PERAN DIKSI DALAM SEBUAH KARYA SASTRA

Supriyono

FKIP Universitas Terbuka UPBJJ Purwokerto

ABSTRAK

Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seorang pengarang dalam usahanya untuk menghayati kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya, baik yang dialami pada diri sendiri maupun yang terjadi pada orang lain pada kelompok masyarakatnya. Kualitas sebuah karya sastra ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya melalui pemilihan kata (diksi) yang tepat. Diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata pengarang untuk mengungkapkan gagasan mereka dalam karya sastranya. Diksi sangat berperan dalam sebuah karya sastra, yaitu: (1) memperjelas maksud, yaitu membuat orang yang membaca atau pun mendengar karya sastra menjadi lebih faham tentang apa yang ingin disampaikan oleh pengarang; (2) membuat komunikasi antara pengarang dengan pembaca menjadi lebih efektif; (3) membentuk ekspresi atau pun gagasan yang tepat sehingga mampu menyenangkan pendengar atau pun pembacanya; (4) melambangkan ekspresi yang ada dalam gagasan secara verbal (tertulis atau pun terucap); (5) menimbulkan tanggapan pikiran pembaca karena ada makna lain yang muncul di balik sebuah kata; (6) menimbulkan keindahan yang menyangkut aspek bentuk sebagaimana dikreasikan penuturnya; (7) menonjolkan bagian tertentu (foregrounding) suatu karya, yang dapat berupa tokoh, setting, atau keadaan dalam suatu karya sastra.

Kata kunci: diksi, karya sastra, peran

 

Pendahuluan

Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seorang pengarang dalam usahanya untuk menghayati kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya, baik yang dialami pada diri sendiri maupun yang terjadi pada orang lain pada kelompok masyarakatnya. Hasil imajinasi pengarang tersebut dituangkan ke dalam bentuk karya sastra untuk dihidangkan kepada masyarakat pembaca guna dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan. Dengan demikian, karya sastra bukanlah suatu uraian-uraian kosong atau khayalan yang sifatnya sekedar menghibur pembaca saja, melainkan melalui karya sastra diharapkan pembaca juga lebih arif dan bijaksana dalam bertindak dan berpikir, karena karya sastra selalu berisi masalah kehidupan manusia nyata. Jadi, tidak salah dikatakan bahwa karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat. Karya sastra dapat disampaikan melalui lisan atau tulisan yang dapat dinikmati penikmat karya sastra (Sumardjo, 2016: 30).

Dewasa ini dunia sastra mengalami perkembangan serta kemajuan yang pesat, hal ini didukung dengan banyaknya karya sastra yang dihasilkan oleh orang-orang yang memiliki jiwa sastra tinggi. Menurut Aminuddin (2012: 9) karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya sastra bersifat estetik (dalam arti seni). Karya sastra biasanya diciptakan dari latar belakang yang dialami oleh pengarang/penyair melalui pengalaman sendiri atau yang dialami oleh orang lain. Hal tersebut berarti sang pengarang/penyair menciptakan suatu karya sastra (novel, cerpen, prosa, lirik lagu, dan lain sebagainya) sesuai keadaan yang dialami oleh si (pengarang/penyair) dan orang lain, baik dalam keadaan senang, kecewa, ataupun sedih.

Bahasa sastra mempunyai karakteristik yang berbeda dengan bahasa ilmiah atau bahasa sehari-hari. Bahasa sastra penuh dengan ambiguitas dan homonim, serta memiliki kategori-kategori yang tidak beraturan dan tidak rasional seperti gender. Bahasa sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya. Sarana-sarana bahasa dimanfaatkan secara lebih sistematis dan dengan sengaja dalam karya sastra. Pengarang mempunyai kebebasan berbahasa dalam menuangkan idenya dalam karya sastra (Martinich, 2011:15).

Salah satu ciri khas karya sastra adalah bersifat imajinatif, maksudnya mampu membangkitkan perasaan senang, sedih, marah, benci, dendam, dan sebagainya. Semua perasaan itu tercipta oleh pengaruh teknik bercerita pengarangnya, baik melalui pemilihan kata, susunan kalimat ataupun penampilan tokoh-tokoh ceritanya (Teeuw, 2011: 14).

