STUDI SOSIO TEOLOGIS TENTANG PERSEKUTUAN MAHASISWA HAPPY CENTER UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SEBAGAI SUATU BENTUK GERAKAN KEAGAMAAN

 

Maleachi Kameo

Magister Sosiologi Agama Pasca Sarjana Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

 

ABSTRACT

The religious movement in the form of student communities is increasingly developing and has had influences on the students’ religious life. This study aimed to describe what is the value in the development of a religious movement and know the motivation of the students to engage in a religious movement Qualitative research with descriptive approach and using interview techniques as well as direct observation in this study found that family, solidarity and religious values based on biblical texts are values that influence members who are SWCU students to be actively involved in it. The involvement of SWCU students in this movement was greatly influenced by these values. These students are motivated to be involved because there is a good acceptance. Needs such as self-recognition, respect, appreciation and care that they get and the facilities provided to support this movement have become reasons and motivate their involvement in the Happy Center. The Happy Center religious movement has become a place or space for students to live ecumenically or communally with various church differences and dedications from its members, but the fanatical attitude and exclusivity of this movement has become isolated from the development of discourse and religious praxis.

Keywords: Movement, Religion, and Value, Happy Center, SWCU, Salatiga

 

ABSTRAK

Gerakan keagamaan dalam bentuk persekutuan mahasiswa semakin berkembang dan telah membawa pengaruh terhadap kehidupan keagamaan mahasiswa. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang menjadi nilai dalam perkembangan suatu gerakan keagamaan, serta mengetahui motivasi para mahasiswa untuk terlibat dalam suatu gerakan keagamaan. Penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan menggunakan teknik wawancara serta observasi langsung dalam penelitian ini menemukan bahwa Kekeluargaan, solidaritas dan nilai-nilai keagamaan yang didasari oleh teks-teks Alkitab adalah nilai-nilai yang mempengaruhi para anggota yang adalah para mahasiswa UKSW untuk terlibat aktif di dalamnya. Keterlibatan mahasiswa UKSW dalam gerakan ini sangat dipengaruh oleh nilai-nilai tersebut. Para mahasiswa ini termotivasi untuk terlibat di dalamnya karena ada suatu penerimaan yang baik. Kebutuhan-kebutuhan seperti pengakuan diri, kebutuhan akan rasa hormat, penghargaan dan kepedulian yang mereka dapatkan serta fasilitas-fasilitas yang disediakan untuk menunjang gerakan ini telah menjadi alasan dan sekaligus adalah motivasi keterlibatan mereka pada Happy Center. Gerakan keagamaan Happy Center telah menjadi wadah atau ruang bagi para mahasiswa untuk hidup secara oikumenis atau secara komunal dengan berbagai perbedaan maupun dedominasi gereja dari para anggotanya, tetapi sikap fanatik dan eksklusifisme gerakan ini menjadi terisolir dari perkembangan wacana maupun praksis keagamaan.

Kata kunci: Gerakan, Keagamaan, dan Nilai, Happy Center, UKSW, Salatiga

 

LATAR BELAKANG

Happy Center adalah suatu persekutuan anak muda yang merasa terbeban dengan misi Kristen di Indonesia, mereka berkumpul dalam suatu wadah persekutuan yang dibentuk oleh seorang yang berasal dari Korea Selatan yaitu Pdt Yong Ku Joseph Her, dan sebagian besar anggota persekutuan ini adalah mahasiswa UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga).[1] Walaupun memiliki jumlah anggota yang terbatas, dan sebagian besar anggotanya adalah mahasiswa, kehadiran persekutuan ini layaknya suatu komunitas gerejawi. Informasi yang diperoleh penulis persekutuan Happy Center dibentuk di Salatiga pada tahun 2011. Persekutuan ini didirikan oleh seorang misionaris asal Korea Selatan Pendeta Yong Ku Joseph Her atau yang biasa dipanggil dengan Pak Ho. Persekutuan Happy Center diawali dengan sebuah persekutuan doa yang hanya diikuti oleh Pendeta Ho dan Keluarga. Melalui sebuah perkenalan dengan salah seorang mahasiswa yang kebetulan pada saat itu sedang mengikuti kursus Bahasa Korea bersama Pendeta Ho, persekutuan ini mulai diperkenalkan kepada beberapa mahasiswa yang tinggal di Asrama Kartini UKSW kemudian dari hubungan-hubungan pertemanan beberapa orang mulai tertarik untuk ikut dalam persekutuan ini. Dari sebuah persekutuan kecil inilah terbentuk suatu persekutuan yang dikenal dengan Happy Center yang saat itu jumlah mahasiswa yang terlibat di dalamnya 7-8 orang. Dari observasi yang dilakukan penulis dalam persekutuan yang diadakan terlihat bahwa jumlah keanggotaan persekutuan ini semakin bertambah 35-40 orang, pertambahan anggota karena hubungan pertemanan yang sudah ada dan hampir sebagian besar anggotanya adalah mahasiswa UKSW. Keanggotaan tersebut sangat didominasi oleh perempuan dan sebagian para mahasiswa ini berasal dari NTT.[2]

Happy Center adalah suatu persekutuan yang perkembangannya begitu dinamis, walaupun persekutuan ini di bentuk oleh seorang Pendeta misionaris yang bukan berasal dari Gereja-gereja yang ada di Indonesia tetapi dari observasi penulis melihat bahwa kehadirannya telah mempengaruhi orang untuk terlibat di dalamnya, hal ini terlihat dari keterlibatan para mahasiswa di dalamnya. Para mahasiswa yang terlibat dalam persekutuan ini sebagian besar adalah mahasiswa yang berasal dari luar kota Salatiga, diantaranya Kalimantan, Ambon, Papua dan sebagian besar berasal dari Soe Nusa Tenggara Timur. Penulis juga melihat bahwa dalam praktek keagamaannya Happy Center telah menjadi suatu persekutuan layaknya suatu komunitas Gereja yang juga mempengaruhi kehidupan keagamaan para mahasiswa yang terlibat di dalamnya.[3]

Dengan bertolak dari latar belakang yang dikemukakan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan Studi Sosio Teologis terhadap Persektuan Happy Center karena kehadirannya sebagai sebuah bentuk perilaku kolektif yang di dalamnya ada nilai-nilai, kepentingan, gagasan yang berkembang menjadi sebuah tindakan kolektif. Sebagai persekutuan ataupun kelompok keagamaan, Happy Center tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan di dalamnya. Perilaku kolektif dari sebagai seorang misionaris asal Korea tentunya tidak juga terlepas dari misi pekabaran injil yang dibawanya hal inilah yang menjadi Nilai atau Kepentingan yang bersifat keagamaan yang berkembang menjadi sebuah tindakan kolektif. Perkembangannya yang begitu dinamis dari persekutuan ini adalah suatu fenomena mobilisasi yang dapat terlihat dalam berbagai kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial yang ada, kegiatan-kegiatan tersebut berjalan secara rutin dan membawa dampak terhadap keaktifan dan keikutsertaan dari beberapa mahasiswa UKSW. Hal inilah yang menjadi alasan bagi penulis untuk melakukan sebuah studi yang didasari oleh teori tentang gerakan keagamaan dalam menganalisis Persekutuan Happy Center dan apa yang menjadi nilai dari gerakan ini sehingga begitu mempengaruhi para mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) untuk terlibat di dalamnya.

