Penggunaan Geographical Information System Dalam Rekonstruksi Kota Kolonial Salatiga
PENGGUNAAN GEOGRAPHICAL INFORMATION SYSTEM
DALAM REKONSTRUKSI KOTA KOLONIAL SALATIGA
ABAD KE-19 SAMPAI 1942
Muh Khoirul Anwar
Emy Wuryani
Tri Widiarto
Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK
Kota Salatiga yang berada di kaki Gunung Merbabu dan di wilayah dataran tinggi memiliki keistimewaan berupa iklim dan dingin. Salatiga juga berada di jalur strategi dapat di jangkau dari kota Semarang, Solo, Ambarawa, dan Magelang. Sehingga Salatiga mempunyai daya tarik tersendiri bagi bangsa Eropa untuk tinggal diwilayah tersebut di masa Kolonial. Implikasinya untuk masa kini adalah banyaknya peninggalan sejarah berupa bangunan-bangunan kuno yang bergaya Eropa di Salatiga. Bangunan tersebut ada yang masih dalam keadaan terawat, namun tidak sedikit pula yang berada dalam kondisi memprihatinkan bangkan sudah musnah. Bangunan bersejarah tersebut merupakan suatu warisan budaya dan kekayaan bangsa yang apabila dimanfaatkan dengan baik akan dapat memberikan banyak keuntungan bagi bangsa baik dari segi Ilmu Pengetahuan maupun perekonomian (sebagai aset pariwisata). Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya cagar budaya, dilakukan publikasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai bangunan cagar budaya yang terdapat di kota Salatiga. Untuk mendapatkan bahan publikasi dan edukasi maka dilakukan penelitian sejarah yang menggunakan pendekatan teknisberupa penggunaan Geographical Information System sebagai alat bantu penelitian. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya bangunan-bangunan bersejarah.
Kata Kunci: Bangunan Kolonial, Salatiga, GIS
ABSTRACT
Salatiga City was lokated on the hillside of Merbabu Mountain and on highland has a fresh air and cool climate. Salatiga City also located on strategist area, reachable from Semarang, Solo, Ambarawa, and Magelang. Salatiga is very interesting for European that lives in there at the Colonial Era. The implication for Modern Salatiga is to many historicak building with classical European style in Salatiga. There is a well preserved building, but also same building was not preserved and destroyed. Historical building is a cultural heritage and national treasure that can be used for many good things, such as science or economics. To raise the awareness of the folk about historical buildings, we need to make publication and educate the floks about how important the historical building was. To get the publication material and education material, was held historical research with technical approach in a form of using Geographical Information System as research tools. As expected from this research can raise the awareness of the folks about how important the historical building.
Keyword: Colonial Building, Salatiga, GIS
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota Salatiga dalam prasasti Plumpungan berangka tahun 750 M, tercatat sebuah watak (wilayah setingkat desa pada era Kerajaan Medang) bernama watak I hamra yang berada di wanua (gabungan dari beberapa watak yang dipimpin oleh seorang rakai) bernama wanua I trigosthya. Wilayah wanua I trigosthya ini diyakini sebagai cikal bakal kota Salatiga saat ini, diyakini bahwa Salatiga sudah dihuni sejak 750 M (Boechari, 2002: 67). Pada tahun 1757, Salatiga menjadi tempat dilakukannya perjanjian antara R.M. Said dengan Sunan Pakubuwono III dari Kasunanan Surakarta dan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang dikenal dengan Perjanjian Salatiga (Harini, 2010: 52).
