UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPS DENGAN MODEL PEMBELAJARAN ROLE PLAYING
UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPS DENGAN MODEL PEMBELAJARAN ROLE PLAYING
PADA SISWA KELAS VIII D SMP NEGERI 2 PABELAN KABUPATEN SEMARANG SEMESTER II
TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Isma Purwani, S.Pd.
Guru IPS SMP Negeri 2 Pabelan
ABSTRAKS
Pembelajaran IPS di kelas VIII D SMPN 2 Pabelan belum maksimal. Hal tersebut dapat dilihat dari rendahnya hasil belajar siswa. Untuk menyelesaiakan maslah tersebut maka dilaksanakan penelitian tindakan kelas. Peneltian ini dirancang dengan empat tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan aktivitas belajar IPS melalui model pembelajaran role playing bagi siswa kelas VIII D semester II SMPN 2 Pabelan Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2015/2016 dan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar IPS melalui model pembelajaran role playing bagi siswa kelas VIII D semester II SMPN 2 Pabelan Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2015/2016. Hasil penelitian ini menunjukkan pembelajaran model role playing di kelas VIII D SMPN 2 Pabelan Kabupaten Semarang semester II tahun pelajaran 2015/2016 dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Pada tindakan siklus I aktivitas siswa belum secara keseluruhan hanya mencapai 79.5 % , sedangkan pada siklus II terjadi peningkatan prosentase keaktifan atau aktivitas siswa menjadi 88.16%. Pada tindakan siklus I terjadi peningkatan hasil belajar siswa dibandingkan dengan kondisi awalnya yaitu 14 siswa yang tidak tuntas dan yang tuntas ada 18 siswa. Pada siklus I siswa yang tuntas belajar sebanyak 23 siswa dan yang tidak tuntas belajar 9 siswa. Sedangkan pada siklus II siswa yang tuntas belajar sebanyak 29 siswa dan yang tidak tuntas belajarnya sebanyak 3 siswa. Terjadi peningkatan kinerja guru dari pembelajaran yang bersifat konvensional menjadi pembelajaran yang berorientasi pada keaktifan siswa,sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan bagi siswa.
Kata Kunci: aktivitas belajar IPS, hasil belajar IPS, model pembelejaran role playing
PENDAHULUAN
Mata pelajaran IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang diujikan setiap akhir semester maupun Ulangan Kenaikan Kelas, yang ikut menentukan kenaikan setiap siswa. Bahkan mata pelajaran IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang ikut menentukan kelulusan setiap siswa SMP. Oleh karena itu diharapkan siswa mampu meningkatkan kepekaan terhadap masalah – masalah sosial yang ada disekitarnya serta dapat menerapkan ilmu yang mereka dapat di sekolah.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang mampu menciptakan manusia yang berbudaya , cerdas, masyarakat yang berkualitas dan bangsa yang menghargai akan sejarahnya, sehingga mampu mengantarkan bangsa ke dalam kehidupan bermartabat yang bercirikan antara lain maju, makmur dan sejahtera.
Hal ini sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulian, sehat, berilmu, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab ( UU RI No. 20 pasal 3 Tahun 2003 ).
Pelaksanaan pembelajaran di kelas merupakan tugas utama guru. Model pembelajaran yang didominasi oleh guru melalui ceramahnya dalam menyampaikan materi pelajaran, menyebabkan siswa cenderung pasif sehingga siswa lebih banyak menunggu sajian guru dari pada menemukan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang siswa butuhkan Di samping itu pemusatan perhatian pada kemampuan yang harus dikuasainya menjadi rendah juga aktivitas belajar yang kurang menantang siswa untuk melakukan kerja yang maksimal. Dapat dikatakan pembelajaran IPS yang demikian sangat menjemukan karena penyajian yang monoton, mengakibatkan pelajaran kurang menarik dan tujuan pembelajaran IPS yang telah disampaikan tidak dapat tercapai. Pembelajaran tersebut menghambat kreativitas dan aktifitas anak terhadap perkembangan IPTEK.
Hal tersebut dapat dilihat dari hasil ulangan harian IPS yang pertama di kelas VIII D, SMPN 2 Pabelan pada kompetensi dasar proses persiapan kemerdekaan Indonesia, siswa yang tidak tuntas ada 14 siswa dari 32 siswa atau 43.75 %.
Atas dasar semua itu, maka perlu adanya upaya yang dilakukan guru agar hambatan yang selama ini ada dapat segera diatasi. Upaya yang mampu mengkondisikan seluruh siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran, salah satunya guru mengganti model pembelajaran.
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini diadakan dengan menerapkan model pembelajaran role playing agar dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar IPS. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan judul “Upaya Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPS Melalui Model Pembelajaran Role Playing Pada Siswa Kelas VIII D SMP NEGERI 2 Pabelan Kabupaten Semarang Semester II Tahun Pelajaran 2015/2016 “.
