UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN APRESIASI PUISI SISWA MELALUI PENGGUNAN METODE COOPERATIVE LEARNING

TEKNIK JIGSAW

Supriyono

Lektor FKIP Universitas Terbuka UPBJJ Purwokerto

ABSTRAK

Kemampuan apresiasi puisi merupakan kesanggupan dan kecakapan seseorang dalam mengenal dan memahami puisi secara sungguh–sungguh, baik struktur fisik maupun struktur batinnya, sehingga timbul pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, serta kepekaan perasaan yang baik terhadap puisi termasuk menikmati keindahan estetik yang ada di dalamnya. Sinyalemen di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan apresiasi puisi siswa relatif masih rendah. Kondisi ini dimungkinkan berhubungan dengan banyak faktor, baik internal maupun eksernal. Metode pembelajaran yang dilakukan guru dimungkinkan merupakan salah satu faktornya, karena selama ini metode konvensional yang digunakan guru dengan ceramah, tanya jawab, dan latihan soal menyebabkan siswa cenderung pasif dan terbatas dalam memilih topik yang disukainya sehingga motivasi belajarnya rendah, yang pada akhirnya kemampuan apresiasi puisinya juga tidak maksimal. Kondisi ini menuntut guru untuk mengunakan metode pengajaran lainnya, di antaranya adalah cooperative learning teknik jigsaw. Melalui pembelajaran cooperative learning teknik jigsaw, kegiatan pembelajaran yang dilakukan diharapkan mampu mengembangkan kompetensi siswa, baik dalam ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik. Hal ini disebabkan strategi pembelajarannya berpusat pada siswa dan mampu menciptakan suasana menyenangkan, sehingga meningkatkan motivasi belajar siswa terhadap materi ajaran, yang pada akhirnya kemampuan apresiasi puisinya meningkat.

Kata kunci: jigsaw, kemampuan apresiasi puisi


PENDAHULUAN

Kegiatan apresiasi puisi merupakan bagian dari kegiatan apresiasi sastra siswa, dengan tujuan agar siswa dapat mema-hami sebuah puisi dan dapat menikmati keindahan yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, kemampuan apresiasi puisi siswa merupakan kesanggupan dan kecakapan siswa dalam mengenal dan me-mahami puisi secara sungguh–sungguh, baik struktur fisik maupun struktur batinnya, sehingga timbul pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, serta kepekaan perasaan yang baik terhadap puisi termasuk menikmati keindahan estetik yang ada di dalamnya. Pemahaman terhadap puisi dimulai dengan kesatuan puisi sebagai totalitas, kemudian diper-dalam dengan menganalisis struktur fisik dan struktur batin puisi. Struktur fisik puisi terdiri dari: (1) diksi, (2) pengimajinasian, (3) kata konkret, (4) majas, (5) versifikasi, dan (6) tipografi puisi. Struktur batin puisi mengemukakan apa yang hendak dikemu-kakan oleh penyair dengan perasaan dan jiwanya (Herman J.Waluyo, 2010:103).

Rachmat Joko Pradopo (2011: 61) menyatakan terdapat sinyalemen kuat ke-mampuan apresiasi puisi siswa relatif masih rendah. Kondisi ini dimungkinkan berhubungan dengan banyak faktor, di antaranya adalah faktor metode pembela-jaran yang digunakan guru. Guru meme-gang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, setidak-tidaknya menjalankan tiga macam tugas utama, yaitu merenca-nakan pembelajaran, melaksanakan pem-belajaran, dan memberikan balikan. Peren-canaan pembelajaran yang dibuat meru-pakan antisipasi dan perkiraan tentang apa yang akan dilakukan guru dalam pembelajaran, sehingga tercipta suatu situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan yang diharapkan, meliputi: tujuan yang hendak dicapai, bahan pelajaran yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan, Proses pembelajaran yang akan diciptakan guru agar siswa mencapai tujuan secara efektif dan efisien, serta bagaimana menciptakan dan menggunakan alat untuk mengetahui atau mengukur apakah tujuan itu tercapai atau tidak. Selanjutnya pelaksanaan pembelajaran selayaknya berpegang pada apa yang tertuang dalam perencanaan. Oleh sebab itu, guru sepatutnya peka terhadap situasi yang dihadapi sehingga dapat menyesuaikan pola tingkah lakunya dalam proses pembelajaran dengan situasi yang dihadapi. Yang terakhir, dalam upayanya memberikan balikan harus dilakukan guru secara terus menerus dan berkesinambungan, dengan demikian minat dan antusias siswa dalam belajar selalu terpelihara dengan baik (Muhammad Ali, 2013: 4-7).

