Penyesuaian Diri Dan Strategi Coping
PERMASALAHAN PENYESUAIAN DIRI
DAN STRATEGI COPING
(KASUS TIGA REMAJA BERMASALAH
DI BALAI REHABILITASI SOSIAL)
Ajeng Ayu Widiastuti
Staf Pengajar Progdi PAUD FJIP-UKSW Salatiga
ABSTRAK
Penyesuaian diri merupakan interaksi antara individu dengan dirinya, individu dengan orang lain, serta individu dengan dunianya dimana ketiganya memiliki hubungan timbal balik. Ketika individu tidak dapat menyesuaikan diri maka akan timbul permasalahan, termasuk remaja. Guna mengatasi permasalahan tersebut, maka dibutuhkan sebuah strategi coping. Untuk itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja permasalahan penyesuaian diri dan bagaimana bentuk strategi coping remaja. Subyek dari penelitian ini adalah 3 remaja yang memiliki latar belakang keluarga yang berbeda-beda di Balai Rehabilitasi Sosial Salatiga. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja mengalami berbagai permasalahan penyesuaian dan memiliki strategi coping yang berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri remaja dibagi ke dalam dua hal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dapat digolongkan menjadi 5 hal, yaitu faktor fisik, emosi, psikologis, perkembangan dan kematangan kognitif, dan sosial. Faktor eksternal banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan keluarga, pertemanan, sekolah, Balai, masyarakat dan budaya yang berlaku. Selain itu, strategi coping yang dilakukan oleh remaja terbagi menjadi dua, yaitu strategi coping yang berfokus pada emosi dan strategi coping yang berfokus pada masalah.
Kata kunci: remaja, penyesuaian diri, strategi coping, Balai Rehabilitasi Sosial
PENGANTAR
Roberts, Manolis, & Tanner (2006) menyatakan bahwa orangtua memiliki dua peran penting dalam perkembangan anak, yaitu peran fisik dan psikis. Peran fisik diwujudkan melalui adanya pemenuhan kebutuhan makan, sandang, papan dan uang. Peran psikis dapat berupa penyediaan waktu, perhatian, kasih sayang, rasa aman, dan kedisiplinan terhadap anak. Papalia, Olds & Feldman (2001) menambahkan bahwa peran orangtua bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan psikis saja, namun kebutuhan sosial juga. Kebutuhan sosial dapat berupa kesempatan bagi anak untuk mengenyam pendidikan dan bersosialisasi dengan teman sebaya atau orang lain yang ada di sekitarnya. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua orangtua dapat memberikan segala kebutuhan anaknya. Salah satu hal yang menjadi kendala adalah faktor kemiskinan yang dialami oleh keluarga.
Listyaningsih (2004) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan fenomena sosial yang dapat terjadi di belahan dunia manapun. Kemiskinan juga merupakan sebuah kondisi serba kekurangan akan kebutuhan dasar yang meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dasar dan penghargaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Buckner, Mezzacappa & Beardslee (2003), dijelaskan bahwa kemiskinan berdampak pada ketidakberdayaan seseorang karena tidak memiliki aset sebagai sumber pendapatan yang dapat dikembangkan, keterisolasian, kelemahan kondisi fisik, serta kerentanan psikologis. Selain itu, orang yang mengalami kemiskinan cenderung mengembangkan pemikiran yang negatif saat mengalami stres tinggi, pesimis dan mudah menyerah (Lam & Chang, 2007). Kemiskinan juga dapat meningkatkan emosi yang negatif, seperti mudah marah dan perilaku mengancam, serta konflik dengan orang lain (Conger, Wallace, Sun, YSimons, McLoyd & Brody, 2002).
Hasil penelitian di atas didukung oleh penemuan Barret (2003) yang juga menunjukkan permasalahan kemiskinan keluar-ga dapat meningkatkan risiko salah penyesuaian (maladjustment) pada individu. Sebagai contoh, oleh karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan keluarga dan tekanan sosial yang dihadapi, seorang remaja berusia 13 tahun di Surabaya melakukan tindakan bunuh diri karena malu dan sering diejek lantaran tidak bisa membayar SPP (Jawapos.com, 2004). Selain itu, kasus serupa juga terjadi pada remaja putri berusia 12 tahun yang membakar diri setelah dimarahi oleh orangtuanya di depan teman-temannya (Republika, 2004). Berdasarkan dua contoh kasus tersebut, terlihat bahwa penyesuaian diri sangat dibutuhkan dalam kehidupan individu. Penyesuaian diri dibutuh-kan oleh seorang individu untuk dapat mengatasi permasalahan yang dihadapinya, dan penyesuaian diri juga merupakan salah satu tugas perkembangan remaja (Hurlock, 1996).