Rumusan Masalah
Rumuskan masalah pada penelitian ini adalah: “Bagaimanakah model pembelajaran role playing dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa Kelas VIII D SMP NEGERI 2 Pabelan Kabupaten Semarang Semester II Tahun Pelajaran 2015/2016”? dan “Bagaimanakah model pembelajaran role playing dapat meningkatkan hasil belajar siswa Kelas VIII D SMP NEGERI 2 Pabelan Kabupaten Semarang Semester II Tahun Pelajaran 2015/2016”?
KAJIAN TEORI DAN PUSTAKA
Pengertian Aktivitas Belajar
Kamus Besar Bahasa Indonesia aktivitas adalah ”kegiatan atau keaktifan”. W.J.S Poerwodarminto menjelaskan aktivitas sebagai suatu kegiatan atau kesibukan. Sedangkan Nasution menambahkan bahwa aktivitas merupakankeaktifan jasmani maupun rohani dan kedua- duanya harus dihubungkan. Adapun menurut Gie (dalam Florensiana, 2011:18), aktivitas belajar adalah segenap rangkaian kegiatan atau aktivitas secara sadar yang dilakukan seseorang yang mengakibatkan perubahan dalam dirinya,berupa perubahan pengetahuan atau kemahiran yang sifatnya tergantung pada banyaknya perubahan.
Menurut Sardiman ( dalam Saminanto, 2010: 97), yang dimaksud aktivitas belajar adalah keaktifan yang bersifat fisik maupun mental. Dalam kegiatan pembelajaran, kedua aktivitas tersebut harus saling menunjang agar diperoleh hasil yang maksimal.
Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar dalam penelitian ini adalah kegiatan yang dilakukan siswa secara sadar baik fisik maupun non fisik dalam setiap kegiatan pembelajaran yang dapat mengakibatkan perubahan pengetahuan atau kemahiran pada siswa tersebut.
Jessica (2009:1-2) menjelaskan faktor- faktor yang mempengaruhi aktivitas belajar, yaitu:
a. Faktor internal ( dari dalam individu yang belajar )
Faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar ini lebih ditekankan pada faktor dari dalam, antara lain faktor psikologis (motivasi, perhatian, pengamatan, tanggapan).
b. Faktor eksternal ( dari luar individu yang belajar ).
Pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan belajar yang kondusif. Adapun faktor yang mempengaruhi adalah : mendapatkan pengetahuan, penanaman konsep dan ketrampilan serta pembentukan sikap.
Pengertian Belajar
Pengertian belajar menurut kaum konstruktivis merupakan suatu proses aktif pelajar mengkonstruksi arti dari berbagai pengalaman. Belajar dapat juga dipahami sebagai proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki seseorang sehingga pengertian orang tersebut menjadi berkembang (Suparno,1997: 23). Suparno selanjutnya memberikan beberapa ciri proses yang terjadi dalam belajar antara lain, pertama : belajar berarti membentuk makna yang diciptakan oleh anak dari berbagai pengalaman mereka (lihat, dengar, rasakan, dan alami), kedua : belajar bukanlah kegiatan mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru, dan ketiga : hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman anak dengan dunia fisik dan lingkungannya.
Setiap siswa memiliki cara yang sesuai dengan dirinya dalam melakukan konstruksi dan rekonstruksi pengetahuan yang diperoleh selama belajar. Konsekuensi pandangan konstruktivisme terhadap peran guru adalah guru harus menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa untuk belajar lebih aktif, menyediakan kegiatan pembelajaran yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka, dan membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
Pengertian Hasil Belajar
Menurut Gagne (Suprijono, 2014:2), belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Perubahan disposisi tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara ilmiah.
Menurut Witherington (Hamdani, 2011:21), belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan. Menurut Thursan Hakim (Hamdani, 2011:21) belajar adalah suatu proses perubahan dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku, seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, ketrampilan, daya pikir, dan lain-lain.
Sudjana (2004:22) mendefinisikan hasil belajar adalah kemampuan–kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Howart Kingsley dalam Sudjana (2004: 22), membagi 3 macam hasil belajar yaitu: a) keterampilan dan kebiasaan, b) pengetahuan dan pengarahan, dan c) sikap dan cita – cita. Dimyati dan Mujiono, (2000: 3), menjelaskan bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindakan belajar dan mengajar. Disisi guru, tindakan mengajar siswa bahkan mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Lebih lanjut Dimyati memaparkan bahwa hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan kualitas pengajaran. Kualitas yang dimaksud adalah profesional yang dimiliki, artinya kemampuan dasar guru baik di bidang pengetahuan ( intelektual ), bidang sikap ( afektif ) dan bidang perilaku ( psikomotorik ).