Kota Salatiga masa Kolonial, tuntutan orang-orang Belanda yang semakin banyak bermukim di Salatiga untuk dapat memperoleh fasilitas dan mendapat kewenangan untuk mengelola daerahnya serta pengaruh perang dunia I yang membawa kesulitan bagi pemerintahan Belanda maka Kerajaan Belanda pada tanggal 25 Juni 1917 dalam bentuk Surat Keputusan Staatsblad tahun 1917 No. 266 yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Salatiga menjadi Gemeente Salatiga. Ditemukan ada 7 desa yang menjadi daerah Gemeente Salatiga, yakni nama yang sekarang meliputi; Salatiga atau Krajan, Sidorejo Lor, Kutowinangun, Kalicacing, Ledok, Gendongan, dan Mangunsari (Wuryani, 2006: 56-59)
Dalam perkembangan sejarahnya dari masa wanua I trigosthya sampai masa kolonial Belanda, warga pendukung kebudayaan di wilayah Salatiga banyak meninggalkan peninggalan sejarah baik berupa artefak, kesenian, maupun bangunan. Terkait dengan bangunan, peninggalan terbanyak berasal dari masa Kolonial Belanda. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bappeda kota Salatiga dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Salatiga (BPCB) Jawa Tengah tahun 2009 tercatat ada 144 bangunan Kolonial yang masih tersisa (Bappeda Kota Salaiga, 2009: 342), namun saat ini apakah jumlah bangunannya masih 144 atau berkurang? Ada kemungkinan bangunan cagar budaya dengan arsitektur Kolonial di kota Salatiga tidak seperti yang telah ditemukan oleh Tim Peneliti Bappeda kota Salatiga. Hal ini didasarkan pada kemutakhiran metode dan tehnik pengumpulan data yang dilakukan oleh tim peneliti PKM (Pekan Kreatifitas Mahasiswa) Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Kristen Satya Wacana tahun 2018.
Beranjak dari fakta tersebut, peneliti memandang perlu memetakan ulang bangunan kolonial yang ada di Salatiga dan kemudian merekonstruksi ulang tata kota Kolonial Salatiga di masa lalu dengan berdasarkan pada peninggalan yang masih tersisa di masa kini. Dengan demikian maka rumusan masalah penelitian ini adalah “bagaimanakah tatanan Kota Kolonial Salatiga pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia abad ke-19 sampai tahun 1942?â€.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mendisain atau merancang tatanan kota Kolonial Salatiga pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan menjelaskan manfaat cagar budaya dalam bidang pendidikan.
TINJAUAN PUSTAKA
Kajian Pustaka
Cagar Budaya
Menurut undang-undang nomor 11 tahun 2010 Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Geografi Dalam Ilmu Sejarah
Geografi sebagai ilmu yang menyajikan dimensi keruangan, sedangkan sejarah menawarkan dimensi waktu. Hubungan antara dimensi ruang dan waktu memberikan gambaran mengenai fenomena yang terjadi di permukaan bumi secara dinamis. Dengan pendekatan geografi-sejarah dapat dilakukan analisis dan interpretasi peta perkembangan suatu wilayah berdasarkan urutan waktunya, sehingga dapat diketahui bagaimana perkembangan wilayah tersebut (Sumaatmadja, 1988: 84-85).
Geographical Information System (GIS)
Geographical Information System atau selanjutnya akan disingkat GIS adalah suatu sistem untuk mengumpulkan, menyimpan, memanipulasi, menganalisis, dan menyajikan berbagai data dalam dimensi keruangan yang memiliki referensi geografis atau acuan lokasi dengan menggunakan perangkat komputer (Yuwono, 2007: 2).
Penelitian Yang Relevan
1. Rizal Yoga Prayoga tahun 2016 melakukan penelitan dengan judul penelitiannya “Pola Sebaran Temuan Arkeologis Masa Klasik Di Lereng Timur Gunung Merapi dan Faktor Yang Mempengaruhinyaâ€. Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan spasial, pendekatan lokasional, dan pendekatan morfologi dengan bantuan aplikasi Geographical Information System sebagai alat bantu analisis.