Gaya pemilihan kata-kata dalam karya sastra adalah cara penggunaan kata-kata dalam teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan ide atau gagasan dan nilai-nilai estetis tertentu (Aminuddin, 2012: 201). Pemahaman terhadap cara penggunaan kata-kata dalam karya sastra perlu dilandasi pemahaman gambaran isi teks secara keseluruhan dan pemahaman hubungan kata-kata dalam satuan teks secara asosiatif. Hal tersebut mempunyai manfaat agar dalam memahami penggunaan kata-kata tidak menyimpang dari isi teks dan hubungannya dengan kata-kata yang lain. Pemilihan kata dan gaya perlu didudukkan dalam kerangka hubungan, pilihan kata, aspek luar yang diacu, hubungan asosiatif dengan kata dan unsur-unsur lain dalam satuan teks. Dengan kata lain kualitas sebuah karya sastra diantaranya ditentukan oleh pemilihankata atau diksi yang tepat. Jurnal ini mencoba mengkaji secara teoritis tentang peran diksi dalam sebuah karya sastra.

Tinjauan Pustaka

Tinjauan tentang Karya Sastra

Karya sastra merupakan kreativitas seseorang terhadap ide, pikiran, dan perasaan yang dimilikinya. Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang mengambil kehidupan manusia sebagai sumber inspirasinya. Karya sastra tidak mungkin lahir dari kekosongan budaya. Menurut Segers (2010: 32), hakikat karya sastra adalah rekaan atau yang lebih sering disebut imajinasi. Imajinasi dalam karya sastra adalah imajinasi yang berdasarkan kenyataan. Imajinasi tersebut juga diimajinasikan oleh orang lain. Pada hakikatnya karya sastra adalah rekaan, namun karya sastra dikonstruksi atas dasar kenyataan.

Karya sastra merupakan hasil imajinasi, namun karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan. Karya sastra dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup, walaupun dilukiskan dalam bentuk fiksi. Karya sastra dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan batin. Karya sastra juga dapat dijadikan sebagai pengalaman untuk berkarya karena siapa pun bisa menuangkan isi hati dan pikiran dalam sebuah tulisan yang bernilai seni. Sastra tidak hanya sebagai hiburan, tetapi sastra juga merupakan suatu kebutuhan batin yang harus dipenuhi Segers (2010: 33).

Karya sastra merupakan dunia kemungkinan, artinya ketika pembaca berhadapan dengan karya sastra, maka ia berhadapan dengan kemungkinan penafsiran. Setiap pembaca berhak dan seringkali berbeda hasil penafsiran terhadap makna karya sastra. Pembaca dengan horison harapan yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap sebuah karya sastra tertentu. Hal ini berkaitan dengan masalah sifat, fungsi dan hakikat karya sastra. Sifat- sifat khas sastra ditunjukkan oleh aspek referensialnya (acuan), “fiksionalitas”, “ciptaan” dan sifat “imajinatif”. Selanjutnya fungsi sastra tergantung dari sudut pandang serta ditentukan pula oleh latar ideologinya. Hakikat keberadaan karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Ketiga unsur itulah yang menyebabkan masalah yang luas dan kompleks dalam dunia sastra. Hal ini juga telah memungkinkan beragamnya teori dan pendekatan terhadap karya sastra, beragamnya aliran dalam sastra dan memungkinkan beragamnya konsep estetik karya sastra (Wellek dan Warren, dalam Hartoko dan Rahmanto, 2012: 19).

Karya sastra pada umumnya berisi permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kehadiran karya sastra dapat membawakan persepsi tentang kehidupan, seperti pengalaman yang memberi pembaca kesadaran dan pengertian besar tentang arti sebuah kehidupan. Melalui karya-karya sastra itulah manusia menggunakannya sebagai cermin dalam memaknai dan memahami kehidupan. Berdasarkan gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan hasil cipta manusia yang bersifat imajinatif. Sebagai hasil yang imajinatif sastra berfungsi sebagai bahan bacaan yang menyenangkan yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai budaya dan berguna menambah kekayaan batin bagi permasalahan manusia dan kehidupan.