Remaja adalah satu tahap dalam rentang kehidupan yang merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa berkaitan dengan pencarian nilai hidup. Pada masa perkembang-annya, remaja mengalami masa krisis identitas (identity) dan kebingungan peran (diffusion) (Erikson, dalam Crain, 2007). Begitu pula Hall (dalam Sarwono, 2010) menyatakan bahwa masa remaja adalah masa topan badai (storm). Hal tersebut dikatakan oleh Hall untuk mencerminkan adanya gejolak dalam diri remaja akibat pertentangan tuntutan nilai dalam dirinya sendiri yang dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh sebab itu, remaja membutuhkan penyesuaian diri untuk mengatasi gejolak tersebut.
Penyesuaian diri merupakan salah satu tugas perkem-bangan yang penting bagi remaja. Lazarus (1976) mengatakan bahwa penyesuaian diri merupakan proses yang berlangsung guna memberikan respon secara kreatif terhadap suatu kondisi yang menekan dari lingkungan. Agustiani (2006) menambahkan penyesuaian diri sebagai reaksi individu terhadap tuntutan dari dalam diri maupun dari luar melalui cara-cara tertentu. Penyesuaian diri remaja tidak terbentuk dengan sendirinya, namun ada faktor yang mempengaruhinya, termasuk fisik, psikis dan lingkungan dimana remaja tersebut tinggal.
Dalam teorinya, Brofenbrenner (1978) mengatakan bahwa pengaruh pertama adalah lingkungan mikrosistem yaitu pihak keluarga. Menurut Ekowarni (2009), orangtua yang memberi pengaruh positif dapat mengoptimalkan potensi individu sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan seiring dengan tahap perkembangannya. Hasil penelitian Windle (2000) juga menunjukkan bahwa dukungan orangtua dapat menekan perilaku buruk individu dan meningkatkan kemandirian serta identitas diri pada tahap perkembangan berikutnya. Selain itu, Allen, Hauser, Bell, & O’Connor (1994) mengatakan bahwa hubungan yang baik tercermin dalam kelekatan antara orangtua dan anak pada masa remaja dapat membantu mengembangkan kompetensi dan kesejahteraan sosial remaja. Kelekatan tersebut dapat membantu remaja dalam memperoleh harga diri, penyesuaian diri, dan kesehatan fisik yang baik (Onishi & Gjerde, 1994). Kelekatan juga dapat memiliki fungsi adaptif yang menyediakan tempat bagi remaja untuk menjelajah dunianya dan menekan potensi emosional negatif remaja akibat transisi masa anak-anak ke dewasa. Akan tetapi tidak semua orangtua dapat menjalankan perannya mengingat kendala yang dihadapi, seperti kendala ekonomi, perceraian, fisik, maupun psikis.
Adapun salah satu jalan keluar yang diambil oleh orangtua adalah dengan menitipkan anak mereka kepada keluarga lainnya atau bahkan menitipkan mereka ke panti asuhan. Sebagai contoh, A (15 tahun) berasal dari keluarga ekonomi lemah dan ibunya pernah menjalani proses perceraian serta menikah lagi. Oleh karena kompleksitas permasalahan keluarga tersebut, maka Amy diasuh oleh salah seorang kerabat dari keluarganya. Akan tetapi, dalam perjalanan waktu, kerabat tersebut tidak dapat memenuhi segala kebutuhan hidup Amy oleh karena harus menghidupi ke empat anaknya sehingga Amy akhirnya masuk ke Panti Asuhan, yang kini disebut sebagai Balai Rehabilitasi Sosial.
Tinggal di Balai Rehabilitasi Sosial (BAREHSOS) dapat menjadi salah satu jalan keluar bagi permasalahan pendidikan dan pertumbuhan remaja. Akan tetapi tidak dipungkiri dapat menimbulkan permasalahan baru, dimana remaja tersebut harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan kondisi sebelumnya dan remaja akan mengalami banyak perubahan seperti perubahan tempat tinggal, struktur otoritas, perilaku dan suasana hati (mood), termasuk kemungkinan emosi, relasi dengan teman sebaya, dan bahkan akademik di sekolah (Amato, 2001; Garber, 1991; Kelly, 1998; Oppawsky, 2000; Roseby & Johnston, 1998, dalam Bing, Nelson III, & Wesolowski (2009).