Keberadaannya sebagai suatu komunitas kristen dalam bentuk persekutuan dan kegiatan keagaaman dan juga dalam berbagai kegiatan sosial yang dilakukakn menjadi suatu alasan yang menarik bagi penulis untuk melakukan penelitan ini karena itu melalui penelitian ini penulis akan merumuskan beberapa pertanyaan penelitian dan juga sebagai masalah utama bagi penulis dalam penelitian ini: Apakah nilai yang mempengaruhi Persektuan Happy Center sebagai bentuk gerakan keagamaan? Apakah yang menjadi motivasi para mahasiswa UKSW dalam keikutsertaan dan keaktifan dalam gerakan tersebut serta bagaimana tanggapan kritis terhadap Gerakan Happy Center? Dengan tujuan penelitian adalah Mendeskripsikan tentang nilai yang mempengaruhi perkembangan Happy Center sebagai gerakan keagamaan. Serta Mendekripsikan motivasi mahasisiwa UKSW dalam keikutsertaan dan keaktifannya pada gerakan tersebut serta memberikan tanggapan kritis.

Tulisan ini diharapkan dapat menjadi sebuah resensi dalam kajian sosio-teologis terhadap suatu gerakan keagamaan. Tulisan ini juga menjadi sangat penting dilakukan oleh karena masih terbatasnya kajian-kajian sosial teologis mengenai gerakan-gerakan keagamaan.

METODE PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Jenis penelitian kualitatif yang akan digunakan adalah deskriptif analitis, tujuannya adalah untuk menjelaskan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta atau populasi tertentu.[4]

 Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah observasi dan Wawancara terstruktur. Wawancara yang dilakukan lebih difokuskan pemimpin dan pendiri Happy Center dengan dukungan informasi dari 2 orang yang pernah dan sedang menjadi anggota dan pengurus dari Happy Center serta 20 orang mahasiswa UKSW yang terlibat di dalam persekutuan tersebut sehingga akan diketahui apa nilai yang mempengaruhi para mahasiswa untuk terlibat dalam persekutuan tersebut, adakah norma yang mengatur keikutsertaan para mahasiswa dalam persekutuan tersebut.

Selain beberapa teknik pengumpulan data di atas penulis juga akan melakukan focus group discussion (FGD) dengan tujuan agar dapat memperoeh jawaban yang sama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penting dari penelitian ini. Studi kepustakaan dilakukan penulis dalam mendukung secara teoritis penelitian ini.

 

 

GERAKAN KEAGAMAAN DALAM PERSPEKTIF SOSIO TEOLOGIS

 

Dalam ilmu sosial berbicara tentang gerakan berarti suatu aktifitas atau kegiatan di mana adanya interaksi antara manusia dengan manusia yang lain. Garner mendefenisikan bahwa gerakan adalah suatu respon inidividu atau seseorang terhadap seseorang yang lain. Gerakan tidak terpisahkan atau terkotak-kotak dalam interaksi terhadap ‘sesuatu’ tetapi melibatkan pikiran manusia dan tindakan dalan interaksi tersebut.[5]

Beberapa teori tentang gerakan keagamaan dalam pendekatan Sabila yang diapakai penulis untuk memahami kemunculan gerakan-gerakan keagamaan baru.[6]

1)    Rodney Stark dan William Sims Bainbridge merumuskan dalam bahasa sosiologis “When religion becomes too securalized one can expect new religious group to come into being” yang melihat gerakan-gerakan keagamaan sebagai kebangkitan keagamaan dan spiritual yang asli. Gerakan-gerakan keagamaan muncul dapat muncul dan terjadi kapanpun ketika agama-agama tradisional kehilangan vitalitas yang original.

2)    Bryan Wilson yang mengatakan bahwa kemunculan gerakan keagamaan sebagai indikasi dari sebuah pendakalan agama dan bukan suatu kebangkitan agama asli. Gerakan keagamaan hadir disaat adanya dampak dari sebuah proses sekularisasi terhadap agama-agama yang sudah ada.

3)    Robert Wuthnow gerakan keagamaan sebagai bentuk agama ekperimen. Artinya dalam sebuah masyarakat yang menekankan kebebasan dan menghargai sebuah pengalaman individu sebagian besar orang tertarik oleh gerakan-gerakan keagamaan bahkan dalam bentuk keagamaan yang baru. Sifat ekperimental ini sebagai akibat dari hilangnya ikatan-ikatan kekeluargaan.

Contoh dalam tradisi reformatoris adalah gerakan Pietisme. Gerakan Pietisme merupakan gerakan yang muncul dan menjadi populer dalam Gereja Lutheran. Kelompok-kelompok ini merupakan kumpulan orang-orang yang hidup saleh. Pietisme lahir sebagai sebuah reaksi terhadap ortodoksi dalam kehidupan gereja. Para pengikut gerakan ini merasa kecewa dengan pelayanan fiman yang ada di Gereja Lutheran ataupun di Gereja-gereja Calvinis karena pelayanan firman di dalam gereja yang bersifat intelektual. Selain itu gerakan ini muncul juga karena kekecewaan terhadap kehidupan Kristiani yang telah dipengaruhi oleh kehidupan duniawi. Untuk mencapai tujuan mereka, kaum Pietis menekankan pada beberapa hal yaitu: (1) iman yang berpusat pada Alkitab dan bukan pada ajaran gereja, (2) pengalaman khas dalam kehidupan Kristiani (rasa berdosa, pengampunan, pertobatan, kesucian dan kasih dalam persekutuan) (3) pengungkapan iman secara bebas melalui nyanyian, kesaksian dan semangat menginjili.[7]

Smelser telah berusaha untuk membedakan tipe perilaku kolektif yang mencakup perilaku yang bersifat keagamaan sebagai satu model tindakan. Ia selanjutnya mendefinisikan gerakan keagamaan sebagai gerakan yang berorientasi nilai. Artinya gerakan-gerakan keagamaan yang ada sekarang ini sebaiknya dipandang sebagai gerakan sosial yang berorientasi nilai.[8]

Selain Smelser, di dalam proses globalisasi Alberto Meluci juga mengembangkan sebuah teori perilaku kolektif yang disebutnya sebagai teori tindakan kolektif. Meluci lebih memperhatikan kosntruksi identitas kolektif di tengah transformasi budaya oleh karena perkembangan dari sistem teknologi komunikasi. Menurut Meluci gerakan-gerakan sosial memberikan kesempatan kepada orang-orang untuk memperoleh kembali hak-hak individual dalam mendefinisikan identitas mereka dan menentukan kehidupan pribadi.