Hasil belajar akan optimal apabila guru terampil dalam mengajar. Konsep lama tentang mengajar yaitu menyampaikan irformasi kepada peserta didik, sudah tidak bisa diterima pada jaman sekarang. Abdul A. Wahab (2008: 6) menjelaskan konsep modern tentang mengajar adalah hal yang menyebabkan siswa belajar dan memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan, serta cara-cara yang baik dalam hidup di masyarakat.
Dari beberapa pendapat di atas, maka hasil belajar siswa dipengaruhi dua faktor yaitu dari dalam siswa yang berupa kemampuan personal dan dari luar siswa yang berupa kemampuan lingkungan. Dengan demikian hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh siswa berkat adanya usaha atau pikiran yang mana hal tersebut dinyatakan dalam bentuk penguasaan pengetahuan,dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri individu perubahan tingkah laku secara kuantitatif.
Ilmu Pengetahuan Sosial
IPS adalah salah satu pelajaran yang diajarkan di Sekolah Menengah Pertama yang diberikan secara terpadu, yang terdiri dari materi Geografi, Sejarah, Ekonomi dan Sosiologi. Pelajaran IPS memiliki beban belajar sebanyak 4 jam pelajaran dalam satu minggu dengan waktu 40 menit dalam setiap jam pelajaran. Materi Peristiwa Sekitar Proklamasi merupakan materi yang diberikan di kelas VIII semester II dengan kompetensi dasar 5.2 Mendeskripsikan peristiwa–peristiwa sekitar proklamasi serta terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada materi ini dibutuhkan pembahasan dan pemaparan secara komprehensif bukan hanya bersifat informatif disampaikan guru, melainkan secara langsung dipahami siswa dengan memerankannya sendiri melalui drama.
Penjelasan materi diharapkan tidak didominasi guru, supaya tidak membosankan. Aktivitas siswa diharapkan lebih banyak, sehingga aktivitas dan hasil belajar semakin meningkat. Penulis mempunyai keyakinan melalui metode bermain peran atau role playing ini akan ada peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa dari pada sebelumnya.
Model Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing)
Model pembelajaran adalah rangkaian satu kesatuan yang utuh antara pendekatan, metode, strategi, teknik, dan taktik pembelajaran. Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, strategi, dan teknik pembelajaran. Model pembelajaran dirancang untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menenangkan dan menyenangkan (Joyce dkk. (2009: 31).
Suasana belajar yang menenangkan dan menyenangkan merupakan salah satu prasyarat dalam strategi ini karena strategi ini hanya dapat berhasil dalam suasana yang demikian. Oleh karena itu menciptakan suasana pembelajaran yang membuat siswa merasa aman dan senang adalah hal yang penting dilakukan oleh guru (Bancroft, 2005: 41). Hal ini senada dengan perspektif humanistik mengenai motivasi siswa yang menekankan pada kapasitas siswa untuk mencapai pertumbuhan pribadi, kebebasan untuk menentukan jalan hidup mereka dan menunjukkan kualitas positif mereka. Hal ini terkait dengan teori kebutuhan Maslow (dalam Santrock, 2001: 23) yang menyatakan bahwa kebutuhan tertentu harus terpenuhi sebelum siswa dapat mengaktualisasikan dirinya dengan utuh. Oleh karena itu kebutuhan siswa akan suasana yang aman dan menyenangkan bersifat esensial karena bila tidak terpenuhi, maka siswa tidak akan dapat mencapai aktualisasi diri yang berada pada puncak hierarki kebutuhan. Jadi guru harus bisa memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan materi dan waktu pembelajarnnya.
Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI, 1995). Sedangkan Iskandarwassid (2013: 56) menjelaskan bahwa metode lebih bersifat prosedural dan sistemik karena tujuannya untuk mempermudah pengerjaan suatu pekerjaan. Metode pembelajaran diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) sosiodrama; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9) simposium, dan sebagainya.
Wina Sanjaya (2008:154) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J. R David, Wina Sanjaya (2008: 155) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran.
Strategi pembelajaran yang berpusat pada pendidik adalah kegiatan pembelajaran yang menekankan terhadap pentingnya aktivitas pendidik dalam mengajar atau membelajarkan peserta didik. Perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian proses serta hasil pembelajaran dilakukan dan dikendalikan oleh pendidik sedangkan peserta didik berperan sebagai pengikut kegiatan yang ditampilkan oleh pendidik. Untuk menampilkan pembelajaran yang dikehendaki membutuhkan teknik pembelajaran.
Teknik pembelajaran diartikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misal, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswanya banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Demikian pula dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik atau taktik meskipun dalam koridor metode yang sama.
Taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Dalam pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-masing guru, sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru yang bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekaligus juga seni (kiat).
