Penerapan Pendekatan Konstruktivisme Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME
UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA
PADA SISWA KELAS VIII D MTs. NEGERI JEKETRO
KECAMATAN GUBUG KABUPTAEN GROBOGAN
SEMESTER 2 TAHUN PELAJARAN 2016/2017
Muguh
MTs Negeri Jeketro Kec. Gubug Kab. Grobogan Kabupaten Grobogan
ABSTRAK
Berdasarkan pengalaman peneliti sebagai guru mata pelajaran matematika yang mengajar di kelas VIII D MTs Negeri Jeketro Kabupaten Grobogan, mengamati proses pembelajaran berlangsung kurang efektif dan kondusif dengan hasil belajar rata-rata kelas adalah 6,0 yang seharusnya batas minimum rata-rata kelas adalah 7.00. Permasalahan tersebut perlu diupayakan pemecahannya, salah satunya yaitu melakukan tindakan yang dapat mengubah suasana pembelajaran yang melibatkan siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran, yaitu melalui pembelajaran dengan menghadapkan siswa pada obyek yang nyata serta melibatkan pengetahuan awal siswa. Berdasarkan rumusan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Penerapan pendekatan pembelajaran konstruktivisme dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah pada pokok bahasan Kubus dan Balok di Kelas VIII D semester 2 MTs Negeri Jeketro Kab. Grobogan tahun ajaran 2016/2017 serta Siswa menyukai pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan pembelajaran Konstruktivisme. Hal ini terlihat dari sikap siswa dengan kriteria cukup senang pada pembelajaran matematika, dengan prosentase 72,25%.
Kata kunci: konstruktivisme, hasil belajar matematika
Latar Belakang Masalah
Pada umumnya mata pelajaran matematika dianggap pelajaran yang paling sulit, sehingga hal ini mengakibatkan hasil belajar para siswa menjadi rendah. Tetapi untuk sebagian siswa mata pelajaran matematika adalah salah satu pelajaran yang disenangi, apabila materi pelajaran disajikan dengan pendekatan yang menarik, siswa akan dengan tekun dan penuh antusias memperhatikan fenomena-fenomena yang ditampilkan guru saat pembelajaran. Tetapi anehnya hasil-hasil ulangan harian ataupun sumatif nilai rata-rata siswa untuk pelajaran matematika masih rendah. Salah satu penyebabnya yaitu sikap siswa yang pasif saat proses pembelajaran berlangsung.
Berdasarkan pengalaman peneliti sebagai guru mata pelajaran matematika yang mengajar di kelas VIII D MTs Negeri Jeketro Kabupaten Grobogan, mengamati proses pembelajaran berlangsung kurang efektif dan kondusif dengan hasil belajar rata-rata kelas adalah 6,0 yang seharusnya batas minimum rata-rata kelas adalah 7.00. Permasalahan tersebut perlu diupayakan pemecahannya, salah satunya yaitu melakukan tindakan yang dapat mengubah suasana pembelajaran yang melibatkan siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran, yaitu melalui pembelajaran dengan menghadapkan siswa pada obyek yang nyata serta melibatkan pengetahuan awal siswa. Menghadapkan siswa pada objek yang nyata dalam pembelajaran adalah salah satu upaya menanamkan konsep kepada siswa, karena dengan demikian terdapat keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
1. Siswa lebih percaya pada kebenaran konsep yang telah dialaminya sendiri.
2. Hasil belajar siswa yang diperoleh siswa bersifat retensi (tahan lama) dan internalisasi (menyatu dalam jiwa siswa).
3. Memperkaya pengalaman yang bersifat objektif.
Dengan demikian, pembelajaran secara langsung pada objek yang sedang dipelajari memungkinkan meningkatkan kemampuan siswa sesuai dengan harapan.
