PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DALAM PENDEKATAN
MODERNIS DAN TRADISIONALIS: STUDI KOMPARATIF

ANTARA PEMIKIRAN M. NATSIR DAN WAHID HASYIM

 

Ira Pramudawardhani

Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Univet Sukoharjo

 

ABSTRAK

Pembaharuan pendidikan islam di Indonesia pada awalnya tidak terlepas dari wacana dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Para tokoh Islam yang menaruh perhatian pada pengembangan pemikiran pendidikan di Indonesia umumnya juga berangkat dari kegelisahan dikotomi tersebut. Kepedulian para pembaharu pemikiran Islam atas keterpurukan umat Islam disampaikan dalam bentuk reaktualisasi pemikiran dan pemahaman keagamaan mereka hingga menghasilkan bentuk-bentuk pembaharuan. Para tokoh islam mulai tersadarkan dengan kondisi umat yang memprihatinkan berupaya menelaah faktor-faktor penyebab keterbelakangan umat Islam yang sebenarnya dahulu kala pernah menjadi acuan bagi peradaban dunia. Pendidikan merupakan kunci menuju peradaban manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, terdapat dua tokoh yang turut andil dalam perubahan ide, wawasan dan konsepsi tentang pendidikan islam. Melalui berbagai kegiatan/pendekatan politik dan kultural di Indonesia keduanya berhasil secara signifikan dalam merubah wajah dan sistem pendidikan islam. Pokok-pokok pemikiran kedua tokoh ini, yaitu Muhammad Natsir dan Wahid Hasyim dengan pendekatannya masing-masing yang akhirnya menginspirasi dinamika pendidikan islam di Indonesia hingga saat kini.

Kata Kunci: pendidikan islam, studi komparasi, pemikiran

 

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan salah satu sektor yang mampu berkontribusi besar dalam upaya perkembangan dan pembangunan bangsa. Pendidikan juga akan melahirkan sumber daya manusia yang akan mewujudkan cita-cita bangsa untuk menjadi sebuah bangsa yang maju dan berkembang. Sebagaimana juga dijelaskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang tujuan pendidikan nasional, yaitu: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut maka salah satu upaya yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah terhadap bangsa ini dalam bidang pendidikan adalah adanya lembaga pendidikan. Hadirnya berbagai macam bentuk lembaga pendidikan tidak terlepas dari tokoh pengagasnya. Tidak akan pernah adanya sebuah bentuk lembaga pendidikan jika tidak ada yang mengagasnya.

Di Indonesia pengembangan pemikiran pendidikan pada mulanya tidak terlepas dari wacana dikotomi antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Para tokoh Islam yang menaruh perhatian pada pengembangan pemikiran pendidikan di Indonesia umumnya juga berangkat dari kegelisahan dikotomi tersebut. Kepedulian para pembaharu pemikiran Islam atas keterpurukan Umat Islam disampaikan dalam bentuk reaktualisasi pemikiran pemahaman keagamaan/keislaman termasuk pemahaman warga masyarakat tentang pendidikan yang kala itu sangat dikotomi dan telah menjadi mainstream. Maka muncul ide intergral agar dikotomi antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum tidak menjadi permasalahan lagi.

Dengan konsep integral ini diharapkan terbentuknya sebuah generasi yang lebih baik. Siswa tidak hanya mempunyai kemampuan dalam bidang akademik saja atau kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan psikomotor dan spiritualnya. Dan semua itu bersumber dari ketauhidan (Amiruddin, 2009). Untuk menunjang pendidikan Indonesia agar mampu menuju arah yang lebih baik maka perlu didukung oleh setiap elemen baik dari segi agama dan pengetahuan umum. Oleh karenanya, kedua bentuk pendidikan ini baik pendidikan islam maupun pendidikan umum harus sejalan sehingga nantinya apa yang diharapkan oleh M Natsir dan K.H Wahid Hasyim bahwa tidak adanya dikotomi didalam ilmu pengetahuan dan pendidikan benar-benar terwujud.

