SEBUAH PENGINGAT BAGI KEBIJAKAN BERMAIN

PADA KURIKULUM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Maria Melita Rahardjo

Dosen PG PAUD Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRAK

This paper is a theoretical study of the basic philosophies about play approaches within the early childhood educational curriculum.   This paper will answer “why play is important in early childhood educational field”.  The major theory which has a significant influence for play approaches within the early chilhdhood educational field is developmental theories. This theory considers a child as a compentent learner so that he/ she can be trusted to determine what, when, and how he/ she learns. Therefore, a learning approach/ model which fits to that theory is play. The characteristics of play and the naturality of play as fundamental human activity make play as a powerful tool for children’s learning and development. Play holds a significant role and can have a great impact for their learning. The importance of play in early childhood development and learning has been studied and confirmed by the many researchers.

Kata kunci: play, early childhood curriculum, student-centered, teacher-centered.

PENDAHULUAN

Majalah ataupun tabloid yang mengusung dunia anak sebagai fokus pemberitaan sering menyebut-nyebut bahwa “dunia anak adalah dunia bermain”. Selanjutnya, praktik pendidikan anak usia dini pun menekankan pentingnya pembelajaran yang menggunakan prinsip bermain. Akibatnya, para pendidik anak usia dini mulai berusaha menyesuaikan praktik pengajarannya dengan tuntuan yang berlaku tersebut. Namun sayangnya, penulis melihat bahwa prinsip bermain pada pendidikan anak usia dini belum sepenuhnya diimplementasikan secara baik. Saat penulis berkunjung ke berbagai lembaga pendidikan anak usia dini, banyak praktik pengajaran yang mengklaim menggunakan prinsip ‘bermain’ tetapi pelaksanaanya melanggar prinsip-prinsip bermain itu sendiri. Oleh karena itu, tulisan ini dibuat untuk memperjelas konsep bermain dan pentingya bermain pada pendidikan anak usia dini.

TINJAUAN PUSTAKA

Filosofi Bermain

Pendidikan anak usia dini masa kini menekankan pentingnya bermain bagi perkembangan anak usia dini. Di belahan dunia Eropa dan Amerika, hampir sebagian besar lembaga pendidikan anak usia dini mengintegrasikan bermain ke dalam pendekatan kurikulumnya. Beberapa pendekatan kurikulum yang banyak dikenal antara lain Developmentally Appropriate Practice (DAP), play-based curriculum, Reggio Emilia, critical pedagogy, emergent curriculum, atau project approach (Arthur et al., 2008). Pendekatan yang dipilih merupakan cerminan dari filosofi dan teori dasar yang dianut oleh lembaga pendidikan anak usia dini tersebut.

Jika kita meletakkan pendekatan-pendekatan tersebut pada sebuah garis lurus, kita akan melihat ada dua teori dan filosofi dasar yang letaknya paling berjauhan/ berseberangan. Kedua teori dasar tadi adalah behaviorist theories (teori perilaku) dan developmental theories (teori perkembangan) (Wolfgang and Wolfgang, 1992).

behaviorist theories developmental theories

teacher-centered approach                                             children-centered approach

Para behaviorists percaya bahwa semua perilaku manusia dapat dijelaskan sebagai respon akan sebuah rangsangan (stimulus) tertentu. Sebagai contoh, seorang anak yang dapat menjawab pertanyaan guru dengan benar dan diberi pujian (stimulus), maka anak tersebut akan berusaha untuk menjawab benar juga di lain waktu (respon). Implikasi dari teori ini di dunia pendidikan anak usia dini adalah terciptanya model-model pembelajaran yang berciri teacher-directed dan terlalu banyak penekanan pada instruksi langsung karena seorang anak/ siswa dianggap makhluk yang harus selalu diarahkan pembelajarannya dengan pemberian stimulus terus-menerus untuk menghasilkan respon yang diinginkan oleh pendidik.

