PERMASALAHAN GURU DI INDONESIA DAN PENYELESAIANNYA

 

FX. Supriyono

Widyaiswara Madya PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta

 

ABSTRAK

Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal, informal maupun nonformal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, guru tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi mereka. Filosofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global. Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu: pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan masalah kesejahteraan guru. Bagaimana profesionalisme guru SMK Seni Rupa dalam proses pembelajaran? Dapat disimpulkan bahwa kinerja guru, kompetensi guru, dan tugas pokok guru memiliki keterkaitan erat satu dengan lainnya. Kinerja guru direfleksikan melalui kompetensi guru yang diimplementasi dalam tugas pokoknya. Pola pengembangan kinerja guru SMK harus diperhatikan dan perlu ditingkatkan, pendidik SMK berbeda dengan pendidik lainya pengembangan harus terus dilakukan agar terwujudnya peserta didik yang benar-benar unggul.

Kata kunci: permasalahan guru, penyelesaian

 

Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal, informal maupun nonformal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, guru tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi mereka.

Filosofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global. Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu: pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan masalah kesejahteraan guru.

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa dalam lingkup pendidikan yang terkecil yaitu sekolah, guru memegang peranan yang amat penting dan strategis. Kelancaran proses seluruh kegiatan pendidikan terutama disekolah, sepenuhnya berada dalam tanggung jawab para guru. Guru adalah seorang pemimpin yang harus mengatur, mengawasi dan mengelola seluruh kegiatan proses pembelajaran di sekolah yang menjadi lingkup tanggung jawabnya

Dalam menghadapi tuntunan situasi perkembangan zaman dan pembangunan nasional, sistem pendidikan nasional harus dapat dilaksanakan secara tepat guna dan hasil guna dalam berbagai aspek dimensi,jenjang dan tingkat pendidikan. Keadaan semacam itu pada gilirannya akan menuntut para pelaksana dalam bidang pendidikan diberbagai jenjang untuk mampu menjawab tuntutan tersebut melalui fungsi-fungsinya sebagai guru. Guru memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam upaya membentuk watak bangsa dan mengembangkan potensi siswa dalam kerangka pembangunan pendidikan di Indonesia. Tampaknya kehadiran guru hingga saat ini bahkan sampai akhir hayat nanti tidak akan pernah dapat digantikan oleh yang lain, terlebih pada masyarakat Indonesia yang multikultural dan multibudaya, kehadiran teknologi tidak dapat menggantikan tugas-tugas guru yang cukup kompleks dan unik.

Oleh sebab itu, diperlukan guru yang memiliki kemampuan yang maksimal untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan diharapkan secara berkesinambungan mereka dapat meningkatkan kompetensinya, baik kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, maupun profesional. Profesional artinya dilaksanakan secara sungguh- sungguh dan didukung oleh para petugas secara profesional. Petugas yang profesional adalah petugas yang memiliki keahlian, tanggung jawab, dan rasa kesejawatan yang didukung oleh etika profesi yanng kuat.

Permasalahan

Bagaimana profesionalisme guru SMK Seni Rupa dalam proses pembelajaran?

Pembahasan

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.

Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikanternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.

Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.

Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.

Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikanmenurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkalipendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.

Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karenapendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.

Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistempendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.

Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikangaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.

Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.

Ahmad Tafsir mendefinisikan bahwa profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Istilah profesional aslinya adalah kata sifat dari kata ” profession ” (pekerjaan) yang berarti sangat mampu melakukan pekerjaan. Sebagai kata benda, profesional lebih berarti orang yang melaksanakan sebuah profesi dengan menggunakan profesi sebagai mata pencaharian.(Mc. Leod,1989). Dalam kamus bahasa Indonesia edisi kedua (1991), guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar. Dalam bahasa Arab disebut ” Mu’alim”, dalam bahasa inggris ”teacher” memiliki arti sederhana yakni ” A person whose occuption is teaching others” (Mc. Leod,1989) artinya seseorang yang pekerjaannya mengajar orang lain.

Peran guru profesional atau tenaga kependidikan adalah:

a.     Tenaga kependidikan sebagai pendidik dan pengajar yakni tenaga kependidikan yang harus memiliki kesetabilan emosi, ingin memajukan peserta didik, bersifat realistas, bersikap jujur dan terbuka, peka terhadap perkembangan,terutama inovasi pendidikan

b.     Tenaga kependidikan sebagai anggota masyarakat,untuk itu harus menguasai psikologi sosial, memiliki pengetahuan tentang hubungan antar manusia dan sebagai anggota masyarakat harus memiliki keterampilan membina kelompok, keterampilan bekerja sama.

c.     Tenaga kependidikan perlu memiliki kepribadian menguasai ilmu kepemimpinan menguasai prinsif hubungan manusia, tekhnik berkomunikasi serta menguasai berbagai aspek kegiatan organisasi yang ada di sekolah

d.     Tenaga kependidikan sebagai pengelola proses belajar mengajar yakni tenaga kependidikan yang harus mampu dan menguasai berbagai metode mengajar dan harus mampu menguasai situasi belajar mengajar didalam kelas maupun di luar kelas.