Pendidikan islam memiliki peran yang penting dalam pembentukan generasi yang baik, karena dengan pendidikan itu dapat dihasilkan manusia yang berkualitas, kreatif, dan bertanggungjawab serta memiliki kemampuan mengantisipasi permasalahan masa depan. Pendidikan islam senantiasa menjadi sebuah kajian yang menarik bukan hanya karena memiliki kekhasan tersendiri, namun juga karena kaya akan konsep-konsep besar dengan ide-idenya yang cerdas dan kreatif yang menjadi inspirasi dan memberikan kontribusi yang besar bagi dinamika pendidikan islam di Indonesia (Santoso, 2015).

Ide dan pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia dikemukakan oleh M Natsir pada tahun 1934, semenjak beliau memasuki dunia pendidikan. Beliau telah mengutarakan gagasan dalam dunia pendidikan yang menjadi landasan pendidikan Islam merangkumi tauhid sebagai asas pendidikan, konsep ilmu, kebebasan berfikir sebagai tradisi dan disiplin ilmu, bahasa Arab sebagai bahasa ilmu, dan kesinambungan pondok pesantren dalam menghadapi perubahan zaman. Sedangkan ide dan pemikiran Pendidikan Islam yang dikemukan oleh K.H Wahid Hasyim dimulai semenjak tahun 1936. Wahid Hasyim mendirikan Ikatan Pelajar Islam yang kemudian diikuti dengan pendirian taman bacaan (perpustakaan) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku.

Pada bulan November 1947, K.H Wahid Hasyim bersama M. Natsir menjadi pelopor pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta. Dalam kongres itu diputuskan pendirian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia. Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri, KH Hasyim Asy‟ari. Namun, Hasyim melimpahkan semua tugasnya kepada Wahid Hasyim. Dia dalam Masyumi tergabung tokoh-tokoh Islam nasional, seperti KH. Wahab Hasbullah, KH. Bagus Hadikusumo, KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, KH. Zainul Arifin, M. Roem, dr. Sukiman, H. Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito, Anwar Cokroaminoto, Mohammad Natsir, dan lain-lain (Nurulhuda, 2011). Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950, Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama. Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Wahid Hasyim mengeluarkan keputusan-keputusan yang sangat mepengaruhi sistem pendidikan Indonesia di masa kini, terutama sistem pendidikan islam.

Kedua tokoh penting di atas memiliki pemikiran yang luar biasa dalam kemajuan pendidikan islam di Indonesia. Akan tetapi, perlu dilihat ternyata banyak fakta-fakta menarik bahwa kedua tokoh tersebut juga memiliki cara pemikiran dan ide yang juga berbeda meskipun memiliki tujuan yang sama yakni untuk kemajuan pendidikan Islam di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif-kualitatif dengan pendekatan penelitian studi literatur dengan mencari referensi teori dan sumber yang relevan dengan topik yang menjadi pembahasan. Referensi teori dan sumber yang diperoleh dengan jalan penelitian studi literatur dijadikan sebagai fondasi dasar dan alat utama bagi praktek penelitian ini di lapangan. Teori-teori yang dikumpulkan bertujuan untuk memperkuat ide dan gagasan dari peneliti dalam mengembangkan penulisan artikel ini. Data-data yang didapatkan dalam proses penelitian ini, kemudian dianalisis dengan metode analisis deskriptif, dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan juga memberikan pemahaman dan penjelasan untuk memperkuat ide dan gagasan penelitian ini.

PENDIDIKAN ISLAM

MENURUT M. NATSIR DAN WAHID HASYIM

Pendidikan Islam menurut M. Natsir

Muhammad Natsir Datuk Sinaro Panjang bin Idris Sutan Saripado (1908-1993) adalah tokoh intelektual, pejuang, politikus, ulama dan sekaligus salah seorang negarawan yang dimiliki bangsa kita. Ayahnya yang bernama Idris Sutan Saripado dan ibunya bernama Khadijah. Anak ketiga dari empat bersaudara itu tumbuh dari keluarga yang sangat sederhana. Ia memiliki tiga orang saudara kandung, masingmasing bernama Yukinan, Rubiah, dan Yohanusun.