Proses pembelajaran sebagai kegi-atan rutin yang dilaksanakan guru di kelas mencakup beberapa unsur penunjang. Kinerja guru tidak hanya diukur dari penguasaan materi pelajaran saja, tetapi juga menyangkut kemampuan guru dalam menciptakan situasi kelas yang menye-nangkan bagi siswa. Selama ini banyak guru menggunakan metode pembelajaran yang monoton sehingga suasana belajar kurang hidup, karena kegiatan belajar didominasi guru sehingga siswa pasif. Proses pembelajarannya tidak menunjuk-kan proses belajar yang aktif, kurang ada interaksi guru dengan siswa atau antar-sesama siswa. Siswa tidak terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang dilakukan cenderung bersikap mem-beri atau menyerahkan pengetahuan dan membatasi jangkauan peserta didik. Metode konvensional yang digunakan guru dengan ceramah, tanya jawab, dan latihan soal menyebabkan siswa cenderung pasif dan terbatas dalam memilih topik yang disukainya sehingga motivasi belajarnya rendah, yang pada akhirnya kemampuan apresiasi puisinya juga tidak maksimal. Kondisi ini menuntut guru untuk menguna-kan metode pembelajaran lainnya yang lebih efektif untuk meningkatkan kemam-puan apresiasi puisi siswa, di antaranya adalah melalui cooperative learning teknik jigsaw.

HAKIKAT COOPERATIVE LEARNING

Cooperative learning merupakan suatu model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa (student oriented), terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa, yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, siswa yang agresif dan tidak peduli pada yang lain. Metode pembe-lajaran ini telah terbukti dapat dipergu-nakan dalam berbagai mata pelajaran dan berbagai usia (Isjoni, 2011: 16-17).

Cooperative learning berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Jere Brophy (2012: 27) mengemukakan, “Student often benefit from working in pairs or small group to construct understandings or help one another master skills.” Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa cooperative learning merupakan suatu model pembelajaran yang mempunyai sistem belajar dan bekerja sama antarsiswa dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar.

Isjoni (2011: 6) cooperative learning diartikan sebagai mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu tim. Jadi cooperative learning dapat diartikan sebagai belajar bersama-sama saling membantu antara satu dengan yang lain dalam belajar dan memastikan bahwa setiap siswa dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa cooperative learning menyangkut teknik pengelompokan yang di dalamnya siswa bekerja terarah pada tujuan belajar bersama dalam kelompok kecil yang umumnya terdiri dari 4-6 orang

Jim Knight (2009: 3) memberikan pengertian cooperative learning sebagai berikut: Cooperative Learning is learning mediated by students rather than the instructor. In cooperative learning, stu-dents work in groups to teach themselves content being covered. Teachers can utilize a variety of learning structures while providing cooperative learning.

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa cooperative learning me-rupakan suatu model pembelajaran di mana para siswa bekerja sama dalam suatu kelompok untuk mencapai tujuan bersama, sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat saling menguntungkan secara efektif di antara anggota kelompok.

TEKNIK KOOPERATIF JIGSAW

Metode Jigsaw (Jigsaw I) pertama kali dikembangkan oleh Aronson (1975). Metode ini memiliki dua versi tambahan, yaitu Jigsaw II yang dikembangkan Slavin (1989) dan Jigsaw III yang dikembangkan Kagan (1990) (Miftahul Huda, 2011: 120).