Tinjauan tentang Diksi

Menurut Moeliono (2012: 95), diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata pembicara atau pengarang untuk mengungkapkan gagasan mereka. Diksi bukan hanya berarti pilih memilih kata. Istilah ini bukan saja digunakan untuk menyatakan gagasan atau menceritakan peristiwa tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan,dan sebagainya. Lebih lanjut Keraf (2010: 23) menyatakan bahwa diksi atau pemilihan kata mempunyai arti yang lebih luas, tidak hanya digunakan untuk menyatakan kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi atau cara memakai kata atau frase dalam konstruksi yang lebih luas, baik dalam bentuk ujaran maupun tulisan, gaya bahasa, dan ungkapan. Dalam diksi harus dapat membedakan denotasi dan konotasi, dapat membedakan kata yang bersinonim, membedakan kata-kata yang mirip ejaannya, dan mengetahui kata-kata serapan dari bahasa asing.

Jurnal Ghofur (2014: 14) mengemukakan poin-poin tentang diksi yaitu:

(1)  Pemilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.

(2)  Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk membentuk bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

(3)  Pilihan kata yang sesuai dan tepat hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu, sedangkan yang dimaksud dengan kosakata atau perbendaharaan kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa.

Selanjutnya Keraf, (2010: 89-108) menyebutkan jenis-jenis diksi sebagai berikut.

(1)  Denotasi, adalah konsep dasar yang didukung oleh suatu kata (makna itu menunjuk pada konsep, referen, atau ide). Denotasi juga merupakan batasan kamus atau definisi utama suatu kata, sebagai lawan dari pada konotasi atau makna yang ada kaitannya dengan itu. Denotasi mengacu pada makna yang sebenarnya. Contoh makna denotasi: Rumah itu luasnya 250 meter persegi. Ada seribu orang yang menghadiri pertemuan itu.

(2)  Konotasi, adalah suatu jenis makna kata yang mengandung arti tambahan, imajinasi atau nilai rasa tertentu. Konotasi merupakan kesan-kesan atau asosiasi-asosiasi, dan biasanya bersifat emosional yang ditimbulkan oleh sebuah kata di samping batasan kamus atau definisi utamanya. Konotasi mengacu pada makna kias atau makna bukan sebenarnya. Contoh makna konotasi: Rumah itu luas sekali. Banyak sekali orang yang menghadiri pertemuan itu.

(3)  Kata abstrak, adalah kata yang mempunyai referen berupa konsep, kata abstrak sukar digambarkan karena referensinya tidak dapat diserap dengan pancaindera manusia. Kata-kata abstrak merujuk kepada kualitas (panas, dingin, baik, buruk), pertalian (kuantitas, jumlah, tingkatan), dan pemikiran (kecurigaan, penetapan, kepercayaan). Kata-kata abstrak sering dipakai untuk menjelaskan pikiran yang bersifat teknis dan khusus.

(4)  Kata konkrit, adalah kata yang menunjuk pada sesuatu yang dapat dilihat atau diindera secara langsung oleh satu atau lebih dari pancaindera. Kata konkrit menunjuk kepada barang yang aktual dan spesifik dalam pengalaman. Kata konkrit digunakan untuk menyajikan gambaran yang hidup dalam pikiran pembaca melebihi kata-kata yang lain. Contoh kata konkrit: meja, kursi, rumah, mobil.

(5)  Kata umum, adalah kata yang mempunyai cakupan ruang lingkup yang luas, kata-kata umum menunjuk kepada banyak hal, kepada himpunan, dan kepada keseluruhan. Contoh kata umum: binatang, tumbuh-tumbuhan, penjahat, kendaraan.

(6)  Kata khusus, adalah kata-kata yang mengacu kepada pengarahan-pengarahan yang khusus dan konkrit. Kata khusus memperlihatkan kepada objek yang khusus. Contoh kata khusus: kerapu, kakak tua.

(7)  Kata populer, adalah kata-kata yang umum dipakai oleh semua lapisan masyarakat, baik oleh kaum terpelajar atau oleh orang kebanyakan. Contoh kata popular: bukti, rasa kecewa, maju, gelandangan.