Muhammad Natsir Datuk Sinaro Panjang dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1908. Ia lahir di kampung Jembatan Berukir, dikota kecil sejuk bernama Alahan Panjang. Sekarang, kota ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatra Barat (Prasetya. 2014). Di desa kelahirannya itu, Natsir kecil melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya. Sepanjang hidupnya ia perjuangkan untuk agama Islam dan bangsa Indonesia. Kiprah M Natsir sebagai seorang intelektual, politikus, pendidik, pemimpin negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal usul dan fisiknya, M Natsir hanyalah orang biasa. Sifatnya yang lemah lembut, bicara dengan penuh sopan santun dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya. Dibalik itu semua Muhammad Natsir adalah ibarat karang yang kokoh. Ia termasuk seorang yang teguh memegang prinsip, walau dalam berhubungan dengan orang-orang lain.

Menurut M Natsir, organisasi merupakan pelengkap untuk membantu dalam belajar selain yang didapatkannya di sekolah. Dari kegiatan berbagai organisasi yang digeluti inilah mulai tumbuh bibit perjuangan sebagai pemimpin bangsa pada diri M Natsir. Dan melahirkan berbagai pemikiran yang luar biasa untuk kemajuan bangsa ini. Diungkapkan oleh Nata (2005), bahwa pokok-pokok pemikiraan pendidikan M. Natsir adalah sebagai berikut:

Pertama, tentang peran dan fungsi pendidikan. Dalam hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir; (1) pendidikan harus berperan sebagai sarana membimbing manusia agar dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna, (2) pendidikan diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat-sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak yang sempurna. (3) pendidikan harus berperan sebagai sarana menghasilkan menusia jujur dan benar (bukan pribadi yang hipokrit). (4) pendidikan agar berperan membawa manusia mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt. (5) pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala perilakunya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam, keenam, pendidikan harus benar-benar dapat meningkatkan sifat-sifat kemanusiaan bukan sebaliknya meniadakan atau berperilaku menyesatkan yang dapat merugikan orang lain dan lingkungan.

Kedua, tentang tujuan pendidikan Islam. Menurut M Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia yang berperilaku Islami, yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sangat sejalan dengan tujuan pendidikan naisonal yang terpatri dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menempatkan beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tujuan sentral. Menurut M. Natsir, seorang hamba Allah adalah orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah, sebagai pemimpin manusia. Mereka menjalankan perintah Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia, menunaikan ibadah terhadap Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 177 yang artinya. Bukanlah kebaikan itu dengan menghadapkan muka ke arah barat dan timur, tetapi kebaikan itu adalah mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab, dan nabi-nabi Nya serta memberikan harta yang disayanginya kepada karib kerabatya, anak yatim, orang yang terlantar, orang yang terbatas dananya dalam perjalanan serta untuk memerdekakan manusia dari perbudakan. Ia mendirikan shalat, membayar zakat, teguh memegang janji, bersifat sabar dan tenang di waktu bahaya dan bencana menimpa.

Ketiga, tentang dasar pendidikan. Dalam tulisan yang berjudul Tauhid sebagai Dasar Didikan, M. Natsir menceritakan tentang pentingnya tauhid dengan mengambil contoh pada seorang professor fisika bernama Paul Ehrenfest yang mati bunuh diri. Ia berasal dari keluarga baik-baik dan telah memperoleh pendidikan Barat tingkat tinggi. Telah banyak penemuan rahasia alam yang dihasilkannya dan telah menjadi bahan rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan. Pekerjaannya sehari-hari tak pernah tercela.