Dalam metode Jigsaw I, pernyataan Aronson yang dikutip dalam buku Learning Achievement in The Cee/Cis Region (2011: 3) menyebutkan: In the Jigsaw model the student becomes a member of both a learning group and a research team. After determining the learning group’s goal, the members join research teams to learn about a particular piece of the learning puzzle. Each puzzle piece must be solved to form a complete picture. Research can take many forms.The teacher may want to prepare “expert sheets” that outline readings and questions to obtain the information needed. Or the students can use their own strategies to glean information through library research, interviewing experts, or experimentation. Upon completion of the expert teams’ work, the members return to their original learning groups and share the results. Class discussion, a question-and-answer session, or a graphic or dramatic production will allow the groups to share their findings with the class at large.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa dalam metode Jigsaw I yang dikembangkan Aronson, siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kecil (misalnya terdiri dari 5 anggota). Setiap kelompok diberi informasi yang membahas salah satu topik dari materi pelajaran mereka saat itu. Dari informasi yang diberikan pada setiap kelompok ini, masing-masing anggota harus mempelajari bagian-bagian yang berbeda dari informasi tersebut. Setelah mempelajari informasi tersebut dalam kelompoknya masing-masing, setiap ang-gota yang mempelajari bagian-bagian ini berkumpul dengan anggota-anggota dari kelompok-kelompok lain yang juga menerima bagian-bagian materi yang sa-ma. Perkumpulan siswa yang memiliki bagian informasi yang sama ini dikenal dengan istilah “kelompok ahli” (expert group). Dalam “kelompok ahli” ini, masing-masing siswa saling berdiskusi dan mencari cara terbaik bagaimana menjelaskan bagian informasi itu kepada teman-teman satu kelompoknya yang semula. Setelah diskusi selesai, semua siswa dalam “kelompok ahli” ini kembali ke kelompok-nya yang semula, dan masing-masing dari mereka mulai menjelaskan bagian informasi terebut kepada teman-teman satu kelompoknya. Jadi, dalam metode Jigsaw I, siswa bekerja kelompok selama dua kali, yakni dalam kelompok mereka sendiri dan dalam “kelompok ahli”. Setelah masing-masing anggota menjelaskan bagiannya masing-masing kepada teman-teman satu kelompoknya, mereka mulai bersiap untuk diuji secara individu (biasanya dengan kuis). Guru memberikan kuis kepada setiap anggota kelompok untuk dikerjakan sendiri-sendiri, tanpa bantuan siapa pun. Skor yang diperoleh setiap anggota dari hasil ujian/kuis individu ini akan menentukan skor yang diperoleh kelompok mereka. Dalam metode Jigsaw I versi Aronson tidak ada reward khusus yang diberikan atas indvidu maupun ke-lompok yang mampu menunjukkan ke-mampuannya untuk bekerja sama dan mengerjakan kuis.

Dalam metode Jigsaw II yang di-kembangkan Slavin, ada sedikit penam-bahan, yaitu adanya reward khusus yang diberikan atas indvidu maupun kelompok yang mampu menunjukkan kemampuan-nya untuk bekerja sama dan mengerjakan kuis. Selanjutnya dalam metode Jigsaw III yang dikembangkan Kagan, sebetulnya juga tidak ada perbedaan yang menonjol dengan Jigsaw I maupun Jigsaw II dalam tata laksana dan prosedurnya masing-masing. Hanya saja, dalam Jigsaw III lebih fokus pada penerapannya di kelas-kelas bilingual. Jadi, berbeda dengan dua metode Jigsaw sebelumnya (Jigsaw I dan Jigsaw II) yang dapat diterapkan untuk semua materi pelajaran, metode Jigsaw III khusus diterapkan untuk kelas bilingual. Kelas bilingual bisa dipahami sebagai kelas yang di dalamnya terdapat para pembelajar bahasa Inggris dari berbagai daerah dengan level prificiency yang berbeda- beda (Miftahul Huda, 2011: 120-122).