(8)  Kata slang, adalah kata-kata non-standard yang informal, yang disusun secara khas, bertenaga dan jenaka yang dipakai dalam percakapan, kata slang juga merupakan kata-kata yang tinggi atau murni. Contoh kata slang: mana tahan, eh ketemu lagi, unyu-unyu.

(9)  Kata asing, ialah unsur-unsur yang berasal dari bahasa asing yang masih dipertahankan bentuk aslinya karena belum menyatu dengan Bahasa aslinya. Contoh kata asing: computer, cyber, internet, go public.

(10) Kata serapan, adalah kata dari bahasa asing yang telah disesuaikan dengan wujud atau struktur bahasa Indonesia. Contoh kata serapan: ekologi, ekosistem, motivasi, music, energi.

Agar usaha mendayagunakan penceritaan melalui pilihan kata dapat tercapai, dengan baik maka pembicara/pengarang harus mempunyai penguasaan diksi yang baik pula, yaitu: (1) tepat memilih kata untuk mengungkapkan gagasan atau hal yang diamanatkan, (2) untuk memilih kata secara tepat, maka pembicara/pengarang harus mempunyai kemampuan untuk membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa pembacanya, (3) pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya mungkin terjadi kalau ia menguasai sejumlah besar kosa kata (perbendaharaan kata), serta mampu pula menggerakkan dan mendayagunakan kekayaannnya tersebut menjadi jaring-jaring kalimat yang jelas dan efektif. Contoh-contoh penggunaan diksi dalam cerita fiktif misalnya penggunaan metafora, anafora, litotes, simile, personafikasi dan sebagainya (Moeliono, 2012: 97).

Suatu kekhilafan yang besar untuk menganggap persoalan diksi merupakan persoalan yang sederhana, persoalan yang tidak perlu dibicarakan atau dipelajari karena akan terjadi dengan sendirinya secara wajar pada setiap manusia. Dalam kehidupan sehari-hari banyak dijumpai orang yang sulit sekali mengungkapkan maksud isi hatinya dan sangat miskin variasi bahasanya. Sebaliknya, banyak dijumpai juga orang-orang yang sangat boros dan mewah mengobralkan perbendaraan katanya, namun tidak ada isi yang tersirat di balik kata-kata itu. Untuk tidak sampai terseret ke dalam dua kondisi ekstrim ini, maka setiap anggota masyarakat memerlukan penguasan diksi yang memadai dalam berkomunikasi sehari-hari (Ramlan, 2011: 145)

Peran Diksi dalam Sebuah Karya Sastra

Pilihan kata atau diksi bukan merupakan persoalan yang sederhana. Seseorang yang banyak ide atau gagasan, terkadang sulit menemukan idenya karena kosa kata yang dimilikinya terbatas. Ada sebagaian orang yang kaya kosa kata sehingga mampu menuangkan idenya, tetapi ide atau gagasannya itu sulit diterima oleh orang lain. Hal ini disebabkan karena dalam memilih kata tidak tepat dan tidak sesuai. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dirasakan penulis (Keraf, 2010: 81). Penempatan dan penggunaan kata-kata dalam karya sastra perlu dilakukan secara hati-hati dan teliti serta lebih tepat. Hal ini terjadi karena kata-kata yang digunakan pengarang dalam karya sastranya tidak seluruhnya bergantung pada makna denotatif tetapi lebih cenderung pada makna konotatif. Pengarang dalam memilih kata yang berkonotasi paling tepat untuk menungkapkan gagasannya, yang mampu membangkitkan asosiasi-asosiasi tertentu walau kata yang dipilihnya berasal dari bahasa lain. Konotasi atau nilai kata inilah justru lebih banyak memberi efek bagi para pembaca.

Denotasi adalah batasan kamus atau definisi utama suatu kata sebagai lawan dari konotasi atau makna yang ada kaitannya dengan itu (Tarigan, 2010: 58). Makna denotatif atau denotasi kata mengacu pada makna lugas atau makna sebenarnya. Makna denotatif biasa digunakan untuk menuliskan hal-hal yang bersifat ilmiah, akurat, non fiksi, dan untuk memberikan informasi sebenarnya.