Keempat, tentang ideologi dan pendekatan dalam pendidikan. M. Natsir mengajukan konsep pendidikan yang khas ditengah persoalan dikotomis antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Konsep pendidikannya adalah integral, harmonis, dan universal. Dalam pidato yang ia sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934 serta dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat pada 1937 berjudul “Tauhid sebagai dasar Pendidikan”, menggariskan ideologi pendidikan umat Islam bertitik tolak & berorientasi pada tauhid sebagaimana tersimpul dalam kalimat syahadat. Melalui dasar tersebut akan tercipta integrasi pendidikan agama dan umum. Konsep pendidikan yang integral, universal, dan harmonis menurut M Natsir, tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum, melainkan antara keduanya memiliki keterpaduan dan keseimbangan. Semua itu dasarnya agama, apa pun bidang dan disiplin ilmu yang ditekuninya. Sepertinya kelahiran Sekolah Islam Terpadu saat ini melalui himpunan keanggotaan Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia memiliki nafas yang sama dengan pandangan Natsir ini.

Kelima, tentang fungsi bahasa asing. Menurut M Natsir bahwa bahasa asing amat besar perannya dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa. Menurut Natsir, bahasa erat kaitannya dengan corak berpikir suatu bangsa. Bahasa dari salah satu bangsa adalah tulang punggung kebudayaannya. Mempertahankan bahasa sendiri berarti mempertahankan sifat-sifat dan kebudayaannya sendiri. Kultur suatu bangsa berdiri atau jatuh bergantung pada bahasa dari bangsa itu sendiri. Maka bahasa merupakan salah satu faktor terpenting yang mendorong mutu dan kecerdasan suatu bangsa. Bahasa ibu, bahasa sendiri menjadi syarat bagi tegaknya kebudayaan kita.

Keenam, tentang keteladanan guru. Menurut Natsir, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa. Pernyataan ini diajukan, karena pada saat itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menurun. Minat lulusan terbaik dari sekolah menengah untuk menjadi guru sampai sekarang masih tampak dikarenakan perhatian terhadap lembaga pendidikan guru memang belum memadai.

Sebagai tokoh pembaharuan intelektual muslim, M Natsir nampaknya menempuh cara dakwah dan pendidikan untuk memperbaiki pemahaman dan pengamalan agama masyarakat Islam di Indonesian. Seperti apa yang diungkap, kemajuan masyarakat Islam hanya dapat dicapai dengan memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara murni. M Natsir mengemukakan tiga pilar kebangkitan umat Islam, yaitu Masjid, Pesantren, dan Kampus (Mislaini, 2017). Konsep pendidikan islam yang diterapkan M Natsir adalah pendidikan yang harus dapat membawa manusia mencapai tujuan hidupnya, yaitu menghambakan diri kepada Allah, berakhlak al-karimah dan mendapat kehidupan yang layak di dunia (Ahmad dan Nufus, 2018).

Sistem pendidikan Belanda memang dapat memberikan bekal pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh zaman, tapi jiwanya kerdil, dan dikotomi karena tidak memiliki landasan iman dan akhlak yang mulia. Di sisi lain pendidikan pesantren dan madrasah memang memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia, tapi tidak memberikan bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi yang dibutuhkan masyarakat.

Pendidikan Islam menurut Wahid Hasyim

  1. Abdul Wahid Hasyim dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, pada Juni 1914. Beliau adalah putra dari pasangan KH. M. Hasyim Asy‟ari dan Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas. Ia tidak seperti anak tokoh lain, sang ayah tidak menyekolahkannya di HIS. Namun, ia didik sendiri oleh sang ayah yang merupakan ulama besar. Lahir dilingkungan pesantren menjadikan KH. Wahid Hasyim menghabiskan masa kecilnya dengan menuntut ilmu diberbagai pesantren di Pulau Jawa.