Sebaliknya, teori yang berseberangan dengan behaviorist, yaitu developmental theories, menganggap bahwa seorang anak adalah pembelajar yang kompeten. Manusia sejak lahir secara alami memiliki motivasi intrinsik untuk mempelajari sesuatu dan menguasai hal tersebut secara kompeten. Sebagai contoh, seorang anak dengan tidak kenal lelah berusaha untuk belajar berjalan. Meskipun ia terjatuh, ia tidak kapok untuk mengulangi proses belajar tersebut, sampai akhirnya ia dapat berjalan dengan baik. Implikasi dari teori ini di dunia pendidikan anak usia dini adalah terciptanya model-model pembelajaran yang berciri student-centered dimana seorang anak memiliki kontrol dan aktif berpartisipasi dalam proses pembelajarannya.

Dalam ilustrasi di atas, kedua filosofi dasar tersebut bukan digambarkan terpisah tetapi digambarkan dalam satu garis lurus yang disebut kontinum. Artinya, kedua filosofi tersebut berhubungan dalam cara tertentu. Seorang guru perlu memahami kedua filosofi dasar tersebut untuk kemudian memanfaatkan keduanya supaya dapat mengoptimalkan pembelajaran anak usia dini melalui bermain.

Dari kedua model tersebut, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran student-centered akan memberi ruang lebih luas bagi penerapan prinsip bermain dibanding model pembelajaran teacher-centered. Alasannya adalah karena ciri-ciri bermain banyak yang senada dengan pendekatan student-centered daripada teacher-centered. Adapun ciri bermain akan dibahas lebih lanjut di bawah. Meskipun demikian, bukan berarti teacher-centered adalah hal yang buruk untuk pendidikan anak usia dini. Bermain bukanlah milik pendekatan student-centered semata tetapi juga memerlukan pendekatan teacher-centered dalam porsi tertentu. Agar bermain dapat menjadi media pembelajaran yang optimal, seorang guru perlu memahami kedua pendekatan tersebut, dan secara fleksibel bergerak dari satu titik ke titik lainnya dalam penerapan strategi pembelajaran di kelasnya.

Praktik Bermain dalam Pembelajaran Anak Usia Dini

Di Indonesia, praktik pendidikan anak usia dini di masa lalu kental dengan nuansa behaviorist. Berdasar pengalaman pribadi penulis saat duduk di bangku TK, bermain selama rentang waktu pembelajaran di TK hanya didapat saat waktu istirahat belajar. Saat bel masuk berbunyi, murid-murid berbaris dan masuk kelas. Di kelas, murid-murid duduk di kursi-kursi kecil dengan satu meja kecil di depannya. Guru kemudian akan memulai proses pengajaran hari tersebut. Saat menyampaikan materi, guru berdiri di depan dan menerangkan dengan suara keras supaya semua dapat mendengar penjelasannya. Selanjutnya, akan ada kegiatan berkenaan dengan materi tersebut, bisa dalam bentuk  mewarna, melipat, membuat objek dari plastisin, menyalin huruf A-B-C di buku tugas pribadi, atau menggambar sebuah objek yang dikerjakan secara individual di meja masing-masing murid. Kadangkala, guru membawa murid keluar kelas dan mengajak bernyanyi secara melingkar atau mengatur sebuah permainan ketangkasan seperti lomba memindahkan balok secara estafet.

Ilustrasi tersebut menegaskan bahwa gurulah pusat pembelajaran. Dari awal hingga akhir pembelajaran, guru menentukan pengetahuan atau keterampilan apa yang harus dipelajari murid-muridnya, bagaimana cara melakukan tugas supaya hasilnya sesuai dengan yang diharapkan oleh guru, dan kapan sebuah kegiatan diawali atau diakhiri untuk diganti dengan materi yang lain. Sepanjang waktu, murid diharapkan untuk menyerap penjelasan/ pelajaran dari guru dan bertingkah laku sesuai harapan guru. Murid yang ‘suka berbicara dengan temannya’ saat guru menerangkan pelajaran akan dipisahkan tempat duduknya, bahkan pernah terjadi murid yang dikunci di ruang UKS karena ‘tantrum’. Para murid diharapkan memenuhi suatu standar perilaku tertentu di sekolah. Kegagalan memenuhi standar perilaku akan menyebabkan teguran maupun hukuman tertentu.