Guru dapat memilih teknik/taktik apa saja yang akan digunakan dalam pembelajaran, namun harus disadari bahwa para siswanya memiliki beragam gaya belajar. Bellflower (2008) menjelaskan bahwa siswa memiliki gaya belajar bertipe pendengaran, penglihatan, dan kinestika. Guru dapat membantu meningkatkan potensi siswa dengan memadukan ketiga gaya belajar tersebut dalam teknik pembelajarannyan. Salah satu contohnya guru dapat memilih belajar sambil bermain. Bermain menurut Ostroff (2013:25) merupakan tatanan yang alamiah dan spontan untuk pembelajaran. Siswa cenderung menggunakan permainan sebagai cara untuk menyelidiki dan berdaya cipta, kreatif, dan penasaran. Bermain merupakan kegiatan utama selama waktu perkembangan, sehingga anak berada dalam tahap paling mudah menerima pengetahuan dan menjadikannya alat yang ideal untuk belajar. Plato (dalam Ostroff, 2013:27) menyarankan agar anak-anak diberi mainan dan peralatan untuk bermain sebagai cara untuk mendorong perkembangannya. Vygotsky (1978) menambahkan pentingnya bermain bagi anak, bahwa selama bermain anak-anak terbebaskan dari konsekuensi dunia-nyata, mereka bebas bereksperimen dan mengambil resiko yang mungkin tidak akan mereka lakukan dalam situasi yang berbeda. Resiko tersebut penting bagi pembelajaran. Bermain dapat mengembangkan sosioemosional dan meningkatkan motivasi kelas. Untuk itulah dalam penelitian ini dipilih konsep belajar sambil bermain.
Jean Piaget (dalam Berk, 1994) membagi tahapan bermain sejalan dengan perkembangan kognitif yang telah disusunnya, yaitu :
a. Pertama: sensorimotor yang ditandai dengan bermain yang menggunakan indra dan motoriknya.
b. Kedua: simbolik atau make believe play atau bermain pura-pura yang ditandai anak lebih banyak bertanya dan menjawab pertanyaan, mencoba berbagai hal yang berkaitan dengan konsep angka, ruang dan kuantitas.
c. Ketiga: permainan sosial dengan aturan.
d. Keempat: permainan dengan aturan dan olahraga.
Bermain Peran (Role Playing) pada Siswa SMP
Dalam pembelajaran guru dan peserta didik sering dihadapkan pada berbagai masalah, baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun yang menyangkut hubungan sosial. Penyelesain masalah pembelajaran dapat dilakukan melalui berbagai cara. Misalnya: melalui diskusi kelas, tanya jawab antara guru dan peserta didik, penemuan, dan inkuiri. Guru yang kreatif senantiasa mencari pendekatan baru dalam menyelesaikan masalah, tidak terpaku pada cara tertentu yang monoton, melainkan memilih variasi lain yang sesuai dengan materi dan situasi pembelajarannya.
Bermain peran merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh. Hasil penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa bermain peran merupakan salah satu model yang dapat digunakan secara efektif dalam pembelajaran. Dalam hal ini, bermain peran diarahkan pada penyelesaian masalah yang menyangkut hubungan antar manusia, terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik yang dampak lanjutannya untuk mengasah sisi sosial emosional siswa.
Peran dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perasaan, ucapan dan tindakan, sebagai suatu pola hubungan unik yang ditunjukkan oleh individu terhadap individu lain. Peran yang dimainkan individu dalam hidupnya dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Oleh sebab itu, untuk dapat berperan dengan baik, diperlukan pemahaman terhadap peran pribadi dan orang lain. Pemahaman tersebut tidak terbatas pada tindakan, tetapi pada faktor penentunya, yakni perasaan, persepsi dan sikap.
Bermain peran berusaha membantu individu untuk memahami perannya sendiri dan peran yang dimainkan orang lain sambil mengerti perasaan, sikap, dan nilai yang mendasarinya. Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan, serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi. Untuk kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak sebagai pemeran dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang pemeran harus mampu menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran, peserta didik berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang dipilih.
Selama pembelajaran berlangsung, setiap pemeranan dapat melatih sikap empati, simpati, rasa benci, marah, senang, dan peran lainnya. Pemeranan tenggelam dalam peran yang dimainkannya sedangkan pengamat melibatkan dirinya secara emosional dan berusaha mengidentifikasikan perasaan dengan perasaan yang tengah bergejolak dan menguasai pemeranan.
Hakekat pembelajaran bermain peran terletak pada keterlibatan emosional pemeran dan pengamat dalam situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Melalui bermain peran dalam pembelajaran, diharapkan para peserta didik dapat (1) mengeksplorasi perasaannya; (2) memperoleh wawasan tentang sikap, nilai, dan persepsinya; (3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi; dan (4) mengeksplorasi inti permasalahan yang diperankan melalui berbagai cara.