Pada tahun 1932, ketika umurnya baru 18 tahun, KH. Wahid Hasyim pergi ke Arab untuk memperdalam ilmu agamanya. Sepulang dari tanah suci, KH. Wahid Hasyim membantu ayahnya mengajar di pesantren dan terjun berdakwah dan mengabdikan dirinya ke tengah-tengah masyarakat. Pada tahun 1936, KH. Wahid mendirikan Ikatan Pelajar Islam yang kemudian diikuti dengan pendirian taman bacaan (perpustakaan) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku. Perpustakaan Tebuireng juga berlangganan majalah seperti Panji Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan lain sebagainya. Langkah ini merupakan terobosan besar yang saat itu belum pernah dilakukan pesantren manapun di Indonesia.

Sebagai seorang santri pendidik agama, dengan fokus utama pemikiran KH. Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumber daya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut beliau dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat dipahami bahwa kualitas manusia muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkreatifitas. Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping sehat jasmani dan rohani, manusia muslim harus memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai dengan inti ajaran Islam.

Pertama-tama ia mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji coba tersebut dianggap berhasil. Oleh karena itu, beliau dikenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren. Untuk pendidikan pondok pesantren Wahid Hasyim memberikan sumbangsih pemikirannya untuk melakukan perubahan. Banyak perubahan di dunia pesantren yang harus dilakukan. Mulai dari tujuan hingga metode pengajarannya. Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, beliau membuat perencanaan yang matang. KH. Wahid Hasyim tidak ingin gerakan ini gagal atau patah di tengah jalan. Menurut beliau, tujuan pendidikan adalah untuk menggiatkan santri yang berahlakul karimah, takwa kepada Allah, dan memiliki ketrampilan untuk hidup. Artinya dengan ilmu yang dimiliki ia mampu hidup layak di tengah masyarakat, mandiri, tidak jadi beban bagi orang lain. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan KH. Wahid Hasyim bersifat Teosentris (Ketuhanan) dan Antroposentris (kemanusiaan). Artinya bahwa pendidikan itu harus memenuhi antara kebutuhan duniawi dan ukhrowi, moralitas dan ahlak, dengan titik tekan pada kemampuan keimanan, ilmu, dan akhlak dari peserta didik di pesantren.

Dalam proses pengajaran di pesantren KH Wahid Hasyim membagi materi pendidikan di pesantren menjadi tiga bagian, yakni: Pertama, ilmu-ilmu agama Islam seperti fiqih, tafsir, hadist dan ilmu agama lainnya. Kedua, ilmu non agama seperti ilmu jiwa, matematika, dan Ketiga, kemampuan bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Belanda dan Bahasa Indonesia. Sedangkan, metode pendidikan yang dianut oleh KH. Wahid Hasyim yaitu berupa penanaman kepercayaan diri dan konsep diri yang tinggi terhadap muridnya.

Namun, ada sebagian ulama yang mengharamkan pelajaran umum tersebut untuk diajarkan di dalam pesantrennya. Sehingga sikap ini mengakibatkan terjadinya dikotomi antara ilmu agama dan non agama. Realita dan fenomena hal inilah yang ingin dirubah oleh KH. Wahid Hasyim, sehingga beliau berpendapat bahwa materi yang diajarkan di pesantren haruslah merupakan ilmu-ilmu yang lengkap dan tidak bersifat agamais saja tetapi harus komprehensif dan seimbang. KH. Wahid Hasyim juga pernah melakukan pembaharuan kelembagaan, dengan cara mentransformasi lembaga yang sudah ada dengan dilengkapi perpustakaan sebagai tempat belajar santri diluar pesantren dan madrasah. Artinya selain pesantren mengajarkan ilmu agama juga di ajarkan ilmu umum kepada santrinya dengan maksud seorang santri atau dunia pesantren tidak boleh mengambil jarak dengan masyarakat. Pesantren seharusnya turut ambil bagian dalam menyelesaikan berbagai problematika masyarakat baik sosial, agama, politik, budaya maupun keamanan yang terjadi di kehidupan sehari-hari.