Sebaliknya, saat penulis praktik magang sebagai pre-service teacher, penulis memasuki sebuah situasi kelas yang benar-benar berbeda dengan pengalaman TK di atas. Setiap pagi, penulis dan guru pre-school di tempat penulis magang datang setengah jam sebelum jam pembelajaran dimulai. Segera setelah tiba, guru akan menyiapkan area pembelajaran di dalam ruangan, di luar ruangan, dan di teras kelas dengan berbagai material pembelajaran yang ditata semenarik mungkin untuk mengundang anak-anak berinteraksi dengan material tersebut.

Kemudian, para murid datang diantar orang tua mereka dan menyimpan tas di loker masing – masing. Lalu mereka berkeliling untuk berinteraksi dengan teman lain, bermain di area yang menarik minat mereka dengan orang tuanya, atau mendatangi guru untuk menceritakan pengalaman menarik mereka. Intinya, anak-anak tersebar di berbagai area, bermain dengan material yang menarik hati mereka hingga tiba saatnya waktu berkumpul.

Waktu berkumpul adalah waktu murid bergabung sebagai satu kesatuan kelas yang berkisar selama 10-20  menit pada awal hari, siang hari menjelang makan siang bersama, siang hari setelah sesi relaksasi, dan sore hari menjelang penjemputan orang tua. Pada saat-saat tersebut guru akan bercerita, mengenalkan lagu baru, atau membagi pengetahuan/ informasi dengan seluruh murid. Murid-murid akan berinteraksi dengan mengajukan pertanyaan atau pendapatnya mengenai sebuah topik tertentu. Di samping waktu berkumpul kelas, ada satu sesi selama 30 menit dimana murid dibagi dalam kelompok-kelompok kecil dan didampingi seorang guru pendamping untuk mempelajari ‘sebuah topik’ atau melakukan aktivitas sesuai apa yang telah disiapkan oleh guru.

Selain waktu berkumpul kelas dan waktu kelompok kecil, anak dapat bermain seturut kehendak mereka. Dalam kesempatan tersebut, peran guru sebagai manajer bermain terpenuhi semua. Peran guru sebagai manajer bermain antara lain sebagai penyedia peralatan tambahan yang dibutuhkan, sebagai pendamai, sebagai penolong anak yang ingin bergabung dalam sebuah permainan, sebagai rekan sepermainan, sebagai pengama, sebagai pemberi contoh (modeling), sebagai penonton, maupun sebagai tutor sesuai dengan tuntutan situasi (Van Hoorn et al., 2011).

Dari kedua ilustrasi, jelas bahwa pengalaman TK penulis merupakan pendekatan pembelajaran anak usia dini yang mengacu pendekatan teacher-centered, sedangkan pengalaman magang penulis merupakan pendekatan pembelajaran anak usia dini yang mengacu pada pendekatan student-centered. Pendekatan teacher-centered tidak menyisakan banyak ruang bagi bermain. Murid-murid dihadapkan pada persamaan cara belajar dan diharapkan menghasilkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sama sesuai standar tertentu. Kegagalan memenuhi harapan akan berakhir dengan teguran, hukuman, atau porsi belajar yang lebih banyak lagi. Sebaliknya, pendekatan student-centered menyisakan banyak ruang untuk bermain. Dengan bermain anak dapat menentukan tempo pembelajaran mereka sendiri sehingga sesuai dengan tahap perkembangan masing-masing anak. Guru melakukan penilaian sesuai keunikan masing-masing individu, menggunakan berbagai media pembelajaran yang berbeda untuk tiap murid, dan berorientasi pada proses pembelajaran bukan pada produk akhir yang dihasilkan oleh murid.

Pendekatan Bermain dalam Kurikulum: Sudah Tepatkah?

Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah: benarkah pendekatan student-centered yang memberi kesempatan lebih luas untuk bermain akan lebih menguntungkan bagi pendidikan anak usia dini dibanding pendekatan teacher-centered yang membatasi bermain pada anak usia dini? Benarkah praktik pendidikan anak usia dini yang dialami oleh penulis, yang sangat didominasi oleh instruksi dari guru adalah praktik yang tidak menguntungkan penulis dan anak-anak lain dalam zamannya? Apakah praktik pendidikan anak usia dini yang sekarang ini mulai diarahkan untuk menempatkan bermain sebagai dasar pembelajaran akan lebih menguntungkan bagi generasi bangsa yang sekarang? Jangan-jangan, negara kita hanya latah mengadopsi pendekatan milik negara lain yang tidak sesuai dengan budaya kita. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah: Ya, bermain merupakan pendekatan yang tepat bagi pembelajaran anak usia dini. Dibanding pendekatan-pendekatan lain, bermain mengoptimalkan semua aspek perkembangan anak sehingga membawa dampak positif bagi perkembangan anak di masa depan. Berikut adalah kajian berbagai teori untuk mendukung pernyataan tersebut.

Bermain adalah Aktivitas Fundamental Manusia

Menurut Van Hoorn et al. (2011), bermain merupakan aktivitas yang terjadi sepanjang hidup manusia. Bayi yang berumur beberapa bulan sudah senang memandangi mainan putar di atas ranjang bayinya; anak sekolah senang bermain di luar rumah bersama teman-temannya; bahkan para manula yang tergabung dalam perkumpulan tertentu akan berkumpul pada suatu waktu tertentu akan mengadakan sebuah permainan bersama. Oleh karena itu, bermain adalah suatu hal yang alamiah. Terlebih lagi, pada masa usia dini, bermain merupakan aktivitas yang mengisi sebagian besar waktu anak-anak tersebut. Ki Hadjar Dewantara (1977) menyebutkan bahwa anak dan bermain tidak dapat dipisahkan. Sepanjang hari, anak menghabiskan waktunya untuk bermain, kecuali saat ia harus melakukan ‘perintah’ dari orang dewasa seperti makan atau mandi. Anak yang tidak bermain adalah anak yang sedang sakit jiwa atau raganya.

Oleh karena itu, bermain adalah sesuatu yang natural dalam dunia anak-anak (Dewantara, 1977; Lifter et al., 2011). Sesuatu yang natural tersebut sebaiknya dimanfaatkan untuk mengoptimalkan perkembangan anak baik perkembangan motorik, sosio-emosional, maupun kognitifnya. Dalam tulisannya, Ki Hadjar Dewantara (1977) menyebutkan bahwa pembelajaran untuk anak usia dini sebaiknya tidak menentang ‘kodrat alamnya’. Sesuatu yang menentang kodrat alam, entah memodifikasi atau menekannya, akan membutuhkan usaha (waktu, tenaga, sumber daya yang dibayarkan) yang lebih besar dan hasilnya belum tentu optimal. Sebagai contoh, hal tersebut seperti mencoba menanam tanaman padi di musim bersalju. Modifikasi seperti pembuatan rumah kaca, pengaturan suhu sepanjang hari, modifikasi tanah dan lain sebagainya akan dibutuhkan jika ingin menghasilkan padi yang baik. Memodifikasi lingkungan untuk  menumbuhkan padi di suatu tempat bersalju bisa saja dilakukan, tetapi usaha yang dibutuhkan jauh lebih berat,  cost-nya (harga) jauh lebih mahal, dan hasil padinya pun belum tentu sebaik padi yang ditumbuhkan di habitat alaminya.

Demikian pula kaitannya dengan dunia pendidikan anak usia dini. Jika memang sifat natural mereka ada bermain, maka usaha-usaha untuk memodifikasi bermain menjadi bentuk yang lain akan membutuhkan usaha besar, harga mahal, dan hasil yang belum tentu optimal. Akan lebih baik jika bermain dapat dipahami secara mendalam dan diintegrasikan ke dalam usaha pembelajaran anak usia dini.