Teknik-teknik pembelajaran dalam setiap metode itu tidak dapat dipisahkan secara mutlak, karena suatu teknik dapat pula digunakan dalam metode yang berbeda, seperti metode demonstrasi yang digunakan dalam metode pembelajaran kelompok dapat digunakan pula dalam metode pembelajaran misal/pembangunan masyarakat atau dalam metode pembelajaran perorangan.
Dalam model bermain peran menurut Mulyasa (2004:141) terdapat empat asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai sosial, yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:
- Pertama, secara implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’.
- Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan).
- Ketiga, model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal.
- Keempat, model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan, dan sistem keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan.
Bermain peran merupakan salah satu model pembelajaran partisipatif. Dalam Pembelajaran Partisipatif menurut Sudjana, terdapat tiga (3) pihak sebagai pemegang peran yakni pendidik, peserta didik, dan kurikulum. Pendidik dengan penamaan lain baginya seperti pamong belajar, pembimbing, dan pelatih atau widyaiswara, adalah sebagai pemegang peran utama dalam setiap strategi kegiatan pembelajaran.
Role playing atau bermain peran merupakan permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang (Jill Hadfield, 1986). Dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas.Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana belajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain (Basri Syamsu, 2000).
Model Pembelajaran role playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan.
Pada metode bermain peran, titik tekanannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu.
Pernyataan ini didukung oleh Santoso (2011) yang mengatakan bahwa model role playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa yang di dalamnya terdapat aturan, tujuan, dan unsur senang dalam melakukan proses belajar mengajar. Hal ini diperkuat pendapat Hadari Nawawi dalam Kartini (2007) yang menyatakan bahwa bermain peran (role playing) adalah mendramatisasikan cara bertingkah laku orang-orang tertentu dalam posisi yang membedakan peranan masing-masing dalam suatu organisasi atau kelompok di masyarakat.
Langkah-Langkah Model Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing)
Langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut :
1) Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan.
2) Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dalam waktu beberapa hari sebelum pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar.
3) Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang.
4) Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai.
5) Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan.
6) Masing-masing siswa berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan.
7) Setelah selesai ditampilkan, masing-masing siswa diberikan lembar kerja untuk membahas/memberi penilaian atas penampilan masing-masing kelompok.
8) Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya.
9) Guru memberikan kesimpulan secara umum.
10) Evaluasi.
11) Penutup.
a. Keunggulan Model Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing).
Ada beberapa keunggulan dengan menggunakan metode role playing, di antaranya adalah:
1) Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping merupakan pengalaman yang menyenangkan yang sulit untuk dilupakan.
2) Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias.
3) Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan.
4) Siswa dapat terjun langsung untuk memerankan sesuatu yang akan di bahas
b. Kelemahan penggunaan Model Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing):
1) Model bermain peranan memerlukan waktu yang relatif panjang/banyak.
2) Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun murid. Dan ini tidak semua guru memilikinya.
3) Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini (Djumingin, 2011: 175-176).
4) Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk memerlukan suatu adegan tertentu.
5) Apabila pelaksanaan sosiodrama dan bermain peran mengalami kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan pengajaran tidak tercapai (Santoso, 2011).
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Action Research. Penelitian tindakan kelas ini jenis penelitian yang prosedurnya mudah, tidak ribet, tidak mengganggu waktu proses belajar mengajar. Striger (Mulyasa, 2010:33) mengartikan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu bentuk inquiry melalui refleksi diri yang dilakukan oleh peneliti yang terlibat dalam situasi yang ditelitinya yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran, serta untuk meningkatkan kinerja sistem pendidikan.
Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Sarwiji Suwandi, dkk (2007: 10) bahwa manfaat PTK yaitu :
Manfaat Penelitian Tindakan Kelas bagi guru diantaranya (1) guru dapat melakukan inovasi pembelajaran ; (2) guru dapat meningkatkan kemampuan refleksinya dan mampu memecahkan permasalahan pembelajaran yang muncul ; (3) melalui Penelitian Tindakan Kelas guru akan terlatih untuk mengembangkan secara kreatif kurikulum di kelas atau sekolah ; (4)kemampuan reflektif guru serta keterlibatan guru yang dalam terhadap upaya inovasi dan penerapan kurikulum pada akhirnya akan bermuara pada tercainya peningkatan kemampuan profesionalisme guru.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMP N 2 Pabelan Kabupaten Semarang.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah kelas VIII D dengan jumlah siswa 32, terdiri dari 14 siswa perempuan dan 18 siswa laki–laki.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas yang sebagaimana dikemukakan oleh Kemmis & Taggart ( dalam Yatim Riyanto, 2001 ) merupakan penelitian yang bersiklus yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Pada penelitian tindakan kelas kali ini, dirancang dalam dua siklus yang setiap siklusnya terdiri dari empat tahapan yaitu : perencanaan ( planning ), pelaksanaan ( acting ), observasi ( observing )dan refleksi ( reflecting ).