Menurut Isjoni (2011: 54), pembelajaran kooperatif jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam model belajar ini terdapat tahap-tahap dalam penyelenggaraannya. Tahap pertama siswa dikelompokkan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Pemben-tukan kelompok-kelompok siswa tersebut dapat dilakukan guru berdasarkan pertim-bangan tertentu. Untuk mengoptimalkan manfaat belajar kelompok, keanggotaan kelompok seyogyanya heterogen, baik dari segi kemampuannya maupun karakteristik lainnya. Dengan demikian, cara yang efektif untuk menjamin heterogenitas kelompok ini adalah guru membuat kelom-pok-kelompok itu. Jika siswa dibebaskan membuat kelompok sendiri maka biasanya siswa akan memilih teman-teman yang sangat disukainya misalnya sesama jenis, sesama etnik, dan sama dalam kemam-puan. Hal ini cenderung menghasilkan kelompok-kelompok yang homogen dan seringkali siswa tertentu tidak masuk dalam kelompok manapun. Oleh karena itu, memberikan kebebasan siswa untuk membentuk kelompok sendiri bukanlah cara yang baik, kecuali guru membuat batasan-batasan tertentu sehingga dapat menghasilkan kelompok-kelompok yang heterogen. Pengelompokan secara acak juga dapat digunakna, khusus jika pengelompokan itu terjadi pada awal tahun ajaran baru di mana guru baru sedikit mempunyai informasi tentang siswa-siswanya.

Jumlah siswa yang bekerja sama dalam masing-masing harus dibatasi, agar kelompok-kelompok yang terbentuk dapat bekerja sama secara efektif, karena suatu ukuran kelompok mempengaruhi kemam-puan produktivitasnya. Dalam hal ini, Soejadi (dalam Isjoni, 2011: 56) mengemukakan, jumlah anggota dalam satu kelompok apabila makin besar, dapat mengakibatkan makin kurang efektif kerjasama antara para anggotanya. Selanjutnya menurut Edward (dalam Isjoni, 2011: 56), kelompok yang terdiri dari empat orang terbukti sangat efektif, sedangkan Nana Sudjana (dalam Isjoni, 2011: 56) mengemukakan, beberapa siswa dihimpun dalam satu kelompok dapat terdiri 4-6 orang siswa. Jumlah yang paling tepat menurut hasil penelitian Slavin adalah 4-6 dikarenakan kelompok yang beranggotakan 4-6 orang lebih sepaham dalam menyelesaikan suatu permasalahan dibandingkan dengan kelompok yang beranggotakan 2-4 orang.

Dalam teknik jigsaw ini setiap anggota kelompok ditugaskan untuk mem-pelajari materi tertentu. Kemudian siswa-siswa atau perwakilan dan kelompoknya masing-masing bertemu dengan anggota dan kelompok lain yang mempelajari materi yang sama. Selanjutnya materi tersebut didiskusikan mempelajari serta memahami setiap masalah yang dijumpai sehingga perwakilan tersebut dapat memahami dan menguasai materi tersebut. Pada tahap ketiga, setelah masing-masing perwakilan tersebut dapat menguasai materi yang ditugaskannya, kemudian masing-masing perwakilan tersebut kembali ke kelompok masing-masing atau kelompok asalnya. Selanjutnya, masing-masing anggota tersebut saling menjelas-kan pada teman satu kelompoknya sehingga teman satu kelompoknya dapat memahami materi yang ditugaskan guru. Pada tahap ini siswa akan banyak menemui permasalahan yang tahap kesukarannya bervariasi. Pengalaman seperti ini sangat penting terhadap perkembangan mental anak.

Pada tahap selanjutnya siswa di-beri tes/kuis, hal tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah siswa sudah dapat memahami suatu materi. Dengan demi-kian, secara umum penyelenggaraan model pembelajaran jigsaw dapat menumbuhkan tanggung jawab siswa sehingga terlibat langsung secara aktif dalam memahami suatu persoalan dan menyelesaikannya secara kelompok. Pada kegiatan ini, keterli-batan guru dalam pembelajaran semakin berkurang dalam arti guru menjadi pusat kegiatan kelas. Guru berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan dan memotivasi siswa untuk belajar mandiri serta menumbuhkan rasa tanggung jawab serta siswa akan merasa senang berdiskusi tentang suatu materi pelajaran dalam kelompoknya. Mereka dapat berinteraksi dengan teman sebayanya dan juga dengan gurunya sebagai pembimbing. Dalam model pembelajaran biasa atau tradisional, guru menjadi pusat semua kegiatan kelas. Sebaliknya, di dalam model pembelajaran tipe jigsaw, meskipun guru tetap mengendalikan aturan, ia tidak lagi menjadi pusat kegiatan kelas, tetapi siswalah yang menjadi pusat kegiatan kelas.