2. Septina Alrianingrum tahun 2010 melakukan penelitian dengan judul “Cagar Budaya Surabaya Kota Pahlawan Sebagai Sumber Belajarâ€. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana manfaat bangunan cagar budaya sebagai sumber belajar dan bagaimana pemahaman mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya (UNESA) tentang Surabaya sebagai Kota Pahlawan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan penulisan (Pranoto, 2010: 149-155). Pengambilan kesimpulan penelitian menggunakan penalaran induktif, yaitu penalaran dimulai dari pengamatan fenomena-fenomena khusus yang kemudian dikerucutkan menjadi sebuah kesimpulan sehingga terbentuk generalisasi empiris. Dengan menggunakan pendekatan spasial dapat diketahui mengenai hubungan antara benda/bangunan cagar budaya dengan konteks wilayah di sekitarnya dengan menggunakan alat bantu berupa aplikasi Geographical Information System (GIS) (Prayoga, 2016: 14). Proses penelitian dilakukan dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:
Heuristik (Pengumpulan sumber)
Pra Survei
Mengumpulan sumber-sumber yang relevan dengan kota Salatiga pada masa kini dan masa lalu berupa peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Skala 1:25.000 lembar Salatiga, peta kuno Salatiga, data inventaris bangunan peninggalan sejarah di Salatiga, dan sumber-sumber pustaka yang berkaitan.
Survei
Survei dilakukan untuk mencari kemungkinan sumber baru yang mungkin saja terlewatkan oleh penelitian-penelitian sebelumnya dan mengkonfirmasi kebenaran dari sumber-sumber pustaka yang sudah didapatkan sebelumnya.
Kritik Sumber dan Pengolahan Data
Terdapat dua macam kritik sumber, kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal adalah verifikasi tentang otentisitas dan keaslian sumber, sedangkan kritik internal adalah verifikasi terhadap kredibilitas isi sumber (Kuntowijoyo, 1995: 101). Kritik eksternal meliputi kritik terhadap deskripsi bangunan, ragam bangunan, keaslian bangunan. Kemudian kritik interal berupa verifikasi kredibilitas data yang ditemukan di lapangan. Selanjutnya data yang dikumpulkan kemudian di input ke dalam GIS.
Analisis dan Interpretasi
Dalam penelitian ini menggunakan dua jenis analisis yaitu analisis spasial dan analisis kontekstual. Analisis spasial digunakan untuk menganalisis distribusi bangunan kolonial, mencari kerapatan masing-masing sektor kemudian menemukan pola distribusi bangunan (Prayoga, 2016: 17). Analisis kontekstual adalah analisis pada suatu sumber. Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antara masing-masing bangunan kolonial di Salatiga sehingga terlihat adanya keterkaitan dari masing-masing bangunan (Martasari, 2016: 20). Setelah ditemukan keterkaitan antar bangunan, maka dilakukan analisis fungsi wilayah terhadap lokasi bangunan yang saling berkaitan tersebut. Dari hasil analisis tersebut ditarik sebuah acuan mengenai zonasi wilayah berdasarkan fungsi sebuah wilayah, misalnya: kawasan militer; kawasan hunian; kawasan perdagangan; dan lain sebagainya.
Penyajian Hasil Penelitian
Dari hasil analisis dibuat sebuah peta tematik dengan beberapa zonasi-zonasi wilayah berdasarkan fungsinya di masa kolonial. Peta tematik tersebut yang akan dijadikan acuan rekonstruksi kota Kolonial Salatiga.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam proses pengumpulan data, terdapat sebanyak 159 bangunan cagar budaya peninggalan masa Kolonial. Data yang dikumpulkan di lapangan berupa nama bangunan, koordinat lokasi, tipe bangunan, dan dokumentasi bangunan. Dari banyaknya data yang telah dikumpulkan, untuk mengetahui bagaimana pemetaan setiap kawasaan sebagai bentuk rekonstruksi kota Salatiga masa Kolonial maka banyaknya data yang diperoleh yang sebelumnya telah melalui tahap kritik sumber kemudian data diinput kedalam aplikasi Arcgis untuk diolah sebagai peta kawasan yang dapat menunjukkan bagaimana tatanan kota Salatiga masa Kolonial saat itu.