Weber mencirikan empat tipe tindakan dasar yaitu: pertama, tindakan yang secara instrumental berorientasi pada rasionalitas sarana-tujuan atau tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain; harapan-harapan ini digunakan sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan rasional. Kedua, tindakan sosial yang berorientasi nilai yang ditentukan oleh keyakinan secara sadar terhadap nilai etika, keindahan dan agama yang terlepas dari prospek keberhasilannya. Tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungan dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai akhir biasanya bersifat nonrasional dalam hal ini orang-orang tidak memperhitungkan tujuan mana yang harus mereka pilih. Tindakan religius merupakan bentuk dasar dari tindakan ini. Orang-orang yang beragama menilai bahwa pengalaman bersama dengan Allah merupakan nilai akhir dan individu akan menggunakan alat-alat seperti meditasi, upacara keagamaan sebagai alat untuk mendapatkan pengalaman religius.[9] Ketiga, tindakan sosial yang berorientasi afektif emosional yang ditentukan oleh kondisi perasaan emosional sang aktor. Keempat, tindakan sosial tradisional yang ditentukan oleh cara bertindak sang aktor yang biasa dan lazim dilakukan.[10]

Menurut Talcot Parson, sebuah tindakan sosial selalu melibatkan aktor, tujuan tindakan itu diarahkan, situasi yang mencakup ketentuan dan sarana untuk tindakan dan norma untuk pengarahan tindakan tersebut.[11]

Smelser membagi dalam empat bagian utama dalam memahami tindakan sosial. Pertama, nilai-nilai (values) yang memberi panduan pada perilaku sosial yang disengaja. Nilai-nilai adalah bagian yang paling umum dari tindakan sosial dan ditemukan dalam sebuah sistem nilai, bagian kedua adalah norma (norms) yang mengatur pencapaian suatu tujuan dari perilaku sosial. Norma adalah penegasan dari suatu penerapan nilai, lebih spesifik daripada nilai karena menentukan prinsip aturan jika ingin mewujudkan nilai-nilai. Bagian ketiga adalah mobilisasi individu-individu dalam meraih nilai-nilai dari tujuan setiap tindakan sosial berdasarkan norma atau aturan-aturan. Bagian ini sangat ditentukan oleh siapa yang menjadi agen berdasarkan peran yang terstruktur dan terorganisasi sehingga dapat dihargai atas partisipasinya di dalam organisasi untuk dalam mencapai dan mewujudkan tujuan akhir atau nilai-nilai yang diharapkan. Bagian keempat adalah ketersediaan fasilitas fungsional yang dipakai oleh aktor untuk ketiga hal di atas yang mencakup pengetahuan akan lingkungan, kemampuan untuk memperkirakan akibat dari tindakan. Bagian ini melibatkan cara-cara untuk menfasilitasi dan halangan-halangan yang menghalangi pencapaian dari tujuan-tujuan yang konkrit dalam konteks peran dan organisasi.[12]

Menurut Talcot Parson, sebuah tindakan sosial selalu melibatkan aktor, tujuan tindakan itu diarahkan, situasi yang mencakup ketentuan dan sarana untuk tindakan dan norma untuk pengarahan tindakan tersebut.[13] Berdasarkan Weber dan Talcot, Neil Smelser mengembangkan tindakan sosial ke dalam empat kaitan yaitu tindakan sosial yang selalu diarahkan kepada pencapaian tujuan, terjadi dalam situasi sosial dan melibatkan motivasi. Berdasarkan hal ini Smelser menyebutkan empat bagian utama dari tindakan sosial yaitu nilai yang menjadi panduan dari perilaku sosial. Nilai menjadi komponen utama dari tindakan sosial yang ditemukan dalam sistem nilai yang menyatakan tujuan akhir. Bagian kedua adalah norma-norma. Norma adalah aturan yang menegaskan terapan nilai-nilai umum. Norma sangat menentukan prinsip regulatif untuk mewujudkan situasi yang ada. Bagian ketiga adalah mobilisasi individu dalam meraih nilai-nilai sebagai tujuan tindakan berdasarkan norma-norma. Bagian ini berkaitan dengan agen utama dalam mewujudkan nilai-nilai yang diharapkan. Bagian keempat adalah fasilitas situasional. Fasilitas yang dipakai oleh aktor adalah pengetahuan akan lingkungan, prediksi hasil dari tindakan dan alat-alat serta keterampilan. Bagian ini menunjuk pada pengetahuan aktor untuk mempengaruhi lingkungannya.[14]

Munculnya sebuah gerakan berorientasi nilai menurut Smelser karena tidak tersedianya cara alternatif dalam menyusun kembali sebuah situasi sosial. Ada tiga aspek utama dalam memahami ketidaktersediaan d iatas. Pertama, adanya kelompok yang merasa diperlakukan kurang adil (aggrieved) dengan tidak adanya fasilitas dalam menyusun kembali sebuah situasi sosial. Kedua, suatu kelompok yang diperlakukan kurang adil dengan dilarang atau dicegah untuk dapat mengekspresikan rasa dan ketidakpuasan mereka pada orang atau kelompok yang bertanggung jawab terhadap suatu keadaan. Ketiga, kelompok yang diperlakukan kurang adil dengan tidak dapat memodifikasi suatu struktur normatif yang mempengaruhi mereka untuk dapat memiliki kuasa dalam melakukan hal tersebut.[15]

Gerakan berorientasi nilai adalah suatu upaya secara kolektif untuk merestorasi, memproteksi, memodifikasi atau untuk menciptakan nilai-nlai demi sebuah kepercayaan umum yang melibatkan semua unsur dari suatu tindakan yaitu rekontruksi nilai-nilai, redefenisi norma, reorganisasi motivasi individu.[16] Kepercayaan-kepercayaan yang berorintasi pada nilai dapat terbentuk oleh item-item kultural pribumi atau yang diimpor dari luar budaya atau terbentuk oleh sinkritisme. Kepercayaan ini melibatkan restorasi nilai masa lampau, pelestarian nilai terkini, penciptaan nilai baru untuk masa depan atau pencampuran dari hal-hal di atas.[17] Kepercayaan berorientasi nilai juga dapat terbentuk oleh adanya seorang pemimpin yang menjadi simbol dari kepercayan tersebut. Munculnya gerakan-gerakan keagamaan berdasarkan kontruksi pertambahan nilai dimulai ketika agama menjadi kepentingan dominan.

HASIL DAN PENYAJIAN DATA

Happy Center Sebagai Gerakan Keagamaan Berorientasi Nilai

Dengan melihat data yang diperoleh penulis terhadap kehadiran gerakan Happy Center dalam bentuk persekutuan, maka aktifitas yang dijalankan dalam bentuk praktek keagamaan adalah suatu bentuk perilaku kolektif di mana yang terjadi karena adanya interaksi antara sesama manusia melalui suatu respon terhadap sesuatu yang dianggap dapat mempengaruhi keinginan sesorang untuk membentuk sebuah gerakan dalam bentuk gerakan keagamaan. Bertolak dari wawancara Penulis dengan pemimpin yang sekaligus adalah pendiri dari Happy Center maka terlihat bahwa kecintaan Pendeta Ho terhadap Indonesia telah melatar belakangi pembentukan dari Happy Center. Kepedulian terhadap misi pelayanan di Indonesia juga adalah sebuah bentuk respon yang mempengaruhi beliau untuk membentuk Happy Center.[18] Selain itu juga bagi beliau Happy Center kiranya menjadi salah satu wadah perjumpaan manusia (Mahasiswa) dengan Allah yang di wujudkan melalui perumpaan manusia dengan sesamanya. Hal ini didukung dengan kegiatan-kegiatan yang diadakan diantaranya:[19] Ibadah persekutuan yang diadakan setiap hari Minggu pukul 12.00-14.00 dengan tema ‘Pray For Revival In Indonesia’; Pemahaman Alkitab dengan waktu yang disesuaikan; Diskusi Kelompok yang diadakan satu kali dalam seminggu; Pelayanan Mingguan pada beberapa Gereja terdekat yang ada di sekitar Salatiga; Diakonia yaitu pelayanan Kasih pada beberapa Panti Asuhan dan Panti Jompo yang ada di sekitar Salatiga; Perayaan Hari-hari besar Keagamaan seperti Natal dan Paskah dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang melibatkan para anggota maupun undangan dan warga di sekitar lingkungan tempat tinggal dari Pdt. Ho; Kegiatan Pastoral yang difokuskan pada beberapa anggota yang sedang mengalami masalah; Kursus Bahasa (Inggris, Mandarin dan Bahasa Korea) bagi anak-anak usia 8-12 tahun setiap hari Selasa; Retreat yang dilaksankan setiap 3 bulan sekali; dan kegiatan yang lain adalah perkunjungan pelayan dan Mahasiswa dari luar seperti Amerika dan Korea.[20]