Pendidikan Kejuruan adalah bagian dari sistim pendidikan yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu berkerja pada suatu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada bidang bidang perkerjaan lainnya. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan perserta didik untuk dapat berkerja dan bersaing di dunia kerja dalam bidang tertentu. Dalam Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, yaitu: Pendidikan Menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk pelaksanaan jenis pekerjaan tertentu. Dari isi PP diatas kita bisa menyimpulkan bahwa pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didiknya untuk memasuki dunia. SMK saat ini menjadi perhatian pemerintah terbukti Saat ini banyak didirikan SMK-SMK negeri ataupun swasta untuk menyeimbangkan jumlah siswa SMK:SMA. Hal ini sesuai dengan arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rembug Pendidikan Nasional (RPN) pada Februari 2008 tentang penyeimbangan jumlah siswa SMK:SMA. Untuk menjadikan rasio jumlah siswa SMK:SMA adalah 67:33 pada tahun 2014. Hal itu dilakukan agar lulusan sekolah menengah mampu bersaing dalam dunia kerja, karena SMK dirasa memang diciptakan dan dicetak untuk memasuki dunia kerja dan sesuai dengan Misi SMK:

a.   Meningkatkan Profesionalisme dan Good Governance SMK sebagai Pusat Pembudayaan Kompetensi

b.     Membangun dan memberdayakan SMK yang menghasilkan lulusan yang memiliki jati diri bangsa dan keunggulan kompetitif di pasar nasional dan global.

c.     Memberdayakan SMK untuk Mengembangkan Potensi Lokal menjadi Keunggulan Komparatif

d.     Memberdayakan SMK untuk Mengembangkan Kerjasama dengan Industri, PPPG, LPMP, dan Berbagai Lembaga Terkait

e.     Meningkatkan Perluasan dan Pemerataan Akses Pendidikan Kejuruan yang Bermutu dan Tujuan Smk yaitu:

g.   Mewujudkan Lembaga Pendidikan Kejuruan yang akuntabel sebagai Pusat Pembudayaan Kompetensi Berstandar Nasional

h.    Mendidik Sumber Daya Manusia yang mempunyai etos kerja dan kompetensi berstandar internasional

i.      Memberikan berbagai layanan Pendidikan Kejuruan yang permeabel dan flesibel secara terintegrasi antara jalur dan jenjang pendidikan

j.      Memperluas layanan dan pemerataan mutu pendidikan kejuruan

k.     Mengangkat keunggulan lokal sebagai modal daya saing bangsa

Istilah Globalisasi bermakna mewujudkan dunia sebagai satu keutuhan tanpa adanya batasan administrasi Negara dan semakin besarnya ketergantungan antar bangsa. Kini globalisasi sudah menerpa seluruh aspek kehidupan, penghidupan, serta kebudayaan manusia dengan berbagai dampak. Menurut (Emil Salim 1990:8-9), terdapat empat bidang kekuatan yang paling kuat dan menonjol dalam globalisasi, yaitu bidang-bidang IPTEK, Ekonomi, Lingkungan Hidup, serta Pendidikan. Berikut beberapa kecenderungan dari keempat bidang tersebut:

1.     Bidang IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) mengalami perkembangan sangat signifikan utamanya dengan penggunaan berbagai teknologi canggih di berbagai aspek kehidupan. Hal ini membuat dunia terasa sempit dan transparan sehingga memberi pola pikir baru dalam bersikap, berfikir dan berbicara tanpa batasan Negara.