Tatanan kota Kolonial Salatiga memiliki pola radial, berpusat di tengah kota dan terdapat empat percabangan jalan besar menuju ke wilayah luar kota yang menguntungkan secara ekonomi, politik, maupun pertahanan. Pusat kota dapat dijangkau melalui jalan Tuntangscheweg, Bringinscheweg, Soloscheweg, dan satu jalan yang menjadi pusat rekreasi saat itu (kini bernama Jalan Pemuda). Di pusat kota terdapat kantor Asisten Residen yang menjadi pusat pemerintahan gemeente Salatiga. Untuk area pemukiman, teridentifikasi bahwa terdapat 3 zonasi wilayah pemukiman masyarakat. Wilayah-wilayah tersebut adalah zona Europesche Wijk (pemukiman orang Eropa) di sekitar Tuntangescheweg (sekarang adalah Jalan Diponegoro hingga jalur Salatiga-tuntang), Chinesche Wijk (pemukiman warga Tionghoa) disekitar pasar, pemukiman elit pribumi di wilayah sekitar kepatihan (saat ini wilayah disekitar Lapangan Pancasila), dan pemukiman rakyat jelata yang berada di luar wilayah-wilayah elit. Selain itu ada juga wilayah yang difokuskan untuk kawasan pendidikan yaitu area Schoolweg (kawasan Jalan Kartini) dan kawasan militer di wilayah Kampement (sekarang Yonif 411).
Selain peta zonasi dihasilkan pula beberapa peta tematik yang menyajikan mengenai detail tiap-tiap zona beserta bangunan-bangunan kolonial yang berada di zona tersebut. Berikut adalah tampilan peta-peta tematik tersebut:
|
|
|
||||||
|
||||||
|
||||||
Zona Chinesche Wijk (Jl. Jendral Sudirman dan sekeliling pasar Salatiga) merupakan wilayah dengan banyak sekali peninggalan kolonial bercorak Tionghoa. Sebagai kawasan pemukiman masyarakat etnis Tionghoa dengan sarana perekonomian, seperti: gudang, rumah lelang, rumah pemotongan hewan, gedung opera, dan bioskop Rex (Bioskop Reksa). Sedangkan zona Europesche Wijk (saat ini bernama Jl. Diponegoro, Jl. Yos Sudarso, Jl. Patimura, Jl. Moh. Yamin) dihuni oleh orang Eropa. Terdapat fasilitas umum seperti Gereja, kantor Asisten Residen dan Burgermeester, hotel, Gedung Societeit, asrama militer, benteng, perkantoran, dan banyak rumah tinggal. Selain di Jalan Diponegoro, terdapat juga kawasan Eropa lain di sekitar alun-alun kota (saat ini Lapangan Pancasila).
Kota Salatiga masa Kolonial terdapat sebuah barak pasukan kavaleri (sekarang Yonif 411). Di kawasan ini terdapat lapangan berkuda dan sebuah landasan pacu. Selain barak kavaleri, di Jl. Dr. Muwardi juga terdapat pemukiman militer yang dilengkapi dengan fasilitas rumah sakit militer. Sedangkan elit pribumi memiliki wilayah huniannya sendiri di sekitar Kepatihan (Lapangan Pancasila saat ini) hingga ke wilayah Sinoman (wilayah di sebelah barat Jetis saat ini). Di wilayah tersebut terdapat pusat pemerintahan tradisional yaitu Kepatihan. Dari segi pendidikan, sekitar Jl. Kartini terdapat sebuah kompleks yang hingga saat ini digunakan sebagai areal sekolahan (Schoolweg).