Perubahan-perubahan tersebut menuntut adanya penyesuaian diri. Apabila remaja mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, maka akan timbul kesuksesan dalam menjalani hidup, kenyamanan psikologis, efisiensi kerja dan penerimaan dari lingkungan sekitarnya. Koentjoro (2011) mengatakan bahwa kesuksesan seorang individu dapat dilihat dalam lima hal yaitu kesuksesan dalam karir, keluarga, masyarakat, hobby, dan agama. Agar dapat mencapai kelima kesuksesan tersebut, maka individu harus mampu menyesuaikan diri. Begitu pula sebaliknya jika remaja tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik maka akan timbul perasaan rendah diri, malu, tidak dapat menerima dirinya sendiri, dan bahkan tertutup bagi lingkungannya. Hal tersebut senada dengan temuan Liu, Li & Ge (2009) pada anak-anak usia 10-17 tahun di Cina menunjukkan bahwa mereka tidak dapat menyesuaikan diri di tempat yang baru. Mereka mengalami symptom kecemasan dan depresi karena harus tinggal berpisah dari orangtua dan diasuh oleh orang lain, baik kerabat atau pengasuh Panti Asuhan.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti bermaksud untuk memahami apa sajakah permasalahan penyesuaian diri dan bagaimanakah strategi coping tiga remaja di Balai Rehabilitasi Sosial yang memiliki kompleksitas permasalahan seperti keluarga dengan ekonomi lemah dan memiliki orangtua bercerai kemudian menikah lagi, orangtua yang mengalami gangguan fisik maupun orangtua dengan gangguan psikis.
TINJAUAN PUSTAKA
Remaja dan Perkembangannya
Kata “remaja” secara umum diadopsi dari istilah Latin adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa. LaFreniere (2000) menyatakan bahwa remaja merupakan masa yang penuh perubahan dalam setiap aspek perkembangannya, baik secara fisik, mental, emosi dan sosial. Rice & Dolgin (2008) menjelaskan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa ini disebut masa transisi yang menuntut adanya perubahan baik secara fisik, seksual, kognitif, emosi dan sosial.
Sarwono (2010) dan Kidman (1995) mengatakan remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik, dimana seluruh anggota tubuh mencapai kesempurnaan fungsi dan tingkat kematangannya, termasuk perkembangan seksualnya. Piaget (dalam Slater & Blemner, 2003) mengatakan bahwa perkem-bangan kognitif remaja telah mencapai tahap operasional formal yang dapat berpikir abstrak dan mengembangkan konsep diri Allport (dalam Sarwono, 2010) yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri (self insight), dan kemampuan untuk menangkap humor (sense of humor).
Selain itu, perkembangan emosinya, Hall (dalam Slater & Blemner, 2003) mengajukan idenya dengan mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress). Akan tetapi tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan, namun remaja sering mengalami ketidakstabilan emosi dari waktu ke waktu (Hurlock, 1996). Di sisi lain, sesuai dengan tahap perkembangan psikososial yang dikemukakan oleh Erikson (dalam LaFreniere, 2000) remaja berada pada tahap kelima yaitu identity versus identity confusion. Tahap ini merupakan tahap perjuangan remaja dalam menemukan identitas diri (Slater & Bremner, 2003). Selain itu, dalam tahap ini remaja mulai tertarik untuk mengetahui siapa dan bagaimana dirinya serta kemana ia akan mengarahkan hidupnya (Santrock, 2002). Guna menemukan identitas dirinya, remaja banyak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, sekolah, teman sebaya dan lingkungan sosial lainnya.
Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri dapat dimaknai sebagai perilaku adjustment dan adaptive (Rosenhan & Seligman, 1989). Adjustment lebih mengarah pada penyesuaian pribadi dimana individu dapat menerima dirinya apa adanya, sedangkan adaptive merupakan penyesuaian sosial dengan menunjukkan perilaku yang dapat berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitar dengan baik (White & Watt, 1981). Hal tersebut senada dengan Calhoun & Acocella (1990) yang menguraikan bahwa penyesuaian diri merupakan interaksi antara individu dengan dirinya (self), individu dengan orang lain (others), serta individu dengan dunianya (world) dimana ketiganya memiliki hubungan timbal balik.
Strategi Coping
Lazarus & Folkman (dalam Smet, 1994) mendefinisikan coping sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk mengelola jarak antara tuntutan yang berasal dari dalam diri maupun lingkungan dengan sumber daya yang dimiliki. Stone & Neale (1984) menjelaskan coping sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan oleh individu untuk mengatasi dan mengontrol situasi yang menyebabkan stres. Di sisi lain, Sarafino (1990) menambahkan bahwa coping merupakan proses pengelolaan perasaan yang tidak sesuai antara tuntutan dengan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh individu dalam situasi yang menekan. Coping bukan bukan merupakan peristiwa tunggal karena coping menyangkut proses yang berlangsung terus menerus dengan lingkungan.