2.     Bidang Ekonomi mengarah ke ekonomi global yang tidak mengenal batas negara. Di berbagai bagian dunia muncul banyak kelompok-kelompok ekonomi regional. Peristiwa ekonomi di suatu tempat pun memberikan dampak kepada wilayah lainnya. Hal ini menyebabkan Kenichi Ohmac memberi judul “The Borderless World” pada bukunya (1990, dari Dedi Supendi, 1990:60)

3.     Bidang Pendidikan sebagai identitas suatu negara mendapatkan terpaan tentang gagasan-gagasan pendidikan serta secara langsung diterima oleh setiap individu melalui berbagai media. Hal itu akan mempengaruhi wawasan, pikiran, dan bahkan perilaku manusia, selanjutnya bahkan mungkin tercipta suatu “Budaya Baru” (Refleksi,1990:3)

4.     Dalam dunia SMK perkembang globalisasi yang begitu cepat harus terus diiringi dengan pengembangan wawasan ilmu pengetahuan, karena dunia SMK memiliki keterkaitan yang begitu erat dengan dunia kerja yang juga terus berkembang secara pesat sehinga kebutuhan akan kompetensi pekerja juga terus meningkat. Inilah sebuah tantangan SMK untuk terus meningkatkan kualitas agar tujuan SMK yang utama bisa terwujud yaitu Mendidik Sumber Daya Manusia yang mempunyai etos kerja dan kompetensi berstandar internasional.

Dunia industri dimasa yang akan datang membutuhkan banyak sekali kompetensi yang bervariasi, kompetensi adalah kemampuan yang disyaratkan untuk menyelesaikan tugas tertentu pada dunia kerja dan mendapatkan pengakuan resmi atas kemampuan tersebut (Depdiknas,2004: 16). Sedangkan yang dimaksud kompetensi apabila kita kaitkan dengan SMK adalah kemampuan pengetahuan, praktik, ketrampilan dan siap kerja. Kompetensi dapat dikenali dari hasil belajar dan hasil karya peserta didik.

Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang memang dipersiapkan untuk angkatan kerja yang kompetitif yang akan memasuki persaingan dunia kerja, secara individual kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang dapat menghasilkan unjuk kerja (spencer, 1993: 11). Berdasarkan pada 2 refrensi diatas dapat disimpulkan bahwa refrensi adalah pernyataan ketrampilan dan pengetahuan serta sikap yang harus dimiliki oleh seseorang untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang dipersyaratkan. Kompetensi dalam perspektif modern diartikan sebagai kemampuan seseorang ketika ia mengerjakan suatu tugas yang dihadapi sekarang, bukan kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperoleh sebelumnya (spencer,1995: 56). Dari berbagai uraian itu maka kompetensi mencangkup tiga hal dalam pendidikan kejuruan yaitu pengetahuan, ketrampilan (motorik) dan sikap. Untuk mengetahui sejauh mana kompetensi yang dicapai peserta didik SMK ketiga hal itu harus menjadi objek dalam penilaian (Muh Akyart, 2008: 23).

Konsep pengembangan SMK yang berbasis kompetensi mensyaratkan secara jelas bahwa kompetensi harus dimiliki oleh peserta didik setelah mengikuti pembelajaran. Oleh karena itu pencapaian kompetensi yang maksimal kepada peserta didik sangat berkaitan erat dengan sistem pembelajaran, pola pembelajaran yang dilakukan oleh pengajar itu sendiri. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang diterapkan SMK kali ini menitik beratkan pada peserta didik untuk mampu mengembangkan kreatifitas, nilai, estetika dan pengetahuan. Sehubungan adanya kurikulum yang menitik beratkan pada kemandiriaan itu, standar pencapaian kompetensi dari pengajar haruslah jelas, disamping itu juga perlu dikembangkan formula baru yang melihat dari tren,tuntutan globalisasi dan tuntutan pasar kerja baik lokal, nasional maupun internasional. Dalam sebuah aliran filosofi yang dipakai kejuruan yang berkaitan dengan education for work yaitu pragmatisme yang berpandangan bahwa pendidik dan peserta didik keduanya penting bagi proses pembelajaran.

Dalam situasi nyata pengalaman sangatlah penting, oleh karena itu pendidik harus progresif dan berkewajiban membuka ide-ide baru bagi peserta didiknya karena dalam kurikulum KTSP guru harus mampu menjadi inspirator bagi peserta didiknya. Adanya sebuah kurikulum sekarang ini bukanlah sebuah sistem baru dalam dunia pendidikan melainkan penyempurnaan dari sistem yang sebelumnya, metode dulunya konvensional (guru berceramah) sekarang digeser fungsinya menjadi inspirator dan pendorong bagi peserta didik sehingga kegiatan pengajaran berpusat pada peserta didik, adanya pengembangan kreatifitas peserta didik, menimbulkan rangsangan peserta didik untuk berfikir kritis yang dapat melahirkan pemikiran yang inovatif. Pendidik juga harus mampu merubah persepsi kepada para peserta didiknya bahwa yang terpenting dalam bidang itu adalah pemahaman dan ketrampilan yang memadai bukanya nilai diraport. Pendidik juga harus bisa memastikan peserta didiknya mampu, paham dan bisa menguasai apa yang dia ajarkan, karena ketrampilan adalah sesuatu yang sensitif. Ketidak bisaan suatu ketrampilan ditengah materi akan berimbas pada materi selanjutnya dan juga ketrampilan yang kurang maksimal. PSG (Pendidikan Sistem Ganda) adalah suatu bentuk penyelengaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan singkron antara program pendidikan di sekolah dengan program perusahaan yang dilakukan untuk mencapai tingkat yang maksimal. Pola penempatan PSG juga perlu diperhatikan karena jangan sampai tempat para peserta didik itu untuk magang adalah tempat yang kurang mampu merangsang dan membangun kompetensinya untuk maju. Sekolah dan para pendidik harus mampu menempatkan peserta didiknya ditempat yang kiranya mampu merangsang keahlianya untuk digali lebih dalam.