Konotasi adalah kesan-kesan atau asosiasi-asosiasi biasanya bersifat emosional yang ditimbulkan oleh sebuah kata disamping berdasarkan kamus atau definisi atasnya (Tarigan, 2010: 58). Makna konotatif atau konotasi kata mengacu pada makna kias atau makna bukan sebenarnya. Makna konotatif mengandung imajinasi, nilai rasa, dan dimaksudkan untuk menggugah rasa.

Kelangsungan kata merupakan salah satu cara untuk menjaga ketepatan kata. Kelangsungan pilihan kata adalah teknik memilih kata yang sedemikian rupa, sehingga maksud atau pikiran seseorang dapat disampaikan secara tepat dan ekonomis (Keraf, 2010:100). Penggunaan kata secara tepat akan menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar. Persoalan kedua dalam diksi adalah kesesuaian dan kecocokan kata. Mengenai kecocokan dan kesesuaian kata ini yang menjadi permasalahan adalah kata mana yang digunakan dalam kesempatan tertentu sehingga kata tersebut bisa diterima pembaca atau pendengar. Sejalan dengan pendapat Keraf (2010:103) yang menyatakan bahwa persoalan kecocokan atau kesesuaian kata mempersoalkan apakah pilihan kata yang digunakan tidak merusak suasana atau menyinggung perasaan yang tidak hadir. Dengan demikian ada dua hal yang harus diperhatikan untuk menemukan diksi yang tepat, yaitu: (1) ketepatan kata, yaitu kesanggupan kata menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca, sesuai yang dirasakan pengarang; (2) kesesuaian kata, ialah kata yang dipilih sesuai dengan situasi dan kesempatan, sehingga bisa diterima oleh pembaca.

Hal utama yang harus dikuasai pengarang dalam pemilihan kata adalah memiliki banyak kosa kata untuk memudahkan bagi pengarang dalam memilih kata yang tepat. Berdasarkan beberapa rangkaian pemilihan kata tersebut menunjukkan bahwa diksi memiliki peran penting dalam karya sastra. Penempatan diksi juga merupakan salah satu teknik menyampaikan gagasan. Salah satu ciri khas karya sastra adalah bersifat imajinatif, maksudnya mampu membangkitkan perasaan senang, sedih, marah, benci, dendam, dan sebagainya. Semua perasaan itu tercipta oleh pengaruh teknik bercerita pengarangnya, baik melalui pemilihan kata, susunan kalimat ataupun penampilan tokoh-tokoh ceritanya.

Gaya pemilihan kata-kata dalam karya sastra adalah cara penggunaan katakata dalam teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan ide atau gagasan dan nilai-nilai estetis tertentu (Aminuddin, 2012: 201). Pemahaman terhadap cara penggunaan kata-kata dalam karya sastra perlu dilandasi pemahaman gambaran isi teks secara keseluruhan dan pemahaman hubungan kata-kata dalam satuan teks secara asosiatif. Hal tersebut mempunyai manfaat agar dalam memahami penggunaan kata-kata tidak menyimpang dari isi teks dan hubungannya dengan kata-kata yang lain. Pemilihan kata dan gaya perlu didudukkan dalam kerangka hubungan, pilihan kata, aspek luar yang diacu, hubungan asosiatif dengan kata dan unsur-unsur lain dalam satuan teks.

Penempatan pemilihan kata harus tepat agar efek yang ditimbulkan pembaca seperti apa yang diinginkan oleh pengarang dapat tercapai. (Aminuddin, 2012: 202) mengatakan bahwa untuk menghasilkan efek estetis, maka bahasa puitis harus di deotomatisasi: hubungan antara lambang dan makna dibuat tidak otomatis, yaitu melanggar atau menyimpang dari norma bahasa yang umum atau konvensional. Penyimpangan itu menarik perhatian pembaca dan dianggap sebagai suatu hal pembaharuan.