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kualita-tif guna memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara menyeluruh dan dideskripsikan dalam kata-kata dan bahasa pada konteks yang khusus dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Selain itu, adapun metode yang digunakan adalah metode fenomenologi dengan teknik analisis data Modification of the Stevick-Collaizzi-Keen Method dari Moustakas (1994).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penyesuaian diri merupakan hal penting yang dapat dimaknai sebagai perilaku adjustment dan adaptive. Adjustment lebih mengarah pada penyesuaian pribadi dimana individu dapat menerima keadaan dirinya apa adanya, sedangkan adaptive merupakan penyesuaian sosial dengan menunjukkan perilaku yang dapat berinteraksi dengan orang lain dan sekitar dengan baik. Pada bagian ini, temuan penelitian dikerucutkan pada permasalahan penyesuaian diri yang dialami oleh remaja berdasarkan faktor kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, psikologis, lingkungan, dan budaya (Lazarus, 1976).
Faktor pertama; kondisi fisik. Label yang diberikan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya membuat subjek 1 merasa tidak nyaman, seperti penampilan yang selalu disamakan dengan salah satu tokoh kartun dalam film anak-anak. Di sisi lain, subjek 2 dan 3 pun merasa malu dan rendah diri ketika harus mengalami satu penyakit yang membuat mereka harus dijauhi oleh orang-orang yang ada di sekitar mereka. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Harter (dalam Santrock, 2003) bahwa penampilan fisik merupakan sebuah kontributor yang sangat berpengaruh pada percaya diri remaja. Lord & Eccles (dalam Santrock, 2003) juga mengatakan bahwa konsep diri remaja yang berhubungan penampilan fisik merupakan faktor terkuat untuk meramalkan percaya diri remaja.
Faktor kedua; perkembangan dan kematangan. Subjek 1 memiliki ekspresi emosi yang berlebihan, seperti selalu tertawa terbahak-bahak ketika menertawai sesuatu, melontarkan kalimat umpatan pada seseorang yang tidak ia suka, cenderung marah besar dengan nada tinggi dan tidak mau mengalah dengan orang lain. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hurlock (1996) bahwa remaja merupakan masa yang penuh dengan tekanan dan memiliki gejolak emosi yang tidak stabil. Oleh sebab itu, remaja seringkali mengalami ketegangan emosi apabila menghadapi stressor yang datang secara tiba-tiba dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Di sisi lain, Sarwono (2010) mengungkap-kan bahwa bentuk emosi berhubungan erat dengan trait. Fleeson (2009) juga mengungkapkan bahwa trait memiliki pengaruh terhadap perilaku. Trait akan muncul dalam kondisi-kondisi yang sangat menekan dan penuh tuntutan. Selain itu, Vernon, Petrides, Bratko, & Schermer (2008) menyatakan bahwa trait merupakan bagian dari kecerdasan emosi. Apabila seseorang memiliki trait marah yang rendah, maka orang tersebut mampu mengontrol situasi yang dapat menyebabkan permusuhan.
Faktor ketiga; psikologis. Subjek 1 menuturkan bahwa tinggal di Balai membuat dia merasa rendah diri karena menurut pemikirannya anak-anak yang tinggal di Balai adalah anak-anak yang memiliki status sosial rendah. Di sisi lain, subjek 2 dan 3 merasa bahwa penyakit yang pernah mereka alami membuat mereka merasa rendah diri. Mereka malu, minder, gugup, tidak percaya diri dan takut salah. Harter (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa sikap-sikap yang berkembang seperti rasa rendah diri, malu, gugup atau takut merupakan bentuk-bentuk konsep diri yang negatif. Selanjutnya, Paulussen-Hoogeboom, Stams, Hermanns, Peetsma, & Wittenboer (2008) menyatakan bahwa konsep diri individu dipengaruhi oleh pola asuh dan interaksi yang terjalin antara individu tersebut dengan lingkung-annya sejak kanak-kanak.