Terkait dengan penelitian ini yang bersinggungan erat dengan peninggalan sejarah/akeologi berupa peninggalan bangunan cagar budaya maka manfaat bangunan cagar budaya khusunya dalam bidang pendidikan dapat dikatakan bahwa Peninggalan bangunan cagar budaya dapat dijadikan bukti-bukti sejarah dan budaya karena memiliki nilai-nilai kebudayaan yang tinggi sehingga dapat dijadikan obyek pengetahuan sejarah dan budaya sebagai media pendidikan budaya bangsa. Dalam ilmu pengetahuan dapat dikembangan ilmu terapan seperti: arkeologi, maritim, arkeologi pariwisata ataupun arkeologi lingkungan.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan paparan pada BAB IV di atas dapat disimpulkan Pertama, Tatanan kota Salatiga masa Kolonial memiliki pola radial dan terpusat di tengah kota, menguntungkan pemerintahan dalam hal perekonomian, politik maupun pertahanan. Kedua, kota Salatiga masa Kolonial memiliki 3 zonasi pola pemukiman masyarakat, yaitu: pola pemukiman yang khusus msyarakat berkebangsaan Eropa disebut dengan Europesche Wijk berada di sekitar Tuntangescheweg (Jalan Diponegoro hingga jalur Salatiga-Tuntang), Pola pemukiman masyarakat beretnis Thionghoa yang disebut dengan Chinesche Wijk (Jalan Jendral Sudirman dan sekitar pasar) dan sekitar wilayah Kepatihan (wilayah sekitar Lapangan Pancasila), pola Pemukiman elit pribumi yang berada di sekitar kawasan Kepatihan (wilayah Lapangan Pancasila hingga ke wilayah Sinoman sebelah barat Jetis). Ketiga, terdapat wilayah yang dikhususkan sebagai wilayah fasilitas pendidikan di Jl. Kartini disebut dengan Schoolweg dan wilayah fasilitas militer sekarang menjadi kompleks Yonif 411 dan di Jl. Dr. Muwardi juga terdapat pula pemukiman militer yang dilengkapi dengan fasilitas Rumah Sakit Militer. Keempat, Manfaat bangunan cagar budaya dalam bidang pendidikan adalah sebagai media pembelajaran mengenai sejarah kota dan pentingnya pelestarian peninggalan-peninggalan sejarah untuk tetap dijaga dan dirawat.
DAFTAR PUSTAKA
Alrianingrum, Septina. 2010. “Cagar Budaya Surabaya Kota Pahlawan Sebagai Sumber Belajar. Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta
Balai Pelestarian Cagar Budaya. 2009. Kajian dan Identifikasi Bangunan Bersejarah di Kota Salatiga Tahun 2009. Salatiga: Bappeda Kota Salatiga.
Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti; Kumpulan Tulisan Boechari. Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia
Harini, T.M. Endah. 2010. “Pemanfaatan Benda-Benda Bersejarah Peninggalan Masa Kolonial Belanda Di Kota Salatiga Sebagai Sumber Belajar Di Sekolah Menengah Atasâ€. Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta
Karyono. 2002. “Kota Salatiga: Studi Tentang Perkembangan Kota Kolonial 1917 – 1942. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Kuntowijoyo. 1995. Methodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Martasari, Ludhyana. 2016. “Pola Keruangan dan Fungsi Situs Di Kawasan Situs Batujayaâ€. Skripsi. Yogyakarta: FIB UGM
Pranoto, Suhartono W. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Prayoga, Rizal Yoga. 2016. “Pola Sebaran Temuan Arkeologis Masa Klasik Di Lereng Timur Merapi Dan Faktor Yang Mempengaruhinyaâ€. Skripsi. Yogyakarta: FIB UGM
Republik Indonesia. 2010. Undang-undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Jakarta: Sekretariat Negara
Sumaatmaja, Nursid. 1988. Studi Geografi: Suatu Pendekatan dan Analisa Keruangan. Bandung: Alumni
Tjandrasasmita, Uka. 1982. Pencegahan Terhadap Pencemaran Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan, Sebagai Warisan Budaya Nasional. Jakata: Palem Jaya.
Republik Indonesia. 2010. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Jakarta: Sekretariat Negara.
Wuryani, Emy. 2006. “Distrik Salatiga 1900 – 1942â€. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Yuwono, Jarwo Susetyo Edi. 2007. “Kontribusi Aplikasi Sistem Informasi Geografis Dalam Berbagai Skala Kajian Arkeologi Lansekapâ€.Jurnal Berkala Arkeologi Th. XXVII Edisi No. 2/ November 2007.