Salah satu bentuk pengakuan terhadap profesi guru saat ini adalah sertifikasi tetapi tidak sedikit kualitas kompetensi dari seorang guru malah cenderung turun itulah yang seharusnya menjadi perhatian khusus, apalagi bila dikaitkan dengan perkembangan zaman yang begitu cepat, guru tidak boleh lamban dalam merespon zaman, guru harus terus berkembang. Guru kejuruan adalah pendidik yang seharusnya terus bertransformasi.

Sekolah Menengah kejuruan (SMK) adalah lembaga pendidikan yang mempunyai tugas untuk menyiapkan tenaga kerja yang profesional dalam dunia kerja. Program pendidikan SMK haruslah mampu mengikuti perkembangan tekonologi industri, karena itu berkaitan dengan kompetensi yang dibutuhakan. Pendidik adalah sebuah bagian dari sistem pendidikan yang merupakan roh dari pendidikan itu sendiri, di SMK guru dituntut untuk mampu menyesuaikan kompetensi dan kinerjanya seiring perubahan itu. Profesionalisme dan kualitas gurupun harus terus dimbangkan pula.

Penyelengaraan pendidikan yang berkualitas harus mampu menghadapi perubahan baik yang terjadi saat ini ataupun dimasa depan baik perubahan teknologi, ilmu pengetahuan,aupun struktur ketenagaan kerja. Guru sebagai pelaksana pendidikan saat ini dihadapkan pada perubahan yang cepat, permintaan standar yang tinggi dan tuntutang peningkatan mutu, sehingga mengharuskan guru memperbaharui dan meningkatkan ketrampilan melalui pembelajaran (Craft, 1996: 5). Apabila guru mampu mempelajari apa yang akan dibutuhkan dan sangup mempelajarinya dan mengajarkan kepada peserta didiknya mampu mencapai kompetensi yang diinginkan dan bukan tidak mungkin kompetensi dari peserta didiknya meningkat pula dan mampu bersaing dimasa depan.

Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan merupakan salah satu aspek dan titik berat pola pengembangan guru SMK, pengetahuan yang diperlukan guru dalam pengembangan keprofesionalan antara lain: pengetahuan materi ajar (content knowledge), pengetahuan pedagogis (pedagogical knowledge), dan pengetahuan kontekstual (contextual knowledge) (Diaz-Maggioli, 2004:17).

Peningkatan ketrampilan dan pengetahuan yang harus mampu di kelola guru agar dapat meningkatkan kompetensinya meliputi kemampuan khusus dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan khusus meliputi teoritis, praktik, dan pengalaman. Sedangkan pengetahuan prosedural meliputi pengetahuan tentang bagaimana sesuatu dapat bekerja dan bagaimana sesuatu itu bisa saling terhubung serta berjalan (Harteis, 2009: 151-158). Dari pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan mengelola pengetahuan dan ketrampilan yang bersifat teoritis dan praktis harus terus dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi guru itu sendiri dan juga peserta didiknya nantinya.

Keprofesionalan adalah proses belajar lanjut yang dibutuhkan bagi guru untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian dalam rangka tugas profesinya. Pengembangan keprofesionalan sebagai bagian dari proses pembelajaran kemampuan untuk memberikan manfaat peningkatan dan penguatan terhadap keahlian, tugas dan karier guru dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Dengan demikian, kecermatan dalam memilih dan menetapkan kegiatan diperlukan bagi guru.