Motivasi teman sebaya dapat digunakan secara efektif di kelas untuk meningkatkan, baik pembelajaran kognitis siswa maupun pertumbuhan efektif siswa. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi guru adalah memotivasi siswa. Guru cenderung menggunakan kompetensi untuk memotivasi siswa mereka dan sering mengabaikan strategi yang di dalamnya terdapat kerja sama dan motivasi teman sebaya yang dapat digunakan untuk membantu siswa fokus terhadap prestasi akademis (Isjoni, 2011: 55-57).

Menurut Isjoni (2011: 58), model jigsaw dapat digunakan secara efektif di tiap level di mana siswa telah mendapatkan keterampilan akademis dari pamahaman, membaca maupun keterampilan kelompok untuk belajar bersama. Jenis materi yang paling mudah digunakan untuk pendekatan ini adalah bentuk naratif seperti ditemukan dalam literatur penelitian sosial membaca dan ilmu pengetahuan. Materi pelajaran harus mengembangkan konsep daripada mengembangkan keterampilan sebagai tujuan umum.

KEMAMPUAN APRESIASI PUISI

Berbicara tentang puisi, tidak dapat lepas dari apresiasi. Hartoko dalam Herman J. Waluyo (2011: 3) mengartikan apresiasi sebagai penghargaan. Apresiasi sastra adalah penghargaan karya sastra. Dalam hal ini seseorang langsung “menukiki” karya sastra, berusaha menerima karya sastra sebagai karya seni yang mengandung nilai-nilai sastra sebagai sesuatu yang benar.

Aspek-aspek apresiasi sastra dirinci oleh Gove dalam Aminudin (2013: 34) yang mengemukakan bahwa istilah apresiasi mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin, dan (2) pemahaman serta pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Sejalan dengan pendapat di atas, Susilo Effendi (2012: 6) berpendapat bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan mengakrabi cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan, pikiran kritis, dan kepekaan perasaan terhadap cipta sastra. Untuk memahami, dan atau mengerti karya sastra diperlukan analisis terhadap bagian-bagian struktur.

Untuk dapat mengapresiasi suatu karya sastra dengan baik, diperlukan beberapa prasarat. Henry Guntur Tarigan (2010: 233) mengemukaan bahwa bekal awal yang harus dimiliki oleh seorang apresiator adalah: (1) kepekaan emosi dan perasaan sehingga pembaca mampu memahami dan menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam cipta sastra, (2) pemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan, baik lewat penghayatan ini secara intensif kotemplatif maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan kehumanitas, (3) pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan (4) pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang akan diapresiasi dengan telaah teori sastra.

Lebih khusus, menghargai puisi berarti memandang puisi sebagai sesuatu yang bernilai, bukan sesuatu yang tidak berguna. Dalam rangkaian kegiatan apresiasi puisi , menghargai puisi merupakan ranah yang paling tinggi. Sebelum seseorang menyentuh ranah menghargai, dia mesti melalui ranah mengenali, menikmati, dan memahami. Apresiasi puisi merupakan aktivitas menggeluti puisi yang melibatkan unsur pikiran, perasaan, bahkan fisik melalui langkah-langkah mengenali, menikmati, dan memahami sehingga tumbuh penghargaan terhadap keindahan dan makna yang terkandung dalam puisi.

Dari berbagai paparan di atas dapat dijelaskan bahwa kemampuan apresiasi puisi adalah suatu kesanggupan atau kecakapan mengenali, memahami puisi dengan sungguh-sungguh sehingga timbul pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap puisi termasuk menikmati keindahan estetik yang ada di dalamnya.