Menurut Fosnot (dalam Paul Suparno, 1997), Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan konstruktivisme. Pendekatn konstruktivisme digunakan untuk menyusun metode mengajar yang lebih menekankan keaktifan siswa baik dalam belajar sendiri maupun bersama-sama dalam kelompok. Pada pendekatan konstruktivisme guru mencari cara untuk lebih mengerti apa yang dipikirkan dan dialami siswa dalam proses belajar.Mereka memikirkan beberapa kegiatan dan aktivitas yang dapat merangsang murid berfikir. Interaksi antar siswa di kelas dihidupkan, siswa diberi kebebasan mengeluarkan gagasan dan pemikiran mereka.
LANDASAN TEORI
Pengertian Belajar
Belajar merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar merupakan kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar. Apa yang terjadi diri seseorang yang sedang belajar tidak dapat diketahui secara langsung hanya dengan mengamati orang itu. Belajar terjadi dalam interksi dengan lingkungan, namun tidak menjamin bahwa setiap interaksi dalam lingkungan terjadi proses belajar. Seseorang harus aktif sendiri melibatkan diri dengan segala pemikiran, kemauan dan perasaannya, maka supaya terjadi proses belajar dituntut orang melibatkan diri, harus ada interaksi aktif. Aktivitas boleh berupa aktivitas mental saja yang tidak disertai gerak jasmani, boleh juga gerak jasmani terlibat yang merupakan perubahan sebagai hasil dari proses belajar.
Beberapa ahli yang mendefinisikan belajar, diantaranya sebagai berikut, menurut Hilgard dan Bower belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan atau keadaan-keadaan sesat seseorang, misalnya kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya (Purwanto,1992:84). H.Roth mendevinisikan belajar (dari segi ilmu Mendidik) berarti perbaikan-perbaikan tingakah laku (memperoleh tingkah laku baru) dan kecakapan-kecakapan. Dalam belajar terdapat perubahan-perubahan (perbaikan) fungsi kejiwaan yang menjadi syarat bagi perbaikan tingkah laku (Simanjutak dan I.L.Pasaribu, 1979:88).
Sedangkan Gagne, belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performancenya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi (Purwanto, 1992:84). Morgan menjelaskan bahwa belajar adalah setiap perbuatan yang relatif menetap dan tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman (Purwanto, 1992:84).
Dari definisi tersebut diatas terdapat istilah yang terdapat dalam definisi yaitu “Perubahan†dan “Pengalamanâ€. Dengan memperhatikan kedua kesamaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian belajar secara umum adalah terjadinya perubahan pada diri orang yang belajar karena pengalaman. Ciri-ciri perubahan tingkah laku yang merupakan hasil belajar adalah sebagai berikut: 1) Perubahan yang terjadi secara sadar. 2) Perubahan dalam belajar bersifat fungsional. 3) Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif. 4) Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara. 5) Perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah. 6) Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Matematika
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1989: 566) â€Matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antar bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilanganâ€. Sedangkan menurut Herman Hudoyo (1990: 4), “Matematika berkenaan dengan ide-ide (gagasan-gagasan), struktur-struktur dan hubungan-hubungannya yang diatur secara logik menggunakan pembuktian deduktifâ€.
Matematika sebagai struktur dan hubungan-hubunganya, symbol-simbol yang diperlukan. Simbol-simbol itu penting untuk membantu memanipulasi aturan-aturan dengan operasi yang ditetapkan. Simbolisasi menjamin adanya komunikasi dan mampu memberikan keterangan untuk membentuk suatu konsep baru. Konsep baru terbentuk karena adanya pemahaman konsep sebelumnya. Dengan perkataan lain, konsep-konsep matematika harus dipahami lebih dahulu sebelum memanipulasi symbol-simbol itu.
Pendekatan Konstruktivisme
Pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hokum atau daftar fakta. Ilmu pengetahuan adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan dan konsepnya ditemukan secara bebas. Konsep atau teori tidak menuruti pengalaman induktif yang sederhana, hal ini terbukti dengan adanya banyak siswa yang mengalami kesulitan untuk mengabstraksikan kenyataan-kenyataan yang mereka peroleh dari percobaan-percobaan mereka. Abstraksi dan teorisasi itu melalui proses penemuan yang imajinatif (Driver dan Bell dalam Suparno, 1997: 17).