Teknik Pengumpulan Data
Data aktivitas siswa diperoleh dari hasil pengamatan yang dilakukan guru melalui lembar pengamatan dan angket aktivitas belajar siswa yang diisi setelah siswa selesai melakukan sosiodrama.
Data hasil belajar siswa diperoleh melalui teknik tes pada setiap akhir pembelajaran yang dilakukan secara perorangan dan kelompok baik pada siklus I dan siklus II serta teknik dokumentasi.
Teknik Analisis Data
Data aktivitas dan hasil belajar siswa yang diperoleh selama proses pembelajaran dianalisis dengan analisis deskriptif kuantitatif dengan presentase ketuntasan belajar baik secara klasikal maupun secara individual. Dari analisis deskriptif kuantitatif selanjutnya dikomparasikan setiap siklusnya. Dari teknik analisis tersebut diketahui hasil aktivitas dan belajar siswa.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Kondisi Awal/Prasiklus
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Pabelan Semarang adalah tempat bertugas peneliti. Karakteristik dan permasalahan yang dihadapi sekolah bergantung pada lingkungan sekolah dimana sumber daya manusia dan sarana serta prasarana pendukung pendidikan di sini dipengaruhi pola kehidupan petani. Di samping itu pembelajaran konvensional juga berpengaruh terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa.
Hal tersebut dapat dilihat dari hasil ulangan harian IPS yang pertama di kelas VIII D SMPN 2 Pabelan Kabupaten Semarang pada awal semester II tahun pelajaran 2015/2016.
Tabel 4.1. Hasil Ulangan IPS Kelas VIII D SMPN 2 Pabelan Kabupaten Semarang (Prasiklus)
NO |
JUMLAH SISWA |
KETUNTASAN |
PROSENTASE |
KETERANGAN |
|
1 |
14 |
Tidak tuntas |
43.75% |
Remidi |
|
2 |
13 |
Tuntas |
40.63% |
Pengayaan |
|
3 |
5 |
Tuntas |
15.62% |
Pengayaan |
|
100% |
Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan pembelajaran di kelas yang dilakuakn oleh guru hasilnya belum seperti nyang diharapkan. Model pembelajaran yang didominasi oleh guru melalui ceramahnya dalam menyampaikan materi pelajaran, menyebabkan siswa cenderung pasif sehingga siswa lebih banyak menunggu sajian guru dari pada menemukan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang siswa butuhkan. Di samping itu pemusatan perhatian pada kemampuan yang harus dikuasainya menjadi rendah juga aktivitas belajar yang kurang menantang siswa untuk melakukan kerja yang maksimal.
Siswa yang berjumlah 32, yang tuntas belajar 66,25% dan yang belum tuntas belajar 14 atau 43, 75%. Berdasarkan hasil analisa sederhana tersebut, di kelas VIII D perlu dilakukan tindakan untuk memperbaiki kinerja guru dan siswa.
Deskripsi Hasil siklus I
Pelaksanaan Tindakan
Tindakan pada siklus I dilaksanakan pada tanggal 22 Februari 2016 dan 26 Februari 2016 dengan alokasi waktu masing – masing 2 x 40 menit.
Data ini diperoleh dari pengisian lembar pengamatan siswa dan angket siswa terhadap model pembelajaran role playing. Berdasarkan hasil analisa siswa terhadap pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran role playing secara keseluruhan menyenangkan.
Berdasarkan hasil analisa lembar pengamatan aktivitas siswa secara kelompok, diperoleh skor sebagai berikut:
Skor penilaian:
> 85 : aktivitas belajar siswa tinggi (siswa aktif)
75 – 85 : aktivitas belajar siswa cukup (siswa cukup aktif)
< 75 : aktivitas belajar siswa kurang (siswa kurang aktif)
Perolehan nilai aktivitas belajar yang didapatkan siswa 79.8 %, adalah cukup aktif, Hal ini dikarenakan masih banyak siswa yang merasa malu dan ragu – ragu dalam bermain peran, sehingga siswa tersebut hanya duduk dan mendengarkan.
Siswa mendapatkan perolehan nilai hasil belajar dari tes yang dilaksanakan pada pertemuan kedua setelah semua kelompok selesai bermain peran. Berdasarkan analisa nilai post test pada siklus I yang dilaksanakan setelah selesai satuan pembelajaran, anak yang mendapatkan nilai:
< 75 : 9 siswa
75 – 80 : 13 siswa
> 85 : 10 siswa
Mengingat nilai Kriteria Ketuntasan Minimal mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial kelas VIII SMP N 2 adalah 75, maka siswa yang tidak tuntas ada 9 siswa.