Faktor keempat; lingkungan. Berdasarkan penuturan subjek 1, ia lahir dan dibesarkan tanpa mengetahui siapa ayah kandungnya. Subjek 1 hanya mengetahui bahwa ia lahir di luar ikatan pernikahan orangtua. Setelah menginjak usia 11 tahun, ia memiliki ayah baru dari pernikahan ibunya. Akan tetapi, subjek 1 merasa ayah tirinya jahat dan tidak menyayangi dia maka ia sering menujukkan perilaku yang kurang baik seperti mengumpat, mengabaikan tugas dan tanggungjawab, dan melakukan tindakan percobaan pembunuhan terhadap ayah tirinya. Andayani & Koentjoro (2004) menyatakan bahwa ibu bukanlah pengasuh tunggal dalam keluarga. Pada dasarnya ayah juga memiliki peran penting dalam pengasuhan anak. Apabila peran pengasuhan dari ayah hilang, maka pengasuhan tersebut menjadi timpang. Miller (dalam Andayani & Koentjoro, 2004) menjelaskan ketika ayah terlibat dalam pengasuhan dan menerapkan kedisiplinan pada anak, maka akan mengurangi kecenderungan anak untuk berperilaku eksternalisasi seperti marah, bandel dan berperilaku menyimpang, namun hal tersebut tidka terjadi pada subjek 1.
Temuan lain, subjek 2 dibesarkan dalam lingkungan keluarga dimana ibunya mengalami gangguan jiwa. Kondisi tersebut membuat subjek 2 seringkali mendapat cemooh dari tetangga maupun teman-teman yang berada di sekitar rumahnya, sehingga tumbuh perasaan rendah diri yang menyebabkan ia kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Lain halnya dengan subjek 3 yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga dimana ibunya mengalami gangguan fisik yang mengharuskan ia untuk banyak tinggal di rumah dan menjaga ibu serta kedua keponakannya selama ayah dan kakaknya bekerja. Oleh sebab itu, subjek 3 jarang bersosialisasi dengan orang lain.
Faktor kelima; budaya. Agama merupakan bagian dari budaya. Ketiga subjek mengakui bahwa sering meninggalkan kewajiban beribadah. Meskipun ada aturan dalam Balai untuk tetap menjalankan kewajiban agamanya, namun ketiga subjek sering lalai terhadap hal tersebut. Subjek 3 seringkali lupa untuk menjalankan ibadah karena aktivitas lain yang ia kerjakan. Subjek 1 cenderung sengaja mengabaikan ibadah dengan berbagai alasan seperti sedang berhalangan (menstruasi). Sedangkan subjek 2 juga sering meninggalkan ibadah, namun seringkali pula merasa gelisah apabila tidak menjalankan ibadah lima waktu.
Spilka (dalam Santrock, 2003) menyatakan bahwa remaja lebih merasa tertarik pada kegiatan keagamaan dibandingkan anak-anak. Pemikiran abstrak remaja semakin meningkat dan pencarian identitas pada remaja membawa mereka pada masalah-masalah agama. Akan tetapi hal tersebut jarang terjadi pada subjek 1 dan 3. Mereka hanya menjalankan ibadah keagamaan apabila hanya menghadapi masalah berat. Berbeda dengan subjek 2 yang mengalami perubahan tingkat keagamaan sejak tinggal di Balai. Pada awalnya subjek 2 jarang sekali menjalankan keagamaannya di rumah, namun sejak ia tinggal di Balai, maka ia mulai rajin beribadah. Minat spiritualnya mulai meningkat ketika budaya lingkungan mempengaruhinya, dimana orang-orang di sekelilingnya melakukan hal yang sama.
Faktor-faktor yang menyebabkan adanya permasalahan dalam penyesuaian diri tidak hanya berasal dari dalam diri individu (faktor internal), melainkan dapat pula berasal dari luar individu (faktor eksternal). Agar dapat menyeimbangkan tuntutan dari dalam diri dengan tekanan yang berasal dari luar, maka seseorang perlu memiliki strategi coping. Dalam taraf tertentu permasalahan penyesuaian diri mendorong seseorang untuk melakukan strategi coping yang adekuat guna mengatasi permasalahan yang dialami. Strategi coping yang adekuat menuntut adanya pemahaman dan pemaknaan yang disertai kemampuan individu yang bersangkutan.
Adapun bentuk strategi coping yang didasarkan pada temuan di lapangan dapat dianalisis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Lazarus & Folkman (dalam Nevid dkk, 2005) yang terbagi menjadi dua yaitu strategi coping yang berfokus pada emosi dan strategi coping yang berfokus pada masalah. Kemudian Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 1998) menggo-longkan strategi coping yang berfokus pada emosi menjadi beberapa bagian, akan tetapi peneliti hanya memasukkan bagian-bagian yan berkaitan dengan hasil analasis data penelitian yang telah dirumuskan.