Sebagai contoh, seorang guru melihat bahwa seorang anak didiknya yang berusia empat tahun masih kesulitan memahami konsep korespondensi satu – satu1, terutama untuk bilangan 6 ke atas. Usaha-usaha untuk memaksakan anak tersebut menghafal menggunakan media kertas yang beruliskan angka 1 dengan gambar 1 buah apel, angka 2 dengan gambar 2 buah apel, dan seterusnya, menjadikan pekerjaan itu berat bagi anak tersebut. Memang telah terjadi pergeseran dalam usaha-usaha pembelajaran anak usia dini. Seorang pendidik anak usia dini mungkin akan berdalih bahwa ia telah mengatur pembelajaran yang lebih menyenangkan, menggunakan prinsip bermain, dan menggunakan benda konkret. Contohnya dalam kasus tadi, ia akan menyiapkan kartu-kartu bertulis simbol angka 1 sampai 10 dan sekeranjang penuh batu kerikil. Ia kemudian akan memanggil anak tersebut mendekat, menyontohkan cara pembelajaran angka dengan (meletakkan kertas angka 1 dan mengambil 1 batu untuk diletakkan di bawah kertas tersebut, mengambil kertas angka 2 dan mengambil 2 batu untuk diletakkan di bawah kertas tersebut, dan seterusnya), lalu menyuruh anak tersebut mengerjakan tugasnya sampai selesai dari angka 1 sampai 10.

Pemahaman pengalaman bermain yang demikian adalah dangkal. Kegiatan menghitung batu dan kertas sekilas memang seperti aktivitas bermain, tetapi sebenarnya telah melanggar aturan pertama dari konsep bermain: motivasi intrinsik. Kegiatan tersebut tetaplah merupakan inisiasi dari guru, bukan motivasi intrinsik dari anak tersebut. Kecuali guru tersebut mengatur batu dan kertas karena ia mengamati bahwa anak tersebut sangat tertarik dengan batu dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berinteraksi/ bermain dengan batu tanpa disuruh orang dewasa, maka kegiatan tersebut bukanlah didasarkan pada motivasi intrinsik anak tersebut dan itu bukanlah bermain.

Demikian pula sebaliknya, sebuah kegiatan yang berawal dari inisiasi guru bukannya tidak dapat menjadi bermain. Contohnya, guru tadi memanggil anak tersebut mendekat pada meja yang telah ia atur dengan material kartu angka dan sekeranjang batu, lalu menunjukkan cara menggunakan kartu dan batu-batu tersebut. Selanjutnya, anak tersebut dengan sendirinya tertarik untuk tetap melakukan aktivitas dengan kartu angka dan batu- batu tanpa paksaan dari guru, anak tersebut berinteraksi dan mengeksplorasi batu-batuan tersebut karena keinginan sendiri, ia senang melakukannya, ia sangat fokus dengan apa yang ia lakukan, dan ia lebih berorientasi pada proses pengerjaan daripadi hasil akhirnya (menghasilkan tatanan kertas angka dan batu sesuai yang ditargetkan guru); maka apa yang tadinya adalah ‘aktivitas rancangan guru’ telah berubah bentuk menjadi ‘bermain’.

Dari contoh yang diberikan, mengajarkan konsep korespondensi satu – satu yang dengan tidak memanfaatkan sifat natural anak (bermain) akan membutuhkan usaha besar, harga yang harus dibayar pun akan menjadi mahal. Bisa jadi, anak tersebut akan menganggap pembelajaran angka adalah sesuatu yang menekan, dan bisa jadi di masa depan ia akan membenci pelajaran berhitung.

Karakteristik Bermain

Jika demikian, bagaimana kita tahu bahwa kita telah menerapkan/ mengintegrasikan prinsip bermain ke dalam pendidikan anak usia dini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, seseorang haruslah memahami konsep bermain terlebih dahulu.