Perolehan nilai pembelajaran menggunakan model pembelajaran role playing yang didapatkan guru dari hasil angket kegiatan belajar siswa adalah 82%, adalah sudah baik, dengan kriteria:
90% – 100% : sangat baik
80% – 90% : baik
70% – 80% : cukup baik
60% – 70% : kurang baik
Deskripsi Hasil Siklus II
Pelaksanaan Tindakan
Tindakan pada siklus II dilaksanakan pada tanggal 29 Maret 2016 dan 1 April 2016 dengan alokasi waktu masing – masing 2 x 40 menit. Data diperoleh dari pengisian lembar pengamatan siswa dan angket siswa terhadap pembelajaran role playing. Berdasarkan hasil analisa siswa terhadap pembelajaran yang menggunakan pembelajaran role playing, secara keseluruhan menyenangkan. Berdasarkan hasil analisa pengamatan siswa pada siklus II, diperoleh skor sebagai berikut:
> 85 : aktivitas belajar siswa tinggi ( siswa aktif )
75 – 85 : aktivitas belajar siswa cukup ( siswa cukup aktif )
< 75 : aktivitas belajar siswa kurang ( siswa kurang aktif )
Perolehan nilai aktivitas belajar yang didapatkan siswa secara klasikal 88.16% adalah tinggi atau siswa aktif
Siswa mendapatkan perolehan nilai hasil belajar dari tes yang dilaksanakan pada pertemuan kedua setelah semua kelompok selesai bermain peran. Berdasarkan analisa nilai post test pada siklus I yang dilaksanakan setelah selesai satuan pembelajaran, anak yang mendapatkan nilai:
< 75 : 3 siswa
75- 80 : 10 siswa
> 85 : 19 siswa
Mengingat nilai Kriteria Ketuntasan Minimal mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial kelas VIII SMP N 2 adalah 75, maka siswa yang tidak tuntas ada 3 siswa. Kebetulan siswa yang berkemampuan rendah.
Perolehan nilai pembelajaran menggunakan model pembelajaran role playing yang didapatkan guru dari hasil angket pembelajaran siswa adalah 89%, adalah sudah baik dengan kriteria:
90% – 100% : sangat baik
80% – 90% : baik
70% – 80% : cukup baik
60% – 70% : kurang baik
Pembahasan Hasil Penelitian
Pada waktu awalnya guru masuk kelas sesuai dengan jam mengajarnya dan langsung melakukan proses belajar mengajar sesuai rencana program pembelajaran yang dibuat sebelumnya. Namun setelah guru mengganti metode pembelajaran dengan menggunakan metode role playing, maka guru selalu melakukan tindakan pra siklus I dan pra siklus II dengan memberikan bahan yang berupa naskah yang berhubungan dengan materi yang akan disampaikan. Dengan sendirinya guru selalu dekat dengan siswa dan siswa sendiri merasa mendapatkan perhatian dan lebih bersemangat dan antusias dalam mengikuti pembelajaran IPS. Karena mendapatkan naskah sebelumnya sehingga siswa bisa mempelajari di rumah.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan siswa dan guru pada saat proses pembelajaran bermain peran pada siklus I, masih ada beberapa siswa yang belum maksimal memainkan peran karena masih terlihat malu maupun ragu- ragu dalam berkomunikasi. Selain itu siswa masih terpancang teks yang diberikan, sehingga takut terjadi kesalahan. Walaupun guru telah menjelaskan sebelumnya kalau kalimatnya bisa diganti sendiri atau tidak persis sama. Sedangkan pada siklus II, anak diberi kebebasan untuk membuat naskah sesuai tugas yang diberikan sehingga mereka lebih aktif, kreatif dan lebih mudah menghafal. Terlihat pada siklus II ini siswa berlomba – lomba ingin maju paling awal. Siswa yang sebelumnya malu – malu, terlihat bersemangat untuk memainkan perannya.Bahkan pada siklus II ini aktivitas keseluruhan siswa cenderung tinggi dan memiliki ide – ide yang bagus yang berkaitan dengan Pranata sosial.
Berdasarkan perolehan nilai hasil belajar siswa adalah sebagai berikut :
1. Hasil belajar pada siklus I adalah :
a. Nilai rata – rata kelas adalah 76.8%
b. Siswa yang tuntas belajar secara individual sebanyak 23 siswa
c. Ketuntasan belajar secara klasikal:
KB = 23 x 100 % = 71.87%
32
Jika dihubungkan dengan indikator keberhasilan, maka angka 71.87 % berarti ketuntasan belajar secara klasikal belum tercapai karena baru 71.87 % siswa yang mencapai tingkat penguasaan minimal 75 % batas KKM.