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN APRESIASI PUISI SISWA MELALUI PENGGUNAAN METODE COOPERATIVE LEARNING TEKNIK JIGSAW

Telah dipaparkan sebelumnya bah-wa proses pembelajaran sebagai kegiatan rutin yang dilaksanakan guru di kelas tidak hanya menyangkut penguasaan materi pelajaran saja, tetapi juga menyangkut ke-mampuan guru dalam menciptakan situasi kelas yang menyenangkan bagi siswa. Banyak guru menggunakan cara mengajar yang monoton sehingga suasana belajar kurang hidup, karena kegiatan belajar didominasi guru sehingga siswa pasif. Pembelajaran yang dilakukan cenderung bersikap memberi atau menyerahkan pengetahuan dan membatasi jangkauan peserta didik. Metode konvensional yang digunakan guru dengan ceramah, tanya jawab, dan latihan soal menyebabkan siswa cenderung pasif dan terbatas dalam memilih topik yang disukainya sehingga motivasi belajarnya rendah, yang pada akhirnya kemampuan apresiasi puisinya juga tidak maksimal. Kondisi ini menuntut guru untuk berimprovisasi dalam meng-gunakan metode pengajaran lain yang lebih efektif untuk meningkatkan kemam-puan apresiasi puisi siswa, di antaranya adalah melalui cooperative learning teknik jigsaw.

Pembelajaran kooperatif jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam model belajar ini terdapat tahap-tahap dalam penyelenggaraannya. Tahap pertama siswa dikelompokkan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Pem-bentukan kelompok-kelompok siswa terse-but dapat dilakukan guru berdasarkan pertimbangan tertentu. Dengan mengguna-kan metode cooperative learning teknik jigsaw siswa dituntut saling membantu antara satu dengan yang lain dalam belajar dan memastikan bahwa setiap siswa dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang telah ditentukan sebelumnya. Dari uraian di atas, apabila metode cooperative learning teknik jigsaw dapat dilaksanakan dengan maksimal akan dapat meningkatkan kemampuan apresiasi puisi siswa.

Berikut ini contoh penggunaan cooperative learning teknik jigsaw oleh guru dalam pembelajaran:

1.   Pembelajaran dengan metode jigsaw diawali dengan pengenalan topik yang akan dibahas oleh guru. Guru bisa menuliskan topik yang akan dipelajari pada papan tulis, white board, penayangan power point dan sebagai-nya. Guru menanyakan kepada peserta didik apa yang mereka ketahui mengenai topik tersebut. Kegiatan sumbang saran ini dimaksudkan untuk mengaktifkan skemata atau struktur kognitif peserta didik agar lebih siap menghadapi kegiatan pelajaran yang baru.

2.   Selanjutnya guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok lebih kecil. Jumlah kelompok bergantung pada jumlah konsep yang terdapat pada topik yang dipelajari. Misal, topik yang disajikan adalah mengapresiasi sebuah puisi, meliputi 3 kegiatan yaitu: (a) menganalisis struktur fisiknya; (b) menganalisis struktur batin; dan c) membuat parafrase (mengubah puisi ke dalam sebuah bentuk ceritera). Misalnya jumlah kelas ada 30 siswa, maka dibagi menjadi 3 kelompok yang masing-masing berisi 10 siswa. Kelom-pok 1 adalah siswa yang bertugas menganalisis struktur fisik puisi, kelompok 2 menganalisis struktur batin puisi, dan kelompok 3 yang bertugas membuat parafrase. Kelompok-kelom-pok ini disebut home teams (kelompok asal).

3.   Setelah kelompok asal terbentuk, guru membagikan materi tekstual kepada tiap-tiap kelompok. Setiap orang dalam setiap kelompok bertanggung jawab mempelajari materi tekstual yang diterimanya dari guru. Kelompok yang bertugas menganalisis struktur fisik puisi menerima materi terkstual dari guru tentang struktur fisik puisi, dan seterusnya. Tiap orang dalam kelom-pok yang bertugas menganalisis struk-tur fisik puisi memiliki tanggung jawab mengkaji secara mendalam materi tersebut. Demikian pula kelompok yang bertugas menganalisis struktur batin puisi maupun kelompok yang bertugas membuat parafrase, tiap-tiap orang dalam kelompok mendalami materinya masing-masing.

4.   Sesi berikutnya, membentuk expert teams (kelompok ahli). Jumlah kelom-pok ahli tetap 3. Setiap kelompok ahli mempunyai 10 anggota yang berasal dari masing-masing kelompok asal. Karena jumlah anggota setiap kelom-pok asal adalah 10 orang, maka aturlah sedemikian rupa terpenting adalah di setiap kelompok ahli ada anggota dari kelompok asal yang berbeda-beda tersebut. Dalam satu kelompok ahli ada anggota dari kelom-pok yang bertugas menganalisis struk-tur fisik puisi, bertugas menganalisis struktur batin puisi, dan yang bertugas membuat parafrase.