Menurut Buku 4 Pedoman Kegiatan Pengembangan Keprofesionalan dan Angka Kredit (kementrian pendidikan Nasional 2010b:1), terdapat 3 macam pola pengembangan keprofesionalan guru yaitu meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah dan karya inovatif. Pola pengembangan diri bisa didapatkan dengan pengembagan yang dilakukan oleh guru itu sendiri karena kesadaran akan keadaan terkini atau mungkin dengan seminar-seminar yang diadakan departemen pendidikan nasional tentang pengetahuan dan keahlian tambahan. Sedangkan publikasi karya ilmiah dan karya inovatif ini diperuntukan bagi guru yang melakukan penelitian ilmiah baik dengan peserta didiknya maupun sendiri, diharapkan dengan adanya publikasi karya ilmiah ini pendidik termotivasi dan bersama-sama mengembangkan dan menyempurnakan karya yang ada agar dapat berfungsi secara optimal.

Kinerja adalah apa yang dilakukan dalamm bekerja, sehingga kinerja guru dapat diartikan sebagai apa yang dilakukan dalam pekerjaan guru baik mengajar, mendidik dll. Kinerja guru berkaitan dengan tugas perencanaan,pengelolaan pembelajaran dan penilaian hasil belajar peserta didik (wina sanjaya, 2005:13-14), sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi yang dimiliki guru sangat mempengaruhi bagaimana kinerja dan hasil kinerja itu sendiri yang dapat dilihat ketika melaksanakan tugas mengajar.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standart Kualifikasi Akademik dan Kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesionalisme. Keempat pilar itu terintegrasi menjadi kinerja guru. Pelaksanaan tugas utama guru tidak dapat dipisahkan dari kemampuan seorang guru dalam menguasi pengetahuan, penerapan pengetahuan dan ketrampilan sebagaimana tuntutan standar kompetensi yang dipersyaratkan(Kementrian Pendidikan Nasional 2010c:3).

Dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja guru, kompetensi guru, dan tugas pokok guru memiliki keterkaitan erat satu dengan lainnya. Kinerja guru direfleksikan melalui kompetensi guru yang diimplementasi dalam tugas pokoknya.

Pola pengembangan kinerja guru SMK harus diperhatikan dan perlu ditingkatkan, pendidik SMK berbeda dengan pendidik lainya pengembangan harus terus dilakukan agar terwujudnya peserta didik yang benar-benar unggul.

Kesimpulan

Kualitas guru yang baik

a.     Confidence atau keyakinan diri sendiri. Guru yang baik tetap memiliki kepercayaan diri, meski sesekali merasakan kemunduran.

b.     Patience atau kesabaran. Guru terbaik bisa membantu siswa yang mengalami gangguan mental. Bukan berarti mereka harus, tetapi mereka begitu sabar, meski bukan lagi menjadi tugas utamanya.

c.     True compassion for their students atau memiliki rasa kasih sayang sejati pada siswanya.

d.     Understanding atau pemahaman. Guru yang baik memiliki pemahaman yang benar tentang bagaimana mengajar.

e.     The ability to look at life in a different way and to explain a topic in a different way atau kemampuan melihat kehidupan dengan cara yang berbeda dan menjelaskan topik dengan cara yang berbeda.

f.      Dedication to excellence atau dedikasi untuk keunggulan.

g.     Unwavering support atau teguh dalam memberi dukungan.

h.    Willingness to help student achieve atau kesediaan untuk membantu siswa mencapai prestasi.

i.      Pride in student’s accomplishments atau bangga atas prestasi siswa.

j.      Passion for life atau berairah untuk hidup.

Daftar Pustaka

Craft, A. (1996). Continuing professional development: practical guide for teacherand schools. New York: Routledge.

Dedi Supriadi.1990.”Globalisasi: Dunia Tanpa Tapal Batas”(Tinjauan Buku).

Tirtarahardja,Umar dan La Sulo.2008.Pengantar Pendidikan.Jakarta:Rineka Cipta

Diaz-Maggioli, G. (2004). Teacher-centered professional development. Virginia:Association for Supervision and Curriculum Development.

Emil Salim.1990.”Pembekalan KemampuanIntelektual untuk Menjinakkan Gelombang Globalisasi” (Tinjauan Buku). Tirtarahardja,Umar dan La Sulo.2008.Pengantar Pendidikan.Jakarta:Rineka Cipta

Harefa, Andreas. (2000). Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Kompas.

Harteis, C. (2009). Professional learning and TVET: Challenges and perspectives for teachers and instructors. Dalam Maclean, R., & Wilson, D. (Eds.).International handbook for changing world of work: Bridging academic and vocational learning. Bonn: Springer

Joko Sutrisno, 2003, Pengembangan Pendidikan Berwawasan Kewirausahaan SejakUsia Dini, Bandung: IPB

Kementerian Pendidikan Nasional. (2010a). Pedoman pengelolaan pengembanga keprofesionalan berkelanjutan, Buku 1. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.