2. Hasil belajar pada siklus II adalah:
a) Nilai rata – rata kelas adalah 87.5%
b) Siswa yang tuntas belajar secara individual sebanyak 29 siswa.
c) Ketuntasan belajar secara klasikal:
KB = 29 x 100 % = 90.62 %
32
Jika dihubungkan dengan indikator keberhasilan, maka angka 90.62 % berarti ketuntasan belajar secara klasikal sudah tercapai karena lebih dari 75% siswa telah mencapai batas KKM yaitu 75. Hasil belajar secara lengkap pada siklus I dan siklus II disajikan pada tabel berikut:
Tabel 4.2 Hasil belajar Siswa Kelas VIII D SMPN Pabelan Kabupaten Semarang Prasiklus, Siklus I, dan II
No. |
Ukuran keberhasilan |
Siklus |
Keterangan |
||
|
|
Prasiklus |
I |
II |
|
1. |
Ketuntasan belajar individual |
18 |
23 |
29 |
Meningkat |
2. |
Ketuntasan belajar klasikal |
56.25% |
71.87% |
90.62% |
Meningkat |
3. |
Rata – rata kelas |
60.9% |
76.87% |
87.5% |
Meningkat |
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran role playing yang dilaksanakan di kelas VIII D SMPN Pabelan Kabupaten Semarang semester II tahun pelajaran 2015/2016 dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Hal ini dapat ditunjukkan sebagai berikut :
1. Pada tindakan siklus I aktivitas siswa belum secara keseluruhan hanya mencapai 79.5 % , sedangkan pada siklus II terjadi peningkatan prosentase keaktifan atau aktivitas siswa menjadi 88.16%.
2. Pada tindakan siklus I terjadi peningkatan hasil belajar siswa dibandingkan dengan kondisi awalnya yaitu 14 siswa yang tidak tuntas dan yang tuntas ada 18 siswa. Pada siklus I siswa yang tuntas belajar sebanyak 23 siswa dan yang tidak tuntas belajar 9 siswa. Sedangkan pada siklus II siswa yang tuntas belajar sebanyak 29 siswa dan yang tidak tuntas belajarnya sebanyak 3 siswa.
3. Terjadi peningkatan kinerja guru dari pembelajaran yang bersifat konvensional menjadi pembelajaran yang berorientasi pada keaktifan siswa,sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan bagi siswa.
A. Saran
1. Sebaiknya guru menggunakan pembelajaran role playing pada materi peristiwa sekitar proklamasi serta materi Pranata sosial dalam kehidupan masyarakat, karena menarik bagi siswa sehingga memungkinkan kelas menjadi lebih dinamis dan penuh antusias serta berkesan kuat lebih lama dalam diri siswa.
2. Guru perlu menerapkan model – model pembelajaran yang bervariatif sehingga tidak menjenuhkan dan lebih meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga kemampuan siswa memahami materi pelajaran lebih meningkat.
3. Pendekatan penelitian Tindakan Kelas perlu senantiasa dicoba oleh guru dimanapun mengajarnya, untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
—————, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Ali, Muhammad. 1996. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindon.
Arikunto, Suharsimi. 1989. Penilaian Program Pendidikan. Proyek Pengembangan LPTK Depdikbud. Dirjen Dikti.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). 2007. Petunjuk Teknis Pengembangan Silabus dan Contoh/Model; Mata Pelajaran IPS. Jakarta : Depdiknas.
Barkley, Elizabert E., K.P.Cross., C.H. Major. 2012. Collaborative Learning Teaching (Teknik-teknik Pembelajaran Kolaboatif). Bandung: Nusa Media.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineksa Cipta.
Ginnis, Paul. 2008. Trik & Taktik Mengajar, Strategi Meningkatkan Pencapaian Pengajaran di Kelas. Jakarta: PT. Indeks.
Joyce, Bruce, Marsha Weil, Emily Calhoun. 2009. Models of Teaching Model-Model Pengajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mc. Niff, J. 1991. Action Research: Principles and Practice. London: Routledge.
Mieir, Dave. 2001. The Accelerated Learning Handbook: Panduan Kreatif dan Efektif Merancang Program Pendidikan dan Pelatihan. Bandung. Kaifa.
Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004: Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya.
————-.. 2005. KTSP. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Nur, Moh. 2001. Pemotivasian Siswa untuk Belajar. Surabaya. University Press. Universitas Negeri Surabaya.
Poerwodarminto. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Bina Ilmu.
Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Suwandi, Sarwiji. 2011. Penelitian Tindakan Kelas. Surakarta: Yuma Pustaka.
Slavin E. Robert. 2015. Cooperative Learning (Teori, Riset, dan Praktik). Banung: Nusa Media.
Soekamto, Toeti. 1997. Teori Belajar dan Model Pembelajaran. Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka
Sudjana S., D. 2010. Metode & Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production
Usman, Moh. Uzer. 2001. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wetherington. H.C. and W.H. Walt. Burton. 1986. Teknik-teknik Belajar dan Mengajar. (terjemahan) Bandung: Jemmars.