5.   Setelah terbentuk kelompok ahli, berikan kesempatan kepada mereka berdiskusi. Melalui diskusi di kelompok ahli diharapkan mereka memahami topik ajaran secara lebih mendalam dengan mengintegrasikan hubungan struktur fisik puisi, struktur batin puisi, dan parafrase. Setelah diskusi di kelompok ini selesai, selanjutnya mere-ka kembali ke kelompok asal. Artinya, anggota-anggota yang berasal dari kelompok parafrase kembali ke kelompoknya yaitu kelompok parafra-se, dan seterusnya. Setelah mereka kembali ke kelompok asal berikan kesempatan kepada mereka berdiskusi. Kegiatan ini merupakan refleksi terhadap pengetahuan yang telah mereka dapatkan dari hasil berdiskusi di kelompok ahli.

6.   Sebelum pembelajaran diakhiri, diskusi dengan seluruh kelas perlu dilakukan. Selanjutnya, guru menutup pembela-jaran dengan memberikan review terhadap topik yang telah dipelajari.

Melalui pembelajaran cooperative learning teknik jigsaw yang telah dipaparkan di atas, kegiatan pembelajaran yang dilaku-kan diharapkan mampu mengembangkan kompetensi siswa, baik dalam ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik. Hal ini disebabkan strategi pembelajarannya berpusat pada siswa dan mampu mencipta-kan suasana menyenangkan, sehingga meningkatkan motivasi belajar siswa terhadap materi ajaran, yang pada akhirnya kemampuan apresiasi puisinya meningkat

KESIMPULAN

Hakikat kemampuan apresiasi puisi merupakan kesanggupan dan kecakapan seseorang dalam mengenal dan memahami puisi secara sungguh–sungguh, baik struktur fisik maupun struktur batinnya, sehingga timbul pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, serta kepekaan perasaan yang baik terhadap puisi termasuk menikmati keindahan estetik yang ada di dalamnya. Selanjutnya metode cooperative learning teknik jigsaw merupa-kan salah satu tipe pembelajaran ko-operatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam model pembelajaran ini terdapat tahap-tahap dalam penyelengga-raannya. Tahap pertama siswa dikelompok-kan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Pembentukan kelompok-kelompok siswa tersebut dapat dilakukan guru berdasarkan pertimbangan tertentu. De-ngan menggunakan metode cooperative learning teknik jigsaw siswa dituntut saling membantu antara satu dengan yang lain dalam belajar dan memastikan bahwa setiap siswa dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang telah ditentukan sebelumnya.

Melalui pembelajaran cooperative learning teknik jigsaw, kegiatan pembela-jaran apresiasi puisi yang dilakukan diha-rapkan mampu mengembangkan kompe-tensi siswa, baik dalam ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik. Hal ini disebabkan strategi pembelajarannya ber-pusat pada siswa dan mampu menciptakan suasana menyenangkan, sehingga mening-katkan motivasi belajar siswa terhadap materi ajaran, yang pada akhirnya kemampuan apresiasi puisinya meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. (2013). Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia.

Henry Guntur Tarigan. (2010). Prinsip – prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Herman J. Waluyo. (2010). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

_______. (2011). Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press.

Isjoni. (2011). Cooperative Learning Efektifitas Pembelajaran Kelompok. Bandung: Alfabeta.

Jere Bropby. (2012). Teaching. Ecucational Practices Series-1. International Academy of Education

Jim Knight. (2009). Cooperative Learning Instructional Coaching. The Kansas Coaching Project.

Miftahul Huda. (2011). Cooperative Learning Metode, Teknik, Struktur dan Model Penerapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muhammad Ali. (2013). Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Noname. (2011). Learning Achievement in The Cee/Cis Region. Switzerland: United Nations Children’s Fund (UNICEF).

Rachmat Djoko Pradopo. (2011). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Susilo Effendi. (2012). Bimbingan Apresiasi Puisi. Ende-Flores: Nusa Indah.