Escape avoidance. Golongan ini adalah sikap yang menghindari atau melarikan diri dari masalah yang dihadapi. Dalam golongan ini, ketiga subjek menuturkan hal yang sama. Ketika menghadapi masalah, mereka memiliki keinginan untuk menghindar. Subjek 1 ketika merasa tidak suka dengan seseorang, maka ia akan cenderung menghindari orang yang sedang bermasalah dengan dia jika ia tidak sanggup melawan. Begitu pula dengan Subjek 2 yang lebih memilih tinggal di Balai dibandingkan di rumah karena beban kerja yang lebih besar. Sedangkan Subjek 3 lebih cenderung diam sebagai dasar antisipasi terhadap permasalahan. Hal ini sesuai dengan teori Santrock (2002) dimana individu akan cenderung menghindar dan melakukan tindakan menarik diri dari permasalahan yang dihadapi.
Self controlling. Ketika menghadapi suatu masalah, Subjek 3 lebih cenderung mengambil sikap diam dan berusaha menjaga perasaan orang yang sedang berkonflik dengannya. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh Vernon, Petrides, Bratko, & Schermer (2008) bahwa trait berhubungan dengan kecerdasan emosi. Apabila individu memiliki trait marah rendah, maka ia akan menggunakan kognisinya untuk mengontrol situasi agar tidak terjadi pertentangan. Hal tersebut terlihat pada diri subjek 3 yang cenderung diam dan mengontrol diri agar tidak bertengkar dengan teman.
Positive reappraisal. Subjek 1 mengakui bahwa ia hanya berdoa ketika sedang menghadapi masalah, namun ketika ia merasa tidak ada masalah, maka ia tidak menjalankan ibadah. Begitu pula dengan Subjek 3 yang selalu berdoa terlebih ketika ibunya sakit keras. Hal ini serupa dengan apa yang diungkapkan oleh Carver, Scheier & Meintraub (1989) dimana salah satu ciri strategi coping adalah back to value yaitu perilaku kembali pada nilai-nilai agama yang dianut.
Golongan kedua untuk coping yang berfokus pada masalah adalah planful problem solving, confrontative coping, dan seeking social support. Untuk planful problem solving tidak didapati dari subjek.
Confrontative coping. Hal ini sering dilakukan oleh Subjek 1 ketika sedang menghadapi masalah terutama dengan seseorang. Ketika ia sedang berkonflik dengan teman atau ayah tirinya, maka akan cenderung melawan dengan perkataan-perkataan umpatan atau bahkan makian. Akan tetapi, ketika sedang bermasalah dengan pengasuh, maka umpatan-umpatan tersebut tidak ia lontarkan secara keras.
Seeking social support. Subjek 1 dan 2 ketika tidak dapat menemukan jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi, maka mereka akan meminta bantuan pada orang lain dengan menceritakan permasalahan mereka. Hal ini juga sesuai dengan seeking social support for instrumental reasons yang dijelaskan oleh Carver, Scheier & Meintraub (1989). Subjek 2 akan mencari orang yang lebih dewasa dan berpengalaman untuk dapat menyelesaikan masalahnya, contohnya masalah mengenai HP nya yang hilang. Akan tetapi berbeda dengan Subjek 1 yang suka menceritakan masalahnya pada teman-teman sebayanya namun seringkali dengan berbeda orang. Subjek 1 tidak tentu menceritakan masalahnya pada siapa atau teman yang mana. Hal itu bergantung dengan siapa saat itu ia sedang dekat atau berkawan karib.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa masing-ma-sing subjek memiliki pengalaman permasalahan dengan penyesuaian diri dan strategi coping. Hal yang membuat peneliti tertarik adalah temuan mengenai strategi coping yang dilakukan oleh Subjek 3. Pada umumnya anak laki-laki atau pria dewasa akan lebih cenderung menggunakan logika berpikir dan menggunakan strategi coping yang berfokus pada masalah. Akan tetapi Subjek 3 lebih cenderung menggunakan strategi coping yang berfokus pada emosi. Jika dirunut dari latar belakangnya, maka hal tersebut dipengaruhi oleh keluarganya, maka terlihat bahwa Subjek 3 jarang terlibat dalam kehidupan sosial masyarakat. Berdasarkan penuturan informan, Subjek 3 lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah dibandingkan bermain di luar. Setelah pulang sekolah, ia banyak menghabiskan waktu bermain bersama kedua keponakannya dan menjaga ibunya yang sedang sakit di rumah.