Banyak yang telah mencoba mendefinisikan apa itu bermain. Dengan definisi, seseorang diharapkan menjadi paham kapan suatu kegiatan adalah bermain atau bukan bermain. Sayangnya, mendefiniskan bermain bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, terlepas dari apa tepatnya definisi bermain, ada beberapa poin/ ciri/ karakteristik yang menjadi kekhususan bermain, yaitu:

1. Motivasi intrinsik (Fromberg, 2002; Hughes, 1999; Levy, 1978; Van Hoorn et al., 2011; Wardle, 1999), artinya bahwa kegiatan bermain datang dari keinginan anak. Bermain merupakan pilihan bebas dan sukarela anak.

2. Partisipasi aktif (Fromberg, 2002; Hughes, 1999; Van Hoorn et al., 2011), artinya anak dengan sadar melibatkan dirinya (fisik dan mental) ke dalam kegiatan tersebut.

3. Menyenangkan (Fromberg, 2002; Hughes, 1999; Wardle, 1999).

4. Nonliteral (Fromberg, 2002; Hughes, 1999; Levy, 1978; Van Hoorn et al., 2011; Wardle, 1999), artinya bahwa bermain melibatkan imajinasi pada porsi tertentu. Terjadi sebuah distorsi realita dalam rangka mengakomodasi kepentingan pemain.

5. Kontrol/ peraturan intrinsik (Fromberg, 2002; Levy, 1978; Van Hoorn et al., 2011; Wardle, 1999), artinya pembuat aturan utama adalah si anak. Anak yang menentukan bagaimana jalannya bermain dan bagaimana sebuah material digunakan.

6. Orientasi pada proses – bukan hasil (Fromberg, 2002; Hughes, 1999; Van Hoorn et al., 2011; Wardle, 1999).

Keenam karakteristik tersebut dapat membantu pendidik anak usia dini untuk memaknai sebuah aktivitas/ kegiatan anak, apakah kegiatan tersebut termasuk bermain atau bukan. Untuk disebut bermain, sebuah kegiatan hendaknya menggambarkan hampir semua karakteristik tersebut secara bersamaan, walaupun dalam derajat yang berbeda untuk tiap-tiap poin.

Manfaat Bermain bagi Perkembangan Anak Usia Dini

Karakteristik bermain dan sifatnya yang natural dalam diri anak menjadikannya sebagai alat yang efektif untuk mengoptimalkan semua aspek perkembangan anak. Argumen yang mengecilkan manfaat bermain berasal dari pihak-pihak yang menilai bermain sebagai aktivitas yang membuang waktu. Mengapa repot-repot menggunakan bermain untuk mengajarkan konsep angka jika dapat langsung mengajarkan ke anak (direct-instruction) apa yang menjadi target guru?

1. Karena bermain dapat mengaktifkan semua koneksi di otak (Wardle, 1999). Bermain melibatkan ketrampilan sensori – motorik, sosial, emosional, dan kognitif anak secara bersamaan. Berbeda dengan direct instruction yang hanya mengaktifkan area otak yang melayani fungsi tertentu (misal anak mempelajari angka, maka area otak yang paling aktif adalah yang berkaitan dengan logika matematika), bermain mengaktifkan semua fungsi otak secara bersamaan karena bermain melibatkan semua pengetahuan dan ketrampilan di seluruh area otak.

Manfaat bermain bagi area perkembangan anak secara menyeluruh telah banyak diteliti. Ahli-ahli teori seperti Piaget, Vygotsky, Dewey, Sutton-Smith, dan Brunner mengemukakan pentingnya bermain bagi semu aspek perkembangan anak usia dini (dalam Hughes, 1999 dan Johnson, Christie, and Wardle, 2005). Hasilnya bermain melayani perkembangan logika matematika, perkembangan literasi dan bahasa, perkembangan sains, perkembangan seni, perkembangan informasi dan teknologi, perkembangan moral, perkembangan emosi, dan perkembangan sosial anak secara optimal (Bodrova and Leong, 2003; Hughes, 1999; Johnson, Christie, and Wardle, 2005; Van Hoorn et al., 2011; Vygotsky, 1933; Wolfgang and Wolfgang, 1992)

2. Karena bermain menyediakan pembelajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Melalui bermain, tingkat kesulitan sebuah informasi atau ketrampilan dipelajari sesuai dengan kemampuan si anak. Anak menentukan kapan ia masih perlu berkutat dengan sebuah konsep/ ketrampilan tersebut, kapan ia sudah dapat melanjutkan ke tahap selanjutnya. Direct instruction tidak memfasilitasi hal tersebut karena berasal dari luar diri anak yang tidak benar-benar mengerti kebutuhan internal anak. Seorang guru mungkin saja mengakhiri kegiatan karena waktu habis atau karena dikejar target materi padahal anak belum benar-benar mengakuisisi pengetahuan/ keterampilan yang diajarkan.