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Glaserfeld dan Matthews, 1994 dalam paul Suparno, 1997: 18). Pengetahuan bersifat non-objektif, temporer dan selalu berubah. Segala sesuatu bersifat temporer, berubah dan tidak menentu. Kitalah yang memberi makna terhadap realitas yang ada. Pengetahuan tidak pasti an tidak tetap. Belajar adalah pemaknaan pengetahuan, bukan perolehan pengetahuan.Mengajar diartikan sebagai kegiatan atau proses menggali makna, bukan memindahkan pengetahuankepada orang yang membutuhkan. Jadi dalam hal ini siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka.
Kemampuan Menyelesaikan Soal
Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan kita untuk berusaha dengan diri sendiri. Dalam penelitian tindakan kelas ini yang menjadi masalah adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal.
Untuk menguasai matematika juga diperlukan kemampuan menyelesaikan soal-soal. Yang dimaksud dengan kemampuan menyelesaikan soal-soal, yaitu kemampuan untuk:
Mengerti soal
Siswa mengerti soal dahulu sehingga ia akan tertarik untuk menyelesaikannya.
Merencanakan penyelesaian
Untuk dapat menyelesaikan soal, siswa harus dapat menemukan hubungan data dengan yang ditanyakan/dibuktikan. Siswa harus memilih teorema-teorema atau konsep-konsep yang telah dipelajari untuk dikombinasikan sehingga dapat dipergunakan untuk menyelesaikan soal tersebut.
Melaksanakan penyelesaian
Penyelesaian soal yang sudah direncanakan itu dilaksanakan. Setiap langkah penyelesaian soal itu harus diteliti apakah sudah benar terbukti. Dengan demikian siswa akan mendapatkan penyelesaian sendiri.
Melihat kembali
Penyelesaian yang telah diperoleh diteliti kembali, apakah jawaban dari soal-soalnya sudah benar apa belum.
METODE PENELITIAN
Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas VIII D semester 2, MTs Negeri Jeketro Kabupaten Grobogan tahun pelajaran 2016/2017. Dalam penelitian ini dipilih satu kelas yaitu VIII D untuk dijadikan subjek penelitian. Kelas VIII D dipilih sebagai subjek penelitian berdasarkan pertimbangan guru matematika, salah satunya adalah dikelas tersebut keaktifan dan minat belajar matematika yang masih rendah. Selain itu juga kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika masih kurang.
ProsedurPenelitian
Dalam penelitian tindakan kelas ini terdiri dari empat komponen pokok yaitu: perencanaan (Planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflektion). Hubungan antara keempat komponen tersebut menunjukkan sebuah siklus atau kegiatan berkelanjutan berulang. Siklus inilah yang sebetulnya menjadi salah satu ciri utama dari penelitian tindakan.
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Data diperoleh dari hasil evaluasi (tes individu), observasi dan dokumen. Data yang terkumpul dianalisis dengan teknik deskriptif komparatif.
HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada tanggal 5 – 10 April 2017 di kelas VIII D MTs Negeri Jeketro Kab. Grobogan tahun ajaran 2016/2017.Siklus I pada tanggal 5 dan Siklus II 10 April 2017. Penelitian ini dirancang dalam dua siklus dan tiap siklus terdiri atas tahapan perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Adapun tahapan tiap siklus sebagai berikut:
Siklus I
Kesungguhan siswa dalam mengikuti pelajaran termasuk kategori baik (80,63%), keterampilan siswa dalam menyampaikan pertanyaan termasuk kategori sedang (60%), keterampilan siswa dalam menjawab pertanyaan guru termasuk kategori baik (66,25%), kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal–soal termasuk kategori baik (66,25%), kemampuan siswa dalam mengemukakan pendapat saat pembelajaran termasuk kategori baik (66,88%). Secara keseluruhan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran sudah baik (68%).