Di sisi lain, temuan menarik juga peneliti dapatkan melalui pengalaman subjek 1yang lebih cenderung menggunakan convrontative coping dalam menyelesaikan masalah. Subjek 1 tumbuh dengan tidak mengenal siapa ayah kandungnya. Ia mengetahui bahwa ibunya hamil dan melahirkan dia tanpa adanya ikatan suami istri seiring dengan pertumbuhannya. Selain itu, ia merasa mempunyai ayah tiri yang jahat padanya. Di sisi lain, Subjek 1 juga mengetahui bahwa ia dan kakaknya bukanlah saudara sekandung. Mereka memiliki ayah yang berbeda, namun kakaknya tahu jelas siapa ayah kandungnya. Kondisi inilah yang memungkinkan Subjek 1 untuk melakukan confrontative coping, perilaku yang cenderung menyerang untuk menghadapi masalah. Oleh sebab itu dapat diketahui bahwa, ada faktor lain yang mempengaruhi seseorang dalam menyesuaikan diri dan melakukan strategi coping. Yaitu faktor karakter situasional dan perbedaan karakter masing-masing subjek (Parker, 1986).
KESIMPULAN
Remaja mengalami permasalahan yang beragam dalam menyesuaikan diri, baik sebelum dan setelah masuk Balai Rehabilitasi Sosial. Permasalahan penyesuaian diri banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal termasuk kondisi fisik, psikologis, emosi, perkembangan dan kematangan intelektual. Faktor eksternal banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan keluarga, pertemanan, masyarakat sekitar dan lingkungan Balai tempat mereka tinggal saat ini, serta budaya yang berkembang di lingkungan mereka.
Berdasarkan tema-tema yang didapatkan dari hasil penelitian menujukkan bahwa remaja mengalami permasalahan dalam penyesuaian diri dari pengalaman-pengalaman yang dirasakan baik sebelum dan setelah masuk BAREHSOS. Hal yang paling dominan berperan dalam penyesuaian diri adalah masalah konsep dan penerimaan diri. Status yang disandang, kondisi fisik dan kondisi keluarga membuat mereka merasa rendah diri dan malu terhadap orang lain.
Meskipun remaja memiliki permasalahan dalam penyesu-aian diri, bukan berarti mereka tidak memiliki cara-cara tertentu yang dilakukan guna mengatasi permasalahan tersebut. Hasil analisis penelitian ini juga menunjukkan bahwa masing-masing subjek memiliki cara atau strategi coping yang berbeda dalam mengatasi masalah, tuntutan dan tekanan yang dihadapi. Strategi coping yang dilakukan oleh masing-masing subjek adalah strategi coping yang berfokuskan pada masalah dan strategi coping yang berfokuskan pada emosi. Akan tetapi, hal tersebut bergantung pada karakter situasional yang sedang dihadapi, faktor lingkungan, dan kepribadian masing-masing subjek.
Penelitian ini memiliki keterbatasan dan kelemahan, oleh sebab itu, apabila penelitian ini mengkaji fenomena yang dialami remaja berdasarkan tiga latar belakang yang berbeda, maka penelitian selanjutnya dapat mengkaji dari sisi kuantitatif dengan melihat dari keseragaman latar belakang keluarga, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai studi awal.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, H. (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Refika Aditama.
Allen, J.P., Hauser, S.T., Bell, K.L., & O’Connor, T.G. (1994). Longitudinal Assessment of Autonomy and Relatedness in Adolescent-Family Interactions as Predictors of Adolescent Ego Development and Self-Esteem. Child Development, 65, 179-194.
Andayani, B. & Koentjoro (2004). Psikologi Keluarga: Peran Ayah Menuju Coparenting. Sidoarjo: CV. Citra Media.
Barrett, H. (2003). Parenting Programmes for Families at Risk. London: National Family and Parenting Institute.
Bing, N.M., Nelson III, W.M., & Wesolowski, K.L. (2009). Comparing The Effects of Amount of Conflict on Children’s Adjustment Following Parental Divorce. Journal of Divorce & Remarriage, 50, 159–171.
Bucker, J.C., Mezzacappa, E., & Beardslee, W.R. (2003). Characteristic of Resilient Youths Living in Poverty: The Role of Self-Regulatory Processes. Development and psychopathology, 15,139-162.
Brofenbrenner, U. (1978). The Ecology of Human Development. Cambridge: Harvard University Press.
Carver, C.S., Scheier, M.F., & Meintraub, J.K. (1989). Assessing coping strategies: theorically based approach. Journal Of Personality And Social Psychology, 56 (2), 267-283
Conger, R.D., Wallace,L.E., Sun, Y., Simons, R.L., McLoyd, V.C., & Brody, B.H. (2002). Economic Pressure in African American Families: A Replication and Extension of The Family Stress Model. Developmental Psychology, 38, 179-193.
Crain, W. (2007). Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi. Terjemahan Yudi Santoso. Yogyakata: Pustaka Pelajar.
Ekowarni, E. (2009). Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini. Bulletin PAUD. Jurnal Ilmiah Anak Usia Dini, 8 (2), 30-49.