3. Karena bermain menjadikan anak sebagai pembelajar yang kompeten. Dengan keleluasaan untuk menentukan ritme dan waktu penguasaan konsep/ ketrampilan, anak mengembangkan rasa percaya dirinya. Ia percaya bahwa ia mampu menguasi sesuatu. Direct instruction seringkali membuat anak merasa gagal karena target dan waktu yang ditetapkan tidak sesuai dengan kebutuhan anak. Akibat jangka panjangnya adalah anak merasa bahwa ia bukanlah orang yang kompeten untuk mempelajari sesuatu.

KESIMPULAN

Teori-teori dan penelitian-penelitian tentang bermain banyak mempengaruhi kebijakan pendidikan anak usia dini. Banyak negara, termasuk Indonesia, mengintegrasikan bermain dalam kurikulum pembelajaran anak usia dini. Akan tetapi, pemahaman konsep , teori, dan karakteristik yang kurang memadai tentang bermain menjadikan implementasi kebijakan tidak berjalan baik di praktik pendidikan anak usia dini. Tanpa pemahaman yang baik, guru sebagai ujung tombak pelaksanaan kurikulum tidak akan dapat memfasilitasi kegiatan bermain dengan baik. Oleh karena itu, orang-orang yang bergerak di bidang pendidikan anak usia dini perlu memahami filosofi yang mendasari penerapan bermain dalam pembelajaran anak usia dini. Pemahaman teori yang solid mengenai karakteristik dan manfaat bermain akan mengantar para pendidik usia dini untuk mengimplementasikan kebijakan bermain dengan tepat dan pada akhirnya menguntungkan perkembangan anak didik mereka. Sebaliknya, pemahaman konsep bermain yang hanya didasarkan pada persepsi pribadi mengakibatkan praktik-praktik yang melanggar prinsip-prinsip bermain dan pada akhirnya merugikan perkembangan anak didiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Arthur, L., (2008). Programming and planning in early childhood settings. South Melbourne, Vic: Cengage Learning Australia.

Bodrova, E. & Leong, D. J. (2003). The importance of being playful. Educational Leadership, April, 50-53.

Dewantara, K.H. (1977). Karya Ki Hadjar bagian I: Pendidikan. Yogyakarta: Majelisluhur Persatuan Taman Siswa.

Fromberg, D. P. (2002). Play and meaning in early childhood education. Boston: Allyn and Bacon.

Hughes, F. P. (1999). Children, play, and development. 3rd  edn. Boston: Allyn and Bacon.

Johnson, J. E., Christie, J. F., & Wardle, F. (2005). Play, development, and early education. Boston, London: Pearson/ Allyn and Bacon.

Lifter, K., Foster-Sanda, S., Arzamarski, C., Briesch, J., & McClure, E. (2011). Overview of play: Its uses and importance in Early Intervention/ Early Childhood Special Education. Infants and Young Children, vol. 24 (3), 225 – 245.

Levy, J. (1978). Play behavior. Somerset, NJ: John Wiley & Sons, Inc.

Van Hoorn, J., Nourot, P. M., Scales, B., & Alward, K. R. (2011). Play at the center of the curriculum. Upper Saddle River, N.J: Pearson Education.

Wardle, F. (1999). Play as curriculum. Early childhood news, March/ April, 6 – 9.

Wolfgang, C. H. & Wolfgang, M. E. (1992). School for young children: Developmentally appropriate practice. Needham Heights, MA: Allyn and Bacon.

 

Â