Selain itu juga sebagai sebuah gerakan keagamaan Happy Center tidak terlepas dengan nilai-nilai keagamaan yang dikutip dari beberapa ayat Alkitab seperti Matius 28 ayat 19 yang berbunyi; ‘Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh kudus’. Ayat ini digunakan sebagai motivasi bagi setiap anggota untuk melayani sesama; Kisah Para Rasul 2 ayat 17:’Akan terjadi pada hari-hari terakhir demikianlah Firman Allah bahwa Aku akan mencurahkan Roh Ku ke atas semua manusia; maka anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat dan teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan, dan orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi’. [21]

Dari kedua ayat di atas dapat dilihat bahwa kehadiran Happy Center sebagai gerakan keagamaan tidak dapat terlepas dari nilai-nilai keagamaan yang ada. Nilai-nilai tersebut dipakai sebagai dasar akan sebuah pengharapan akan terjadinya suatu Kebangunan Rohani di Indonesia. Seorang yang adalah anggota dari Happy Center mengatakan:[22]

‘Pak Ho (Pendiri HC) sering mengajak kami untuk berdoa di Happy Center dalam setiap kegiatan yang ada untuk terjadinya kebangkitan atau kebangunan rohani di Indonesia seperti yang pernah terjadi sebelum 52 tahun yang lalu’.

Pemaknaan Nilai-nilai Agama yang di kutip dari Ayat-ayat Alkitab di atas di aktualisasikan melalui kegiatan-kegiatan atau ritual keagamaan seperti Ibadah minggu, ibadah pergumulan, pelayanan yang di lakukan pada beberapa panti asuhan dan panti jompo dan juga dalam kegiatan rohani seperti Pendalaman Alkitab (PA) maupun Ret-reat

Kehadiran Happy Center sebagai salah satu bentuk gerakan keagamaan sangat mempengaruhi kehidupan keagamaan dari para mahasiswa UKSW yang terlibat di dalamnya. Dari Focus Group Discussion yang dibuat, penulis menemukan bahwa kenyamanan beribadah secara berkelompok yang ditunjukan dalam bentuk kepedulian juga terlihat sebagai motivasi dari para anggota gerakan ini. Pengakuan beberapa mahasiswa Happy Center adalah persekutuan yang tidak memiliki aturan-aturan yang mengikat mereka untuk terlibat di dalamnya. Sebagian mahasiswa ini juga mengakui bahwa aktif dan terlibat dalam persekutuan Happy Center sama saja dengan pergi beribadah pada Gereja-gereja yang ada di salatiga.[23]

Dalam melibatkan para mahasiswa di dalam gerakan ini, sang pemimpin gerakan menggunakan pendekatan yang lebih bersifat kekeluargaan. Hal ini terlihat dari ajakan-ajakan dalam bentuk undangan yang terbatas dan hanya diketahui oleh mereka yang memiliki hubungan pertemanan dengan para anggota yang sudah aktif di dalamnya. Ajakan atau undangan untuk terlibat dalam gerakan ini didukung juga oleh berbagai fasilitas-fasilitas seperti penjemputan dengan kendaraan yang disediakan, makan bersama yang dibiayai oleh pemimpin gerakan dan juga fasilitas-fasilitas lain yang mendukung jalannya peribadatan dalam pelaksanaan persekutuan. Dari beberapa undangan yang didapati penulis sebagai data dalam penelitian ini terlihat bahwa fasilitas-fasilitas tersebut telah menjadi item-item penting yang mempengaruhi motivasi para mahasiswa untuk mengikuti kegiatan ibadah yang ada dalam persekutuan ini. Artinya nilai-nilai keagamaan yang ada dari gerakan ini bukan satu-satunya yang mempengaruhi para mahasiswa untuk terlibat di dalamnya.

Dari wawancara yang dilakukan terhadap delapan orang mahasiswa anggota Happy Center, lima di antaranya menjawab bahwa keikutsertaan mereka dalam ibadah yang diadakan setiap hari Minggu dan beberapa kegiatan lain, telah membantu mereka untuk dapat mengurangi kebutuhan- kebutuhan bulanan mereka seperti biaya makan.[24] Selain itu salah seorang menceritakan bahwa beberapa dari mereka juga pernah menerima bantuan keuangan untuk biaya kuliah dan bantuan biaya pengobatan bagi beberapa mahasiswa ketika sakit.[25] Kebutuhan-kebutuhan ini disediakan oleh Pemimpin dari persekutuan ini. Bagi para mahasiswa kebaikan dari Pak Ho telah menjadi suatu keteladanan yang mempengaruhi motivasi mereka untuk terlibat aktif dalam persekutuan Happy Center.

Dari wawancara dengan Pendeta Ho, Penulis mendapatkan bahwa Nilai-nilai keagamaan tersebut didapat melalui keikutsertaan para mahasiswa di dalam kegiatan yang ada dalam gerakan ini. Hal ini terlihat dari hubungan-hubungan yang tercipta diantara sesama anggota, hubungan antara Pendeta Ho dan para mahasiswa maupun para mahasiswa dengan mahasiwa dari luar negeri yang sering berkunjung ke Happy Center.

Bertolak dari keterlibatan dan observasi yang di lakukan penulis juga melihat bahwa kecendrungan para mahasiswa untuk aktif pada persekutuan Happy Center sebagai gerakan keagamaan adalah karena adanya keteladanan dari sosok yang di anggap mempunyai kharisma yang tidak lain adalah pemimpin dari persekutuan ini.

Keikutsertaan dan keaktifan individu-individu atau para anggota dari gerakan Happy Center juga bukan karena sebuah warisan budaya tetapi lebih kepada komitmen yang sungguh dan kesadaran. Hal ini terlihat karena tidak adanya sebuah pemaksaan doktrin-doktrin keagamaan tetapi lebih bersifat ajakan atau undangan untuk terlibat di dalamnya. Komitmen dan kesadaran tersebut juga tidak datang karena sebuah pengaruh doktrin keagamaan yang sudah ada tetapi muncul karena kesadaran diri dalam mengalami langsung suatu pengalaman keagamaan di dalamnya. Dari pengakuan beberapa mahasiswa yang di wawancarai penulis, mengatakan bahwa ada perasaan yang berbeda ketika mereka ada dalam situasi ibadah, hal ini menjadi berbeda ketika mereka beribadah di Gereja yang lebih terlihat kaku dan monoton.[26] Sebagian juga mengakui bahwa keikutsertaan mereka di dalam persekutuan tersebut terjadi karena adanya ketidakpuasan mereka terhadap ibadah-ibadah yang ada dari gereja-gereja yang ada di Salatiga, dimana lebih terlihat kaku dan monoton dalam setiap liturgi yang ada. Selain itu juga status sebagai mahasiswa yang berasal dari luar salatiga telah membatasi pengenalan mereka terhadap gereja-gereja yang ada di Salatiga.