Fleeson, W. (2009). The implication of big five standing for the distribution of trait manifestation in behavior:fifteen experience sampling studies and meta-analysis. Journal of Personality and Social Psychology,97(6),1097-1114.
Hurlock, E.B. (1996). Psikologi perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Terjemahan Istiwidayanti, Soedjarwo & Ridwan Max Sijabat. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jawapos.com (2004). Bocah SD Gantung Diri Gara-Gara Tak Mampu Bayar SPP. Diunduh pada 14 April 2011 dari http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_radar&id=52959&c=90
Kidman, A. (1995). Family Life: Adapting to Change. A Self Help Manual. Australia: Biochemical &General Services.
Koentjoro (2011). Hasil wawancara.
LaFreneire, P.J. (2000). Emotional Development: A Biosocial Perspective. USA: Wadsworth/ Thompson Learning.
Lam, C.B. & Chang, M.C.A. (2007). Resilience in Young Adulthood: The Moderating Influences of Gender Related Personality Traits and Coping Flexibility. Sex roles, 56, 159-172.
Lazarus, R.S. (1976). Patterns of Adjustment. Third edition. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha.
Listyaningsih, U. (2004). Dinamika Kemiskinan di Yogyakarta: Analisis Data Hasil Survey Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia Tahun 1997 dan 2000. Yogyakarta: pusat studi kependudukan dan kebijakan Universitas Gadjah Mada.
Liu, Z., Li, X., & Ge, X. (2009). Left Too Early: The Effects of Age at Separation from Parents on Chinese Rural Children’s Symptoms of Anxiety and Depression. American Journal of Public Health, 99 (11), 2049-2054.
Moutakas, C. (1994). Phenomenological Research Methods. California: SAGE Publications Inc.
Onishi, M., & Gjerde, P.F. (1994). Attachment Styles: A Multi-Method Examination of Concurrent and Prospective Personality Characteristics. Society for Research on Adolescence. San Diego.
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2001). Human Development (8th ed). New York: McGraw Hill.
Parker, K.R. (1986). Coping In Stressful Episodes: The Role of Individual Differences, Environment Factor, and Situational Characteristic. Journal of personality and social psychology. 51(6), 1277-1292.
Paulussen-Hoogeboom, M., Stams, G., Hermanns, J., Peetsma, T., & Wittenboer, G. (2008). Parenting Style as a Mediator Between Children’s Negatif Emotionality and Problematic Behavior in Early Childhood. The Journal of Genetic Psychology, 169 (3), 209-226.
Republika (2004). Khodijah Bunuh Diri Dengan Menyirami Seluruh Tubuhnya Dengan Minyak Tanah. Koran Republika 11 Juni 2004.
Rice, F.P. & Dolgin, K.G. (2008). The Adolescence: Development, Relationships, and Culture. USA: Pearson Education.
Roberts, J.A., Manolis, C., Tanner, J.F. (2006). Adolescent autonomy and the impact of family structure on materialism and compulsive buying. Journal of Marketing Theory and Practice, 14 (4), 301-314.
Rosenhan, D.L. & Seligman, M.E.P. (1989). Abnormal psychology. Second Edition. New York: W.W. Norton and Company.
Santrock, J.W. (2002). Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. (edisi 4). Terjemahan Damanik, J & Chusairi . Jakarta: Penerbit Erlangga.
Santrock, J.W. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaja. (edisi 6). Terjemahan Adelar, S.B. & Saragih, S. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sarafino, E.P. (1998). Health Psychology: Biopsychosocial Intervention. Third Edition. New York: John Willey & Sons, Inc.
Sarwono, S.W. (2010). Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Slater, A. & Blemner, G. (2003). An Introduction to Developmental Psychology. USA: Blackwell Publishing Ltd.
Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: Grasindo.
Smith, J.A. (2006). Qualitative Psychology: A Practical Guide to Research Methods. California. SAGE Publications Inc.
Stone, A.A., & Neale, J.M. (1984). New Measure of Daily Coping: Development and Primary Results. Journal of personality and social psychology. 46 (4), 892-906.
Vernon, P.A., Petrides, K.V., Bratko, D., & Schermer, J.A. (2008). A behavioral genetic study of trait emotional intelligence. Journal of Emotion, 8(5), 635-642.
White, R.W. & Watt, N.F. (1981). The abnormal psychology. Fifth Edition. New York: John Wiley and Sons, Inc.
Windle, M. (2000). Parental, Ssibling, and Peer Influences on Adolescent Substance Use and Alcohol Problems. Journal of Applied Development Science, 4. 98-110.