Kemampuan siswa dalam melakukan diskusi kelompok termasuk kategori baik (77,5%), kemampuan siswa dalam menjawab pertanyaan dalam kelompok termasuk kategori baik (75%), kemampuan siswa berpartisipasi dalam kelompok termasuk kategori baik (72,5%), kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dalam kelompok termasuk kategori sedang (60,62%). Secara keseluruhan kerjasama siswa dalam kelompok termasuk kategori baik (71,74%).
Ketuntasan belajar tercapai, dengan 26 siswa yang tuntas belajar dan prosentase ketuntasan 65%.
Secara garis besar pelaksanaan pada siklus I kurang berhasil. Hal ini dapat dilihat dari hasil evaluasi I yang menunjukkan ketuntasan belajar siswa 65%, kurang dari 85% yang merupakan tolok ukur keberhasilan. Oleh karena itu kegiatan pada siklus I perlu diulang supaya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah pada pokok bahasan kubus dan balok dapat meningkat.
Siklus II
Kesungguhan siswa dalam mengikuti pelajaran termasuk kategori baik (76,25%), keterampilan siswa dalam menyampaikan pertanyaan termasuk kategori baik (71,88%), keterampilan dalam menjawab pertanyaan guru termasuk kategori baik (71,88%), kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal–soal termasuk kategori baik (70,62%), kemampuan siswa dalam mengemukakan pendapat saat pembelajaran termasuk kategori baik (68,12%). Secara keseluruhan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran baik (71,75%).
Kemampuan siswa dalam melakukan diskusi kelompok termasuk kategori baik (84,38%), kemampuan siswa dalam menjawab pertanyaan dalam kelompok termasuk kategori baik (76,88%), kemampuan siswa berpartisipasi dalam kelompok termasuk kategori baik (78,12%), kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dalam kelompok termasuk kategori baik (66,25%). Secara keseluruhan kerjasama siswa dalam kelompok termasuk kategori baik (76,41%).
Ketuntasan belajar sudah tercapai, karena prosentase ketuntasan 90% lebih dari 85%, jumlah siswa yang tuntas belajar 36 siswa.
Berdasarkan hasil analisis kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal tes (lampiran 25), bahwa siswa yang tuntas belajar ada 36 siswa dan yang tidak tuntas belajar ada 4 siswa. Prosentase banyaknya siswa yang tuntas belajar 90% dan yang tidak tuntas belajar 10%. Jadi ketuntasan belajar secara klasikal sudah tercapai karena sudah sesuai dengan indikator keberhasilan yang diharapkan yaitu 85%. Secara garis besar pelaksanaan siklus II berlangsung sangat baik dan kondusif.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme dapat meningkatkan hasil belajar siswa berupa kemampuan kognitif dalam memecahkan masalah. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil evaluasi siklus I dengan nilai rata-rata siswa secara klasikal mencapai 71,38 dengan ketuntasan belajar 65% sehingga belum memenuhi indikator keberhasilan. Hasil evaluasi siklus II sudah memenuhi indikator, diketahui siswa yang tuntas belajar mencapai 90% dengan nilai rata-rata siswa secara klasikal mencapai 73. Selain itu prosentase aktivitas siswa selama proses pembelajaran mengalami peningkatan sebesar 3,75%, dari siklus I yang semula mencapai 68% dengan kategori baik meningkat menjadi 71,75% pada siklus II dengan kategori baik. Prosentase kerjasama siswa selama proses pembelajaran juga mengalami peningkatan sebesar 5,01%, dari siklus I yang semula mencapai 71,4% dengan kategori baik meningkat menjadi 76,41% pada siklus II dengan kategori baik.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut:
No |
Faktor diteliti |
Indikator |
Siklus I |
Siklus II |
Keterangan |
1 |
Hasil Belajar a. Individu b. Klasikal |
65 % 85 % |
75% 65 % |
80% 90 % |
Tercapai Tercapai |
Berdasarkan pembahasan di atas, penelitian tindakan kelas dengan menerapkan pendekatan konstruktivisme dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang berupa kemampuan kognitif dalam memecahkan masalah, selain itu aktivitas dan kerjasama siswa juga meningkat. Kemungkinan hal ini disebabkan karena siswa beranggapan bahwa pembelajaran konstruktivisme mampu mengaktifkan siswa, mengutamakan bekerjasama dari pada model pembelajaran yang lain dan lebih mengembangkan kreativitas serta pola pikir siswa. Hal ini terlihat dari hasil angket tanggapan siswa dengan prosentase 72,25% yang menunjukkan bahwa siswa cukup senang dengan penerapan pendekatan konstruktivisme.