Kehadiran Happy Center juga telah menjadi sebuah gerakan dalam bentuk persekutuan yang mengedepankan sebuah kebebasan secara khusus dalam memberi kesempatan bagi para anggotanya untuk dapat menceritakan pengalaman-pengalaman kegamaan dan berbagi dengan sesama anggotanya baik dalam bentuk kesaksian-kesaksian maupun dalam bentuk penyampaian khotbah dan puji-pujian.[27]

Bertolak dari wawancara penulis dengan Pdt Ho, dikatakan bahwa Pengalaman-pengalaman keagamaan ataupun pengalaman-pengalaman religius di masa lalu sangat mempengaruhi pembentukan dan perkembangan dari Happy Center sebagai suatu gerakan keagamaan. Salah satu pengalam religius adalah peristiwa kebangkitan rohani yang terjadi pada tahun 1965-1969, di mana melalui peristiwa tersebut terbentuklah berbagai gerakan-gerakan keagamaan dalam bentuk persekutuan-persekutuan doa sampai sekarang ini. Tema “Pray for Revival in Indonesia” adalah refleksi dari suatu pengharapan akan sebuah perubahan yang terjadi dari suatu peristiwa kebangkitan rohani. Peristiwa tersebut dapatlah dicapai melalui setiap individu-individu dalam hal ini orang-orang muda yang adalah para mahasiswa yang terlibat di dalam persekutuan ini.[28] Bagi penulis hal ini juga telah menjadi visi yang diusung oleh pemimpin gerakan ini dan dengan sumber daya, pengalaman dan pengetahuan atau pandangan dalam bidang keagamaan yang dimilikinya telah mempengaruhi para anggota yang adalah para mahasiswa untuk percaya pada visi yang ingin dicapainya. Visi ini juga adalah nilai akhir yang ingin dicapai dalam setiap tindakan-tindakan keagamaan dari persekutuan Happy Center melalui setiap individu-individu dalam hal ini para mahasiswa.

Happy Center sebagai sebuah gerakan keagamaan juga telah menjadi sebuah tempat di mana para mahasiswa dapat saling menceritakan masalah-masalah yang dialami baik itu masalah perkuliahaan maupun masalah-masalah hidup lainnya, yang kemudian mencari solusi bersama dengan sang Pendeta maupun bersama para mahasiswa lainnya kemudian saling mendoakan. Pengakuan seorang mahasiswa: [29]

“Happy Center telah menjadi tempat yang baik bagi saya untuk dapat menceritakan masalah-masalah yang saya hadapi, pergumulan-pergumulan hidup juga dapat saya ceritakan di sini dan Pak Ho sangat peduli dengan kami para mahasiswa yang aktif di dalamnya.”

Di sinilah dapat dilihat bahwa sebuah gerakan keagamaan khususnya yang penulis temukan dari Happy Center telah menjadi tempat di luar gereja yang dapat memberi kebebasan bagi individu untuk mengungkapkan keinginannya kepada Tuhan.

ANALISIS DATA DAN TANGGAPAN KRITIS

Secara sosilogis Happy Center adalah bagian dari sebuah gerakan sosial. Keberhasilan sebuah gerakan keagamaan sangatlah ditentukan oleh gagasan, individu, organisasi yang terhubung satu dengan yang lain dalam sebuah perlaku kolektif yang ditunjukan oleh salah satu aktor yang adalah pendiri dari persekutuan ini. Salah satu aktor kunci dalam gerakan ini adalah Pendeta Yong Ku Joseph Her atau yang biasa dipanggil dengan Pak Ho. Dalam proses perkembangan sebagai sebuah gerakan kegamaan terkandung nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, gagasan yang berkembang menjadi sebuah tindakan kolektif. Nilai-nilai yang dimaksud penulis adalah nlai-nilai keagamaan yang dibawa seorang Pendeta Misionaris asal Korea Selatan. Sebagai seorang misionaris asal Korea tentunya tidak juga terlepas dari misi pekabaran injil yang dibawanya hal inilah yang menurut penulis telah menjadi sebuah kepentingan keagamaan yang kemudian menciptakan suatu gagasan dan terbentuk menjadi sebuah tindakan kolektif untuk membentuk sebuah persekutuan Happy Center.

Bertolak dari pemahaman di atas maka secara Sosiologis, pemaknaan paham keagamaan dari persekutuan Happy Center sebagai suatu gerakan keagamaan teraktualisasi dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti ibadah sosial melalui perkunjungan pada beberapa Panti Asuhan dan Panti Jompo, pembagian Sembako dan pakaian layak pakai. Kegiatan-kegiatan ini bukan saja di tujukan bagi kalangan Kristen tapi juga bagi Agama lain khususnya para masyarakat kurang mampu yang ada di sekitar lingkungan kompleks dari Happy Center. Dengan sumber daya yang dimiliki oleh Pendeta Ho serta latar pendidikan yang dimiliki Happy Center juga telah menjadi tempat bagi sebuah pengembangan pendidikan melalui kursus atau pelatihan bahasa yaitu Bahasa Mandarin, Inggris dan Korea. Bagi Saliba, secara fungsional hal ini adalah sebuah bentuk katalisator bagi sebuah perubahan keagamaan dan adalah akar dari gerakan-gerakan keagamaan.[30]

Dalam memperlihatkan perkembangannya sebagai gerakan keagamaan Happy Center bukanlah suatu pembentukan agama baru atau suatu bentuk pemisahan sekatarian dari agama-agama yang sudah ada, tetapi adalah gerakan yang diilhami oleh individu kharismatik tertentu atau sekumpulan ajaran dalam budaya keagamaan dari agama dan kepercayaan yang sudah ada. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Clarke dalam tesisnya New Religion ini Global Perpective. Penulis juga melihat bahwa kehadiran dari Happy Center telah menjadikannya sebagai wadah untuk menolong orang-orang mengatasi masalah karena kondisi sosial yang tidak dapat diatasi seperti pembagian sembako bagi mereka yang membutuhkan khususnya bagi masyrakat ada di lingkungan sekitar, perkunjungan kebeberapa panti asuhan dan panti jompo yang ada di Salatiga dan pemberian bantuan untuk bebarapa mahasiswa yang mengalami sakit atau kekurangan dalam pembayaran uang kuliah.

Dalam perpespektif Weber mengenai tindakan sosial, maka dapat kita pahami bahwa tindakan beragama merupakan bagian dari tindakan rasional yang berorientasi nilai. Tindakan religius merupakan bentuk dasar dari tindakan ini. Pegalaman religius bersama Tuhan menjadi nilai akhir dan individu akan menggunakan alat-alat seperti perenungan, upacara keagamaan untuk bisa mendapatkan pengalaman religius. Berbagai kegiatan-kegiatan dalam persekutuan Happy Center merupakan tindakan yang rasional yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan di dalamnya. Tindakan-tindakan ini sebagai tindakan untuk mengembalikan identitas kekristenan, maka dalam konteks sekarang tindakan-tindakan ini sebagai tindakan untuk mempertahankan identitas kekristenan. Interaksi antara dua aktor menghasilkan upaya-upaya untuk mempertahankan identitas.

