama merasa bahwa Daycare adalah tempat yang tepat untuk membantu mengasuh anaknya, karena pengasuh Daycare akan fokus karena itu memang pekerjaan mereka.

Subyek kedua memiliki pengalam-an yang buruk dengan pengasuh di rumah (helper). Pengasuh yang ia pekerjakan tidak fokus dalam mengasuh anaknya. Pengasuh tersebut masih muda dan suka bermain handphone. Pengasuh tersebut banyak beintraksi dengan HP ketimbang memperhatikan anaknya. Subyek kedua merasa sudah mengeluarkan banyak uang untuk mempekerjakan pengasuh di rumah tetapi tidak serius merawat anaknya. Oleh karena itu lebih baik ia menitipkan anaknya ke Daycare yang dapat memperhatikan anaknya dan membantu anaknya untuk berkembang terutama dalam perkembang-an bahasa. Ia tidak takut mengeluarkan dana lebih untuk Daycare karena ia melihat perubahan yang positif pada diri anaknya.

Subyek ketiga menjelaskan bahwa ia tidak memiliki keluarga dekat di sekitar kota dan tidak memiliki pengalaman dengan pengasuh di rumah, namun ia banyak mendengar berita negatif tentang pengasuh. Oleh karena itu ia memilih layanan Daycare untuk membantunya. Sebenarnya ia ingin mengasuh anaknya sendiri namun ia harus bekerja. Ini menjadi dilema dalam dirinya ketika harus memutuskan tetap bekerja atau resign agar bisa mengasuh anak. Ia memiliki suami yang bekerja, namun kebutuhan rumah tangga yang membuat ia harus tetap bekerja. Di sisi lain ia tidak ingin anaknya terlantar selama ia bekerja. Oleh sebab itu, itu memutuskan untuk menitipkan anaknya ke Daycare atas dasar rekomendasi teman yang sudah memiliki pengalaman. Setelah ia menitipkan anak-nya selama beberapa minggu, ia melihat bahwa anaknya semakin percaya diri, kosakata semakin banyak dan memiliki teman yang banyak. Hal tersebut membu-atnya merasa nyaman menitipkan anaknya ke Daycare tanpa harus berhenti bekerja.

2. Faktor Kedisiplinan dan Kemandi-rian

Subyek pertama menyatakan ia menitipkan anaknya sejak usia 9 bulan, dan sekarang usia anaknya 3 tahun. Anaknya sangat susah makan ketika berada di rumah. Akan tetapi sejak berada di Daycare, anaknya mau makan dan memiliki jam yang teratur untuk makan. Selain itu, anaknya mulai belajar makan sendiri tanpa harus disuap dan itupun anak yang meminta untuk makan sendiri.

Subyek kedua menuturkan bahwa sejak usia 2 tahun ia menitipkan anaknya ke Daycare dan sekarang usia anaknya 3 tahun. Subyek melihat anaknya sudah bisa makan sendiri meskipun masih berantakan dan merapikan barang mainannya sendiri. Apabila sebelumnya bersama pengasuh di rumah, anaknya tidak memiliki jam tidur yang teratur karena anak lebih suka menghabiskan waktu dengan bermain. Namun, sejak berada di Daycare, anaknya memiliki jam tidur yang teratur dan hal tersebut berpengaruh pada jam tidurnya di rumah.

Subyek ketiga melihat bahwa anaknya dapat belajar untuk berpakaian sendiri setelah selesai mandi, memakai minyak telon dan bedak sendiri serta merapikan peralatan tersebut pada tempatnya. Anaknya juga tidak rewel lagi ketika harus mandi sejak berada di Daycare. Subyek menitipkan anaknya sejak usia satu tahun dan sekarang usia anaknya sudah 2 tahun.

Hal tersebut dapat dimaknai bahwa layanan Daycare dapat membantu para subyek untuk mengembangkan perilaku mandiri dan disiplin dalam diri anak-anak mereka.

3. Faktor Perkembangan Sosial dan Bahasa

Memiliki teman sepermainan men-jadi salah satu hal yang penting bagi subyek pertama. Hal tersebut juga menjadi pertimbangan mengapa ia memasukkan anaknya ke Daycare. Baginya, anak belajar untuk berbagi mainan dengan teman yang lain. Mereka dapat bermain bersama, meskipun terkadang ada kalanya mereka saling berebut mainan. Baginya, itu merupakan hal yang biasa karena pengasuh dapat mengatasinya dan dari situ anak belajar untuk berbagi. Melalui berma-in, anaknya belajar untuk berbicara dan berkomunikasi dengan teman sebayanya. Hal ini membuat anaknya berani meng-ungkapkan apa yang rasakan.

Berjumpa dnegan orang asing adalah hal yang ditakuti oleh anak dari subyek kedua. Oleh sebab itu, anaknya menjadi cengeng dan takut pada orang lain. Oleh karena itu ketika pertama kali masuk Daycare, anaknya menangis, tetapi satu minggu kemudian anaknya tidak menunjukkan perilaku tersebut. Malahan, anaknya yang selalu meminta subyek untuk segera mengantarnya ke Daycare ketika subyek hendak bekerja. Selain itu, ketika ada tamu berkunjung ke rumah, anaknya berani memperkenalkan diri. Pada awalnya subyek merasa khawatir jika anaknya terlambat bicara, namun sejak berada di Daycare, selain berani, anaknya mulai memiliki banyak kosakata dan suka bernyanyi.