Cara memilih jenis kata yang digunakan untuk menyampaikan gagasan dalam usaha menghasilkan efek yang diinginkan dilakukan secara sadar, dengan mempertimbangkan hasil dan akibatnya. (Aminuddin, 2012: 204) menjelaskan ada tiga cara penyampaian dalam memperhitungkan efek atau tujuan yang hendak dicapai, yaitu: (1) mengikuti kaidah bahasa yang dipakai secara tradisional konvensional; (2) memanfaatkan potensi dan kemampuan bahasa secara inovatif; dan (3) menyimpang dari konvensi yang berlaku.

Pengarang menempuh jalan yang paling aman dengan mengikuti kaidah bahasa secara tradisional konvensional karena gagasannya dapat dipahami oleh pembacanya tanpa mengalami kesulitan bahasa, komunikasi atau penyampaian pesan berjalan lancar. Ditinjau dari sisi pengarang, keterikatannya pada kaidah dan konvensi bahasa sering dirasakan sebagai pembatasan atau kekangan. Pengarang memainkan sarana bahasa secara inovatif, memanfaatkan kemungkinan yang tersedia, memanipulasi kaidah yang umum berlaku tetapi masih dalam batas-batas konvensi. Jadi walaupun mengikuti prinsip kesepadanan, pengarang mengikuti kaidah dengan inovatif. Kewenangan untuk menyimpang dari konvensi merupakan suatu kelonggaran bagi pengarang. Hal ini bukannya melanggar atau menyimpang saja, melainkan melanggar atau menyimpang untuk mencapai efek tertentu, antara lain menonjolkan apa yang hendak disampaikan, menarik perhatian pembaca dan memperoleh keindahan.

Bahasa sebagai alat untuk menjelmakan angan, khayal dunia sastrawan hingga menyebabkan adanya kekhususan dalam pemakaian bahasa dalam seni sastra (Pradopo, 2012: 35). Guna menjelmakan angan tersebut pengarang menggunakan bahasa yang sifatnya tidak hanya merujuk pada satu hal yang hanya berhubungan dengan yang ditunjuk atau bahasa denotatif.

Bahasa dalam karya sastra lebih cenderung bersifat konotatif. Karya sastra sering menggunakan kata-kata yang bermakna konotasi dengan tujuan untuk memperindah karya sastra tersebut. Penggunaan kata-kata yang bermakna konotasi selain memperindah juga akan memperkaya dan menyalurkan makna dengan baik. Maka konotasi bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai rasa tertentu (Jos, 2012: 147). Makna konotasi sangat bergantung pada konteksnya. Penggunaan bahasa yang bersifat konotatif dan bersifat ambigu akan menimbulkan kesulitan bagi pembaca untuk memahami gagasan yang ingin disampaikan oleh pengarang.

Kata, rangkaian kata, dan pasangan kata yang dipilih dengan seksama dapat menimbulkan efek yang dikehendaki pada diri pembaca, misalnya menonjolkan bagian tertentu (foregrounding) pada karya sastra (Jos, 2012: 148). Maksud menonjolkan adalah memberi suatu penekanan atau bentuk perhatian terhadap peristiwa, kejadian, ataupun terhadap seorang tokoh dalam karya sastra tersebut Wujud formal fiksi adalah kata dan kata-kata (Nurgiyantoro, 2011: 22).

Karya menampilkan dunia dalam kata, yang terbentuk dari kalimat demi kalimat, serangkaian kalimat membentuk alinea dan serangkaian alinea membentuk karangan. Kata-kata yang digunakan akan memberi makna dari ide atau gagasan yang ingin disampaikan. Menurut Pradopo (2012: 93) pembaca dapat menikmati diksi yang dikreasikan oleh pengarang. Peran diksi adalah dapat menimbulkan tanggapan pikiran pembaca karena ada makna lain yang muncul dibalik kata itu. Menurut Aminuddin (2012: 215) peran diksi adalah menimbulkan keindahan yang menyangkut aspek bentuk sebagaimana dikreasikan penuturnya, dan menampilkan gambaran suasana. Selanjutnya menurut Ibrahim (2016: 6) dalam pembuatan karya sastra diksi memiliki peran sebagai berikut: (1) membuat orang yang membaca atau pun mendengar karya sastra menjadi lebih faham mengenai apa yang ingin disampaikan oleh pengarang; (2) membuat komunikasi menjadi lebih efektif atau intens; (3) melambangkan ekspresi yang ada dalam gagasan secara verbal; (4) membentuk ekspresi atau pun gagasan yang tepat sehingga dapat menyenangkan pendengar atau pun pembacanya.