Pengalaman-pengalaman religius yang diperoleh para anggota persekutuan ini adalah nilai yang ingin dicapai melalui berbagai kegiatan-kegiatan keagamaan yang diantaranya ibadah, pendalaman Alkitab ataupun dalam berbagai kegiatan pelayanan. Tujuan dan harapan yang ingin dicapai dari adanya persekutuan ini bisa bersifat individual maupun secara kelompok artinya bahwa secara individu para anggota dari gerakan ini mengharapkan sebuah perubahan dalam dirinya khususnya dalam kehidupan keagamaan mereka, dan secara kelompok adanya sebuah tujuan dan pengharapan akan terjadinya suatu perubahan melalui suatu kebangkitan dan kebangunan rohani di Indonesia.

Happy Center adalah sebuah gerakan keagamaan yang tidak terjadi dan terbentuk dengan sendirinya tetapi adalah sebuah gerakan keagamaan yang terbentuk karena adanya suatu perilaku kolektif yang di pengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan. Dari data yang diperoleh penulis dapat dilihat bahwa adanya aktor dalam hal ini Misionaris asal Korea yang memobilisasi sumber daya, fasilitas serta peran sosial. Dalam pandangan Robert Wuthnow gerakan keagamaan sebagai bentuk agama ekperimen. Artinya dalam sebuah masyarakat yang menekankan kebebasan dan menghargai sebuah pengalaman individu sebagian besar orang tertarik oleh gerakan-gerakan keagamaan bahkan dalam bentuk keagamaan yang baru. Sifat ekperimental ini sebagai akibat dari hilangnya ikatan-ikatan kekeluargaan.

Bagi penulis kehadiran Happy Center sebagai gerakan juga sangatlah dipengaruhi oleh seorang individu yang adalah pemimpin dan sekaligus adalah pendiri dari gerakan ini yaitu Pendeta Yong Ku Joseph Her. Bagi para mahasiswa Pendeta Ho adalah sosok yang mempunyai kharisma dalam kepemimpinannya, hal ini terlihat dari keteladanan yang ditunjukan. Penulis juga melihat bahwa hampir semua kegiatan yang ada dari gerakan didominasi oleh beliau. Dengan sumber daya yang dimiliki baik itu dalam bentuk materi, maupun pengetahuan dan pandangannya dalam bidang keagamaan telah menjadi suatu daya tarik dalam mempengaruhi motivasi para anggotanya untuk terlibat aktif dalam gerakan ini.

Menurut Weber seorang pemimpin kharismatik muncul pada saat terjadi suatu krisis sosial, di mana sang pemimpin muncul dengan sebuah visi radikal yang menawarkan sebuah solusi untuk mengatasi krisis tersebut. Sang Pemimpin menarik pengikutnya yang percaya pada visi yang diusungnya secara luar biasa sehingga para pengikutnya percaya bahwa orang yang memimpin mereka adalah orang yang luar biasa “yang memiliki sesuatu” yang berbeda dari orang kebanyakan. Kepercayaan itu sungguh mendarahdaging sehingga apapun yang dikatakan pemimpin tersebut dipandang sebagai suatu amanah yang harus dijalankan. Jadi pemimpin karismatik adalah seorang pemimpin yang memiliki daya tarik personalitas yang luar biasa yang mampu mengendalikan pikiran, kemauan, jiwa, dan raga dari para pengikutnya. Kepemimpinan karismatik tidak mengandalkan otoritas dan eksternal power tetapi menggunakan daya tarik personalitas. Karena tidak menggunakan power dan otoritas maka pemimpin karismatik umumnya adalah pimpinan lembaga informal.[31] Bertolak dari pemahaman di atas maka penulis melihat bahwa perkembangan Happy Center juga tidak terlepas dari sosok pemimpin dari persekutuan ini, di mana adanya ketergantungan para anggota terhadap sosok pemimpin dari gerakan ini. bagi penulis eksistensi dan perkembangan dari Happy Center sebagai gerakan keagamaan sangat di tentukan oleh sosok dari pemimpin yang sekaligus adalah pendiri dari gerakan ini.

Dalam kerangka pikiran Smelser, tindakan sosial terbagi dalam empat komponen yaitu nilai, norma, mobilisasi sosial dan fasilitas sosial. Nilai-nilai ini menjadi panduan bagi orang-orang untuk melakukan sebuah tindakan sosial dan menjadi tujuan akhir dari kondisi yang mereka harapkan. Penulis melihat bahwa sebagai suatu gerakan keagamaan persekutuan Happy Center tidak terlepas dari keempat komponen dalam pemikiran Smelser. Artinya kehadirannya karena adanya suatu nilai dari sebuah misi Kristen yang dibawah oleh Pendeta Ho sebagai pendirinya. Nilai-nilai kekristenan, dihidupkan dalam berbagai kegiatan yang dibuat misalkan rajin beribadah, rajin berdoa dan saling mendoakan, rajin dalam pelayanan baik dalam ibadah maupun pelayanan bagi sesama. Ketaatan pada Firman Allah melalui pembacaan dan pemahaman Alkitab secara bersama dan juga komitmen dalam mengikuti setiap ibadah yang dilaksanakan adalah perwujudan terhadap nilai-nilai kekristenan dalam perkembangannya sebagai gerakan keagamaan. Bagi penulis nilai kekeluargaan adalah norma yang mengatur para anggota dari gerakan ini untuk dapat hidup secara komunal. Nilai-nilai utama yang terdapat dalam gerakan inilah adalah nilai-nilai yang bersifat kekeluargaan yang diantaranya saling menerima, saling memberi rasa hormat, saling menghargai, saling terbuka antara sesama anggota. Nilai-nilai kekeluargaan yang ada dalam persekutuan ini juga telah menjadi dasar untuk dapat hidup secara bersama dalam suatu kelompok atau komunitas-komunitas kristiani. Nilai solidaritas ini dibangun dalam pemahaman mereka untuk saling mendoakan. Berbagai kegiatan mereka seperti saling mendoakan satu dengan yang lain atau dengan istilah mereka yaitu sebagai ibadah pergumulan.[32] Praktik ini menunjukan suatu solidaritas kuat yang dibangun para mahasiswa yang adalah anggota gerakan ini. Bagi mereka, untuk menyelesaikan sebuah masalah yang dihadapi oleh seseorang maka tiap-tiap anggota harus saling mendoakan dan saling menguatkan. Nilai ini adalah juga sebuah keteladanan yang ditunjukan oleh pendiri yang sekaligus adalah pemimpin gerakan ini. Nilai yang terakhir adalah keselamatan. Bagi kelompok-kelompok ini, untuk mendapatkan keselamatan, maka kedekatan dengan Tuhan harus diupayakan. Hal inilah yang mendorong sehingga secara individu dan kelompok, mereka memiliki jam-jam khusus untuk berdoa, seperti doa-doa berwaktu yang dijalankan secara teratur. Nilai keselamatan dan solidaritas yang begitu kuat dibawa oleh gerakan persekutuan ini menjadi tawaran yang tidak bisa ditolak oleh individu-individu yang merasakan kesusahan.