KOMPARATIF ANTARA

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM M. NATSIR DAN KH. WAHID HASYIM

Hasil pemikiran kedua tokoh ini dalam pendidikan islam telah mampu memberikan sumbangsih dan kontribusi besar bagi kemajuan pendidikan bangsa ini, terkhusus pendidikan islam di Indonesia. Perbedaan yang mendasar dari kedua tokoh ini adalah bahwa pemikiran pendidikan islam menurut M Natsir lebih mengarah kepada pendekatan Modernis, sedangkan pemikiran pendidikan islam menurut KH Wahid Hasyim lebih mengarah kepada pendekatan Tradisionalis.

M Natsir melakukan integral pendidikan islam dan umum. Bagaimana pendidikan umum tidak hanya sekedar mencapai bekal pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh zaman, tetapi juga memiliki landasan iman dan akhlak yang mulia. Contohnya, munculnya Sekolah Islam Terpadu. Sejalan dengan Mislaini (2017), Ahmad dan Nufus (2018), mengatakan bahwa intinya pendidikan islam seharusnya bersifat integral, tidak perlu memandang (dikotomi) antara keilmuwan agama dan umum. Selanjutnya, menurut Suwarno (2017) dikemukakan bahwa M Natsir melihat bahwa masalah pokok untuk mengatasi keterbelakangan dalam pendidikan islam terletak pada tiga hal: (1) dengan merombak sistem yang dikotomis kepada sistem yang integrated antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum; (2) dengan merombak kurikulum dari kurikulum yang dikotomis menjadi kurikulum yang integrated; (3) dengan menggunakan metode-metode yang applicable dan sesuai dengan syariat-syariat islam.

Sedangkan KH. Wahid Hasyim juga melakukan pembaharuan dan integral pendidikan islam dan umum, selain mengajarkan ilmu agama di pesantren juga di ajarkan ilmu umum kepada santrinya. Dan beliau juga pernah melakukan pembaharuan kelembagaan dengan cara mentransformasi lembaga yang sudah ada agar dilengkapi dengan perpustakaan sebagai tempat belajar santri diluar pesantren dan madrasah. Contohnya, munculnya Sekolah Madrasah. Perhatian KH. Wahid Hasyim dalam menyeimbangkan antara ilmu pengetahuan umum dan agama juga diimplementasikan dalam bentuk lain, yakni memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah umum, menyusul ditetapkannya UU Pendidikan No. 4/1950, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan dan Menteri Agama mengeluarkan keputusan Bersama pada tahun 1951, yang intinya menegaskan bahwa pelajaran agama harus diajarkan di sekolah-sekolah umum (Azra dan Umam, 1998). Selain itu, pemikiran KH. Wahid Hasyim juga sangat relevan dengan pendidikan pesantren saat ini. Sebab, beliau menjadi tokoh peletak dasar bagi pendidikan klasikal di lingkungan pesantren dan mendirikan perpustakaan yang tidak hanya terdapat buku-buku agama saja tetapi juga buku-buku umum yang bertujuan untuk menambah khasanah pengetahuan para santri yang menempuh pendidikan di pesantren.