Berbagai uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa diksi sangat berperan dalam sebuah karya sastra: (1) memperjelas maksud, yaitu membuat orang yang membaca atau pun mendengar karya sastra menjadi lebih faham tentang apa yang ingin disampaikan oleh pengarang; (2) membuat komunikasi antara pengarang dengan pembaca menjadi lebih efektif dan intens; (3) membentuk ekspresi atau pun gagasan yang tepat sehingga mampu menyenangkan pendengar atau pembaca; (4) melambangkan ekspresi yang ada dalam gagasan secara verbal; (5) menimbulkan tanggapan pikiran pembaca karena ada makna lain yang muncul di balik sebuah kata; (6) menimbulkan keindahan yang menyangkut aspek bentuk sebagaimana dikreasikan oleg penuturnya; (7) menonjolkan suatu bagian tertentu (foregrounding) suatu karya, yang dapat berupa tokoh, setting, atau keadaan dalam suatu karya sastra

PENUTUP

Diksi sangat berperan dalam sebuah karya sastra, yaitu

(1)  Memperjelas maksud, yaitu membuat orang yang membaca atau pun mendengar karya sastra menjadi lebih faham tentang apa yang ingin disampaikan oleh pengarang.

(2)  Membuat komunikasi antara pengarang dengan pembaca menjadi lebih efektif.

(3)  Membentuk ekspresi atau pun gagasan yang tepat sehingga mampu menyenangkan pendengar atau pun pembacanya.

(4)  Melambangkan ekspresi yang ada dalam gagasan secara verbal (tertulis atau pun terucap).

(5)  Menimbulkan tanggapan pikiran pembaca karena ada makna lain yang muncul di balik sebuah kata.

(6)  Menimbulkan keindahan yang menyangkut aspek bentuk sebagaimana dikreasikan penuturnya

(7)  Menonjolkan bagian tertentu (foregrounding) suatu karya, yang dapat berupa tokoh, setting, atau keadaan dalam suatu karya sastra.

DAFTAR PUSTAKA

Aminnudin. 2012. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru.

Ghofur, M.C.R. 2013. Pemakaian Gaya Bahasa dalam Lirik Lagu LArc~En~Ciel. Jurnal Japanology, Vol. 2, No. 1.

Hartoko dan Rahmanto. 2012. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Ibrahim, A. 2106. Pengertian Diksi, Fungsi Diksi, dan Macam-Macam Diksi. https:// pengertiandefinisi.com/pengertian-diksi-fungsi-diksi-dan-macam-macam-diksi/. Diaksek tanggal 11 Juni 2019.

Jos, D.P. 2012. Diksi, Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Airlangga. Tahun II.

Keraf, G. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Martinich, A. P. 2011. The Philosophy of Language. Fourth edition. Oxford: Oxford University Press.

Moeliono, A.M. 2012. Diksi atau Pilihan Kata Suatu Spesifikasi di dalam Kosakata. Jakarta: Pustaka Jaya.

Nurgiyantoro, B. 2011. Penilaian dalam Pendekatan Sastra (Pendekatan Taksonomis) dalam Pengajaran Sastra. Editor: Jabrohim. Yogyakarta: Kanisius.

Ogden, C.K. & I.A. Richards. 1923. The Meaning of Meaning: A Study of The Unfluence of Language Upon Thought and of The Science of Symbolism. New York and London: A Harvest/HBJ Book Harcourt Brace Javanovich.

Pradopo, R.D. 2012. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Ramlan. 2011. Ilmu Bahasa Indonesia: Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: Karya Ilmu.

Segers, R.T. 2010. Evaluasi Sastra. Terjemahan Suminto A. Sayuti. Yogyakarta: Adicita.

Sumardjo, J. 2016. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.

Tarigan, G.H. 2010. Prinsip – prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. 2011. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta; Pustaka Jaya