Hasil penelitian ini didukung oleh Paul Suparno (1997: 81), bahwa dalam teori konstruktivisme, siswalah yang mendapat tekanan dalam poses belajar. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru ataupun orang lain. Mereka harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis suatu hasil karena mereka berfikir dan bukan meriru saja. Misalnya bagi guru, dari pada terus berceramah yang kadang membuat siswa ngantuk dan bosan, lebih baik diberi waktu bagi siswa untuk mengekspresikan gagasan, mengerjakan keaktifan, meneliti, merumuskan kesimpulan dan berdiskusi sehingga banyak meningkatkan daya berfikir dan pengetahuan siswa.
Jadi dengan menggunakan pendekatan pembelajaran konstruktivisme kemampuan memecahkan masalah siswa dalam pokok bahasan kubus dan balok kelas VIII D semester 2 MTs Negeri Jeketro Kab. Grobogan dapat meningkat.
Penutup
Simpulan
Berdasarkan rumusan masalah, dan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Penerapan pendekatan pembelajaran konstruktivisme dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah pada pokok bahasan Kubus dan Balok di Kelas VIII D semester 2 MTs Negeri Jeketro Kab. Grobogan tahun ajaran 2016/2017.
b. Siswa menyukai pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan pembelajaran Konstruktivisme. Hal ini terlihat dari sikap siswa dengan kriteria cukup senang pada pembelajaran matematika, dengan prosentase 72,25%.
Saran
Setelah peneliti mengetahui manfaat penerapan pendekatan Konstruktivisme dalam pembelajaran konstruktivisme, maka peneliti ingin memberikan saran yang dapat dipertimbangkan:
a. Pendekatan Konstruktivisme merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang sebaiknya diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar karena dapat meningkatkan kemampuan memecahkan suatu masalah (soal), aktivitas dan minat siswa.
b. Di dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Konstruktivisme, guru sebagai fasilitator hendaknya membiarkan siswa belajar secara ilmiah dan mengalami sendiri sehingga siswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang baru didapatkan.
c. Dengan mengingat banyak kelebihan yang dimiliki dari penerapan pendekatan Konstruktivisme, maka hendaknya guru menerapkan pembelajaran dengan pendekatan Konstruktivisme tersebut dalam pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zaenal. 1991. EVALUASI INSTRUKSIONAL “PRINSIP- TEKNIK- PROSEDURâ€. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Bandung.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
___________. 2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Darsono, Max. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP PGRI Semarang.
Hamalik, Oemar.1996. Media Pendidikan. Alumni: Bandung.
Purwanto,Ngalim.1979.Psikologi Pendidikan.Bandung:PT.Remaja Rosdakarya.
Simanjutak,I.L Pasaribu.1979.Psikologi Perkembangan.Bandung:Tarsito.
Sugiono, M.Cholik Adinawan. 2006. Matematika Untuk SMP Kelas VIII. Jakarta: Erlangga.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suyitno, Amin, dkk. 2001. Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika I. Semarang FPMIPA UNNES.
Tim MKDK IKIP Semarang. 1990. Psikologi Belajar. Semarang: IKIP Semarang Press.