Nilai-nilai ini ditunjukan dalam setiap aktifitas yang ada dalam setiap kegiatan bersama di Happy Center, baik dalam bentuk keagamaan maupun kegiatan-kegiatan sosial yang dilaksanakan. Dari sini penulis melihat bahwa agama bukan sebuah konsep abstrak tentang realitas ideal yang memanipulasi pengalaman mereka, namun mereka menghadirkan agama sebagai identitas mereka sebagai generasi muda dalam menghadapi pengaruh negatif yang dapat mempengaruhi dan menguasai struktur sosial dalam masyarakat. Pemahaman ini tidak jauh berbeda dengan dengan pandangan Smelser bahwa konsep tentang perilaku kolektif adalah suatu mobilisasi sosial yang berbasis pada suatu kepercayaan dalam mengartikan kembali suatu tindakan sosial. Mobilsasi perilaku kolektif yang berbasis pada tindakan sosial berdasarkan kepercayaan keagamaan seringkali berhubungan dengan perubahan sosial yang menyentuh pada aspek nilai-nilai dasar kehidupan sosial.[33]

Dalam teori Freud tentang motivasi beragama, rasa frustrasi menjadi salah satu alasan orang-orang akan bersikap religius. Jika manusia gagal dalam memperoleh kebutuhan yang diinginkannya seperti rasa cinta, kebutuhan duniawi, rasa hormat, penghargaan dll. Tetapi karena gagal mendapatkan hal tersebut maka manusia akan mengarahkan keinginannya kepada Tuhan. Hal ini juga terlihat dari beberapa hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap mahasiswa UKSW yang aktif dalam persekutuan ini. Para mahasiswa ini termotivasi untuk terlibat di dalamnya karena ada suatu penerimaan yang baik. Kebutuhan-kebutuhan seperti pengakuan diri, kebutuhan akan rasa rasa hormat, penghargaan dan lain lain mereka dapatkan ketika terlibat dalam persekutuan ini.

Fenomena kemunculan gerakan-gerakan keagamaan dalam bentuk persekutuan yang ingin memisahkan diri dari agama arus utama menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi keberlangsungan agama itu sendiri. Dalam studi ini Happy Center adalah salah satu dari gerakan keagamaan yang ada di Salatiga. Hal ini terwujud dalam perjumpaan antara para anggota manusia yang ada di dalamnya. Bagi agama arus utama dalam hal ini gereja, kehadirannya sebagai gerakan keagamaan di Salatiga justru akan menjadi ancaman bagi keberadaan gereja apabila tidak adanya perhatian yang serius dari gereja itu sendiri.

Tanggapan Kritis

Agama dan gerakan keagamaan adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan dan memiliki korelasi yang sangat kuat. Agama menjadi sesuatu yang akan terlihat kaku dan tidak bermakna apabila tidak dapat diaktualisasikan dalam bentuk yang praksis oleh penganutnya baik secara individu maupun secara kolektif.[34] Namun dalam perspektif yang lain terkadang kemunculan gerakan keagamaan juga dapat mendorong pada konflik yang terjadi dalam masyarakat, maupun dalam kehidupan bergereja. Karena itu pada bagian ini penulis akan merumuskan beberapa analisis kritis terhadap Happy Center sebagai gerakan keagamaan;

1)    Happy Center dengan cirinya sebagai gerakan kegamaan berorientasi nilai, sebenarnya berusaha untuk lebih terbuka kepada gereja dan kepada lingkungan sosial melalui setiap bentuk pelayanan ataupun pelayanan sosial, tetapi sebenarnya rasionalitas mereka masih tetap terperangkap dalam frame eksklusifisme. Sikap ekslusif Happy Center sebagai gerakan keagamaan ini baik terhadap kehidupan bergereja maupun dalam hubungannya dengan Agama lain, kemungkinan bagi penulis hal ini bisa menimbulkan konflik dalam gereja dan masyarakat.

2)    Penulis menemukan bahwa gerakan keagamaan Happy Center lebih berorientasi pada peningkatan serta pertumbuhan nilai keagamaan yang eksklusif. Nilai-nilai seperti solidaritas, kekeluargaan hanya dijadikan norma yang mengatur para anggota dari gerakan ini untuk dapat hidup secara komunal. Temuan lain penelitian ini adalah tidak ada diskursus yang memadai dalam penerapan nilai-nilai teologi dalam komunitas tersebut.

3)    Proses internalisasi ajaran keagamaan menggunakan pendekatan indoktrinasi, sehingga prinsip-prinsip hermeneutik yang menjadi dasar dari proses interpretasi Alkitab diabaikan, akhirnya hasil interpretasi bersifat literal dan fatal. Di sini penulis melihat bahwa nilai-nilai yang diambil dari ayat-ayat Alkitab dan juga pengalaman keagamaan di masa lalu seperti peristiwa kebangkitan rohani tahun 1965-1969 yang telah mempengaruhi pembentukan tema “Pray for Revival in Indonesia” perlu adanya penafsiran dan diskusi yang lebih kritis dari para mahasiswa yang terlibat dalam gerakan ini agar tidak menjadi suatu harapan yang semu.

Gerakan keagamaan Happy Center telah menjadi wadah atau ruang bagi para mahasiswa untuk hidup secara oikumenis atau secara komunal dengan berbagai perbedaan maupun dedominasi gereja dari para anggotanya, dari pengakuan para mahasiswa dan juga dari hasil wawancara penulis dengan pendiri yang sekaligus adalah pemimpin gerakan ini, Happy Center bukanlah pembentukan agama baru dan juga bukan bagian yang terpisahkan dari Gereja-gereja yang ada di Salatiga tetapi sikap fanatik dan eksklusifisme gerakan ini menjadi terisolir dari perkembangan wacana maupun praksis keagamaan. Tidak pernah ada proses dialektika dengan gereja-gereja yang ada di Salatiga dalam bentuk dialog.

PENUTUP

Kemunculan Happy Center sebagai gerakan keagamaan secara umum telah menjadi sebuah fenomena keagamaan di Salatiga, khususnya dalam di kalangan mahasiswa Kristen di Universitas Kristen Satya Wacana. Gerakan ini didominasi oleh para mahasiswa Kristen dan 80% dari para mahasiswa ini adalah mereka yang berasal dari luar Jawa. Sebagai sebuah gerakan dalam bentuk persekutuan, gerakan ini telah menjadi sebuah ruang ataupun wadah untuk berkumpul dalam suatu persekutuan bersama.

Tema umum ‘Pray for Revival in Indonesia’ bagi penulis adalah sebuah visi yang dikemas dalam berbagai kegiatan yang ada dalam Happy Center. Untuk dapat mewujudkan visi ini maka diperlukan individu-individu untuk terlibat di dalamnya. Karena dengan sumber daya yang dimiliki oleh Pendeta Yong Ku Joseph Her atau yang biasa dipanggil Pendeta Ho mulai membentuk sebuah persekutuan yang melibatkan para mahasiswa di dalamnya. Bagi penulis tema di atas bukan saja telah menjadi sebuah visi tetapi juga telah menjadi sebuah nilai akhir yang ingin dicapai dari gerakan ini.

Kekeluargaan, solidaritas dan nilai-nilai keagamaan yang didasari oleh teks-teks Alkitab adalah nilai-nilai yang mempengaruhi para anggota yang adalah para mahasiswa UKSW untuk terlibat aktif di dalamnya. Keterlibatan mahasiswa UKSW dalam gerakan ini sangat dipengaruh oleh nilai-nilai tersebut. Para mahasiswa ini termotivasi untuk terlibat di dalamnya karena ada suatu penerimaan yang baik. Kebutuhan-kebutuhan seperti pengakuan diri, kebutuhan akan rasa rasa hormat, penghargaan dan kepedulian yang mereka dapatkan serta fasilitas-fasilitas yang disediakan untuk menunjang gerakan ini telah menjadi alasan dan sekaligus adalah motivasi keterlbatan mereka pada Happy Center.