Perbedaan latar belakang pendidikan dan lingkungan menyebabkan terjadinya perbedaan paradigma dalam memahami lembaga pendidikan islam. M Natsir berpendapat bahwa sistem pendidikan umum dari barat memang dapat memberikan bekal pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh zaman, tetapi jiwanya kerdil, sehingga dibutuhkan internalisasi ilmu-ilmu islam di sekolah tersebut agar peserta didiknya memiliki landasan iman dan akhlak yang mulia. Di sisi lain pendidikan pesantren dan madrasah memang memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia, tapi tidak memberikan bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi yang dibutuhkan masyarakat. Sedangkan lain hal nya dengan KH. Wahid Hasyim yang berlatarbelakang pesantren, memulai pembaharuan itu melalui pesantren. Beliau berpendapat pendidikan pesantren bisa membuat kemajuan dalam pendidikan islam. Jika dikotomi antara pendidikan islam dan umum di pesantren di hilangkan. Oleh karena itu, KH. Wahid Hasyim menghilangkan dikotomi tersebut dengan cara merubah materi dalam pendidikan di pesantren menjadi tiga bagian: Pertama, ilmu-ilmu agama Islam seperti fiqih, tafsir, hadist dan ilmu agama lainnya. Kedua, ilmu non agama seperti ilmu jiwa, matematika, dan Ketiga, kemampuan bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Belanda dan Bahasa Indonesia. Dan juga mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Selanjutnya juga turut melakukan transformasi pesantren kemudian di modifikasi dengan mendirikan madrasah yang tidak hanya memiliki landasan iman dan akhlak yang mulia tetapi juga ketrampilan-ketrampilan dan ilmu umum lainnya yang berguna dalam menyelesaikan berbagai problematika di dalam masyarakat.

PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa pernah terjadi transformasi dari pendidikan islam yang mengkotomi ilmu agama dan ilmu umum kepada pendidikan islam yang mulai inklusif dan terlepas dari dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Segala bentuk pembaharuan ini tidak terlepas dari sumbangsih pemikiran dan perjuangan dari dua tokoh ini yaitu, M Natsir dan KH. Wahid Hasyim yang juga memberikan kemajuan pendidikan islam hingga saat sekarang ini. Pemikiran pendidikan islam menurut M Natsir lebih mengarah kepada pendekatan Modernis. Sedangkan pemikiran pendidikan islam menurut kh. Wahid Hasyim lebih mengarah kepada pendekatan Tradisionalis. Jadi, yang perlu diingat bahwa segala bentuk lembaga pendidikan tentu ada tokoh penting yang mengagasnya dan kedua tokoh bangsa ini memberikan kontribusi besar dalam perkembangan pemikiran dan pendidikan islam di Indonesia.

REFERENSI

Ahmad dan Nufus, Hayati. 2018. Pendidikan dan Politikus: Analisis Pemikiran           M. Natsir Tentang Pendidikan Islam di Indonesia. Jurnal Al-Iltizam, Vol 3 No. 1, hal 13

Amiruddin, Yoyok. 2009. Yang berjudul “Konsep Pendidikan Integral          Perspektif Pemikiran Pendidikan Muhammad Natsir” IAIN Sunan        Ampel: Jurusan Pendidikan Agama Islam

Azra, Azyumardi dan Umam, Saiful. 1998. Menteri-Menteri Agama RI: Biografi        Sosial-Politik. Jakarta: PPIM

Mislaini. 2017. Pemikiran Muhammad Natsir Tentang Pendidikan Islam. Jurnal        Pendidikan Islam: STAI YASTIS Padang, Vol 1 No 1, 14-15

Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-Tokoh Pambaruan Pendidikan Islam Di Indonesia,       Jakarta; Rajda Grafindo Persada

Nurhuda. 2011. Yang berjudul “Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren             menurut KH. Abdul Wahid Hasyim” STAIN Salatiga: Jurusan Tarbiyah

Prasetya, Johan. 2014. Pahlawan-Pahlawan Bangsa Yang Terlupakan: Biografi, Kiprah dan Perjuangan Mereka bagi Indonesia. Yogyakarta: Saufa

Sumarno. 2015. Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren Menurut KH. Abdul      Wahid Hasyim. AVATARA: e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol. 3 No.    3, hal 1

Suwarno. 2017. Pemikiran M Natsir dalam Pembaharuan Pendidikan Islam di          Indonesia. DAR EL-ILMI: Jurnal Studi Keagamaan, Pendidikan, dan      Humaniora, Vol 4 No 1, hal 14

TEMPO. 2011. Wahid Hasyim: Untuk Republik dari Tebuireng. Jakarta: KPG