Subyek ketiga merasa anaknya tidak kesepian karena memiliki banyak teman ketika berada di Daycare. Anak mulai banyak belajar meniru hal-hal positif dari teman dan pengasuhnya, seperti cara dan gaya bernyanyi, kosakata bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan sopan. Selain itu, permainan yang diguna-kan adalah jenis permainan yang edukatif, sehingga anaknya dapat belajar bermain peran melalui permainan tersebut, seperti bermain masak-masakan.

Temuan tersebut menujukkan bah-wa Daycare dapat meningkatkan keberani-an untuk berjumpa dengan orang asing dan berkomunikasi, rasa percaya diri dan rasa berbagi. Selain itu, kosakata anak meningkat melalui metode bernyanyi dan bermain dengan teman-temannya.

Temuan-temuan yang telah diurai-kan tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Jay Belsky sejak tahun 1980an. Belksy (dalam Santrock, 2006) menyatakan bahwa ia tidak hanya yakin akan kualitas Daycare yang buruk, namun ia juga yakin bahwa Daycare dapat menghasilkan perkem-bangan yang negatif bagi anak-anak. Pada tahun 1989 Belksy melakukan penelitian pada orang Amerika Serikat dan menyim-pulkan bahwa pengalaman Daycare yang ekstensif selama 12 bulan pertama kehi-dupan akan banyak diasosiasikan dengan kelekatan tidak aman dan meningkatnya agresi, ketidakpatuhan, dan kemungkinan penarikan diri secara sosial (social withdrawal).

Penelitian Belsky ini didukung oleh Vandell & Corasaniti (dalam Santrock, 2006). Daycare yang ekstensif pada tahun pertama kehidupan diasosiasikan pada per-kembangan negatif jangka panjang. Anak yang memulai Daycare sejak dini dengan 30 jam per minggu ternyata didapati kurang patuh pada orangtua dan guru, dan memiliki relasi yang buruk dengan teman sebayanya. Di dalam nilai akademis pun mereka mendapat nilai yang rendah dan memiliki kebiasaan kerja yang buruk.

Kemudian pada tahun 2003, Belsky juga melakukan penelitian kembali menge-nai Daycare dan dampak perkembangan yang dihasilkan pada 1300 anak lebih de-ngan 10 lokasi yang berbeda di United State. Belsky melakukan penelitian pada anak berusia 6, 15, 24, 36, dan 54 bulan dengan penilaian mengenai perkembangan sosioemosinal dan kognitif sampai mereka masuk ke sekolah awal. Salah satu hasil penelitiannya menunjukkan bahwa anak yang memiliki pengalaman Daycare dengan kualitas pengasuhan yang tinggi akan menunjukkan level yang tinggi pula pada fungsi kognitif – linguistik pada usia 1, 3, 4 dan 5 tahun.

KESIMPULAN

Program layanan Daycare merupa-kan salah satu program layanan yang sedang berkembang yang bertujuan untuk membantu orangtua dalam mengasuh anak selama mereka bekerja atau beraktivitas sehingga harus meninggalkan anak semen-tara waktu.

Dalam kaitannya dengan temuan dan hasil penelitian dapat disimpulkan bah-wa setiap subyek menyatakan dan merasa-kan bahwa Daycare sangat menolong mereka dalam mengasuh dan memimbing anak mereka. Setiap subyek memaknai bahwa Daycare merupakan tempat yang tepat bagi mereka untuk mengasuh anak-anak mereka. Dayacare merupakan tempat dimana anak-anak mereka dapat mengem-bangkan kemampuan kedisiplinan, keman-dirian, rasa percaya diri serta keberanian. Selain itu, Daycare bukan hanya sekedar tempat untuk menitipkan anak, tetapi para subyek menyatakan bahwa para pengasuh di Daycare menolong anak-anak mereka dalam meningkatkan kosakata, sehingga anak-anak mereka dapat berkomunikasi dengan baik seiring dengan perkembang-annya.

DAFTAR PUSTAKA

Belsky, J. (1986). Infant day care: A cause for concern? Zero to Three 6(4): 1-7.

Belsky, J. (2003 – 2005). Child Care and Its Impact on Young Children (0-2). Birkbeck University of London. U K.

Belsky, J (2009). Early Day Care and Infant – Mother Attachment Security. Institute for the Study of Children, Families and Social Issues. Birkbeck University of London. U K.

Conley, A. (2010). Childcare: welfare or investment? International Journal of Social Welfare 19: 173-181.

Early Childhood Education Directorate (2011). Technical Guidance for Maintenance of Childcare Center.

Kompasiana (2014). Kasus shaken baby syndrome. Available from http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/03/02/kasus-shaken-baby-syndrome-344474.html (aceessed on 6 May 2014)

Liputan 6 News (2014). Suster di penitipan anak asyik bercengkerama bocah 2 tahun tewas. Available from http://health.liputan6.com/read/489664/suster-di-penitipan-anak-asyik-bercengkerama-bocah-2-tahun-tewas#sthash.1YOOEOT2.dpuf (accessed on 5 May 2014)

Rini, J.F. (2002). Perlukah program child day care bagi anak anda? Available from http://www.e-psikologi.com/artikel/pendidikan/perlukah-program-child-day-care-bagi-anak-anda (accessed on 5 May 2014)

Santrock, J.W. (2006). Life – Span Development: Perkembangan Masa Hidup 2. Edisi kelima. Terjemahan Damanik, J & Chusairi, A. Jakarta: Penerbit Erlangga

Scarr S., & Eisenberg M. (1993). Child-care research: Issues, perspectives and results. Annual Review of Psychology 44: 613-644.

Susilo, J (2005). A business services. Available from http://www.dunia-wirausaha.com/2005/10/bisnis-daycare.html. (accessed on 2 March 2010)