Saran

Berdasarkan kesimpulan dan analisis kritis di atas, ada beberapa saran yang diberikan penulis diantaranya:

a)    Gereja perlu memberi perhatian akan keberadaan gerakan-gerakan keagamaan yang ada di sekitarnya melalui pembinaan terhadap warga jemaatnya yang telah menjadi anggota agar tidak terjadi konflik baik itu antara gereja dan gerakan-gerakan tersebut maupun antara gereja dan jemaatnya.

b)    Sebagi pemuda Kristen yang juga dalah seorang akademisi maka perlu adanya sikap kritis dari mahasiswa yang terlibat didalamnya terhadap kehadiran sebuah gerakan keagamaan untuk tidak menjadi bagian yang terpisahkan dari suatu komunitas gereja.

DAFTAR PUSTAKA

Dawson Lorne L (ed), Cults and New Religious Movement (Malden MA; Balckwell Publishing ltd 2003)

Tony Tampake, Redefenisi Tindakan Sosial dan Rekontruksi Identitas Pasca Konflik Poso; Studi Sosiologis terhadap Gerakan Jemaat Eli Salom Kele’I di Poso (Salatiga; UKSW press, 2014)

 Della Porta Donatella & Mario Diani, Social movements; An Introduction (Malden MA;Balckwell Publishing 2006)

Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010)

EbenHaizer I. Nuban Timo, Aku Memahami yang Aku Imani, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2013)

Sztompka Plotr, Sosiologi Perubahan Sosial, diterjemahkan oleh Alimandan (Jakarta; Prenada. 2007)

Smelser Neil J. Theory of Collective Behavior. (New York: The Free Press,1962) by Tony Tampake

 Scharf, Betti R., Kajian Sosiologi Agama, terj. Machnun Husein, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995)

David Samiyono, Pengantar ke Dalam Matakuliah Metode Penelitian Sosial, (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Satya Wacana, 2004)

Herbert Blumer, Collective Behavior, in Alfred McClung Lee (ed), New Outlineof The Principles of Sosiology (New York: Barners & Nobles 1951)

Nicholas Albercrombie, (etal). Sosiology of Dictionary (England: Penguin Perss 1984)

Flavius Flories Andries, “GERAKAN FUNDAMENTALISME DALAM KONTEKS PLURALITAS KAMPUS (Studi Kasus Kelompok Mahasiswa Kristen Pascasarjana Universitas Gadjah Mada)”, 2013

Bryan Wilson: Magic and the Millenium: A Socilogical Study of Religious Movements of Protest among Tribal and Third-World Peoples. By Tony Tampake. (Salatiga; UKSW 2014)

Bryan Wilson & Jamie Creswell (ed), New Reilious Movement; Challenge and Response (London& New York; Routledge, 1999)

George Ritzer & Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi; Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, edisi terbaru. (Bantul: Kreasi Wacana, 2011)

Leonard Hale, Jujur terhadap Pietisme, (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 1993)

Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992)

George W. Peters, Indonesia Revival Focus On Timor, (Michigan: The Zondervan Corporation Grand Rapids, 1973)

Pieter Clarke, New Religion in Global Perpective. (London & New York; Routledge,2006)

Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995)

Saliba, John Understanding New Religious Movement; second edition (Walnut Creek: Altamira Press. 2003)

Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink, A History of Christianity in Indonesia, (Netherlands: Leiden University, 2008)

Suyanto Bagong, dkk, Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan, (Jakarta: Kencana, 2011)

Mohammad Natzir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998)

Moleong Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung 2002)

J. A. Telnoni, GMIT Menghadapi Kelompok Doa, (Kupang, Jurnal Intim, No 4 2003)



[1]     Hasil wawancara dengan mantan anggota da pengurus Happy Center. Salatiga 16 November 2017

[2]     Hasil wawancara dengan salah satu pengurus berinisial D, November 2017

[3]     Observasi dllakukan Penulis pada Tanggal 17 November 2017

[4]     David Samiyono, Pengantar ke Dalam Matakuliah Metode Penelitian Sosial, (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Satya Wacana, 2004), 7

[5]     Herbert Blumer, Collective Behavior, in Alfred McClung Lee (ed), New Outlineof The Principles of Sosiology (New York: Barners & Nobles 1951), 8

[6]     John Saliba, Understanding New Religious…., 151-152

[7]     Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995) 147

[8]     Bryan Wilson: Magic and the Millenium: A Socilogical Study of Religious Movements of Protest among Tribal and Third-World Peoples. By Tony Tampake. (Salatiga; UKSW 2014), 2

[9]     Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: Pt. Gramedia, 1988) 220

[10]    George Ritzer & Douglas J.Goodman. Teori Sosiologi; Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, edisi terbaru.(Bantul:Kreasi Wacana, 2011), 137

[11]    Tony Tampake, Redefinisi Tindakan Sosial dan Rekonstuksi Identitas Pasca Konflik Poso, (Salatiga: Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana, 2014) 41.

[12]    Neil Smelser, Theory of Collective Behavior (New York; The Free Press, 1962), 25

[13]    Tampake, Redefinisi Tindakan……. 41

[14]    Tampake, Redefinisi Tindakan……. 42-43

[15]    Tony Tampake, Redefenisi…., 62

[16]    Smelser, Theory of Collective …,313

[17]    Smelser, Theory of Collective …., 314

[18]    Hasil wawancara dengan pemimpin dan sekaligus adalah pendiri Happy Center Pdt. Yong Ku Joseph Her, Desember 2017

[19]    Hasil Wawancara dengan seorang salah seorang senior di Happy Center berinisial TB, Desember 2017

[20]    Hasil Wawancara dengan salah seorang pengurus Happy Center berinisial DS, November 2017

[21]    Hasil Wawancara dengan seorang anggota dari Happy Center beriinisial C, Desember 2017

[22]    Wawancara dengan seorang anggota Happy Center berinisial B, 02 Desember 2017

[23]    Hasil Wawancara dengan anggota Happy Center berinisial AD, Desember 2017

[24]    Wawancara dengan beberapa anggota Happy Center, Desember 2017

[25]    Wawancara dengan aggota Happy Center berinisial JL, Desember 2017

[26]    Hasil wawancara dengan 3 orang mahasiswa anggota Happy Center yang tidak mau disebutkan Namanya, Desember 2017

[27]    Wawancara dengan salah satu mantan anggota dan pengurus Happy Center berinisial DS, Desember 2017

[28]    Wawancara dengan pemimpin dan sekaligus pendiri Happy Center Pdt Ho, Desember 2017

[29]    Hasil wawancara penulis terhadap 3 orang mahasiswa anggota Happy Center berinisial M dan S, Desember 2017

[30]    John Saliba, Understanding New…, hal 146

[31]    Scharf, Betti R., Kajian Sosiologi Agama, terj. Machnun Husein, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995) hal 207

[32]    Wawancara dengan Pendiri sekaligus Pemimpin Happy Center, Desember 2017

[33]    Smelser, Theory Of Collective….,42

[34]    Flavius Flories Andries, “GERAKAN FUNDAMENTALISME DALAM KONTEKS PLURALITAS KAMPUS (Studi Kasus Kelompok Mahasiswa Kristen Pascasarjana Universitas Gadjah Mada)”